IDA BANG
MANIK ANGKERAN
BERJUMPA DUKUH SAKTI BELATUNG
BERJUMPA DUKUH SAKTI BELATUNG
Kembali
diceriterakan keberadaan Ida Bang Manik Angkeran
di Besakih. Beliau membuat pasraman di sebelah
Utara gua, sekitar 300 depa jaraknya dari Gua
itu. pekerjaan beliau sehari-hari melaksanakan
tapa brata yoga samadhi, serta menjaga kebersihan
dan kesucian kawasan Pura Besakih. Tak sekalipun
beliau lalai. Perilaku beliau berbeda benar
jika dibandingkan dengan sebelum beliau wafat
dibakar oleh Ida Bhatara Nagaraja. Beliau melaksanakan
Kadharmaan, mengikuti ajaran dan perilaku seorang
pendeta pura yang suci. Setiap hari beliau menggelar
Surya Sewana, memuja Sanghyang Parama Wisesa.
Suatu ketika tatkala hari sukla
paksa pananggalan menjelang purnama, beliau
bermaksud untuk membersihkan diri dengan mandi
di Toya Sah, Besakih. Setelah membersihkan diri,
berkeinginan beliau berjalan-jalan meninjau
kawasan Besakih. Lalu terlihat oleh beliau seorang
Iaki-laki tua sedang bekerja di ladang, membersihkan
padi gaga, membersihkan rumput dan menyiangi.
Orang tua itu bernama Ki Dukuh Belatung yang
demikian saktinya, namun tindak-tanduknya bagaikan
anak kecil senang dipuji serta senang pamer.
Baru dilihat seseorang datang ke tempat beliau
dan menyaksikan beliau bekerja, keluarlah keisengannya
untuk pamer, sengaja berhenti bekerja kemudian
menaruh alat siangnya dan melompat duduk di
atas alat itu seraya mengambil sirih dan melumatkan
sirih itu di atas alat siang tadi.
Pikir Ki Dukuh ingin supaya
yang baru datang menjadi kagum. Namun Sang Bang
Manik Angkeran malahan menjadi sangat jengkel
melihat aksi pamer Ki Dukuh, karena jelas maksudnya
untuk mencoba diri beliau. Lalu, dihampirinya
Ki Dukuh seraya berkata: "lh Bapak, kalau
begini cara Bapak bekerja, sepertinya bermain-main,
sebanyak apa yang bisa Bapak hasilkan?".
Lalu berkata Ki Dukuh sedikit gugup: "Siapa pula anda yang bertanya ? Kok rasanya Bapak tidak jelas tahu?".
Berkata Ida Bang Manik Angkeran: "Ah saya ini Sang Bang Manik Angkeran, putra beliau Mpu Bekung dari tanah Jawa. Namun saya ini sekarang menghamba kepada Ida Bhatara di Besakih, menjadi tukang sapu".
Berkata lagi Ki Dukuh: "Tidak mengerti saya, kalau demikian halnya. Sebab janggal keberadaan sang brahmana seperti itu. Baru sekarang saya mendengar orang bekung (tak punya anak) memiliki putera. Dan lagi ada brahmana menjadi tukang sapu, kalau tidak anda ini brahmana hina".
Sedikit marah Sang Bang berkata: "lh Bapak, jangan berbicara sembarangan! Ayah saya memang bekung, namun karena kesaktian beliau, berhasil beliau mengadakan putera. Saya ini memang benar putra seorang Mpu, bukan brahmana hina.
Lalu berkata Ki Dukuh sedikit gugup: "Siapa pula anda yang bertanya ? Kok rasanya Bapak tidak jelas tahu?".
Berkata Ida Bang Manik Angkeran: "Ah saya ini Sang Bang Manik Angkeran, putra beliau Mpu Bekung dari tanah Jawa. Namun saya ini sekarang menghamba kepada Ida Bhatara di Besakih, menjadi tukang sapu".
Berkata lagi Ki Dukuh: "Tidak mengerti saya, kalau demikian halnya. Sebab janggal keberadaan sang brahmana seperti itu. Baru sekarang saya mendengar orang bekung (tak punya anak) memiliki putera. Dan lagi ada brahmana menjadi tukang sapu, kalau tidak anda ini brahmana hina".
Sedikit marah Sang Bang berkata: "lh Bapak, jangan berbicara sembarangan! Ayah saya memang bekung, namun karena kesaktian beliau, berhasil beliau mengadakan putera. Saya ini memang benar putra seorang Mpu, bukan brahmana hina.
Serta saya berhak diperintah
oleh Ida Bhatara, walaupun pekerjaan yang diperintahkan
itu menyapu, itu juga pekerjaan utama, kalau
sudah Ida Bhatara yang memerintahkan. Sekarang
saya balik bertanya. Kakek ini siapa, serta
dari golongan apa ?"
Ki Dukuh kemudian berkata: "Saya ini bernama Ki Dukuh Belatung, sebagai penua di desa Bukcabe, namun saya membuat tempat tinggal di sini".
Berkata lagi Sang Bang, masih perasaannya jengkel: "lh Bapak Dukuh, saya bertanya lagi Itu ada sampah bertimbun akan Bapak bagaimanakan ? Tidak akan Bapak bersihkan ? "
"Akan saya bersihkan !".
"Bagaimana cara Bapak membersihkan ?"
"Akan saya bakar !"
"Apa yang akan Bapak pakai membakar ?"
"Wah, ini benar-benar brahmana aneh". Ki Dukuh menjawab agak marah, apa lagi dipakai membakar, kalau bukan api. Lalu kalau Ida Bagus apa yang dipakai membakar ?".
"Wah" demikian Sang Bang menjawab seperti mencibir, "kalau Bapak Dukuh masih membakar sampah dengan memakai prakpak daun kelapa kering jelas tidak benar Bapak Dukuh tahu dengan falsafah Tri Agni, yang berada di dalam diri sebenarnya. Kalau saya, melalui air kencing saya saja sampah ini akan terbakar tidak bersisa"
Ki Dukuh kemudian berkata: "Saya ini bernama Ki Dukuh Belatung, sebagai penua di desa Bukcabe, namun saya membuat tempat tinggal di sini".
Berkata lagi Sang Bang, masih perasaannya jengkel: "lh Bapak Dukuh, saya bertanya lagi Itu ada sampah bertimbun akan Bapak bagaimanakan ? Tidak akan Bapak bersihkan ? "
"Akan saya bersihkan !".
"Bagaimana cara Bapak membersihkan ?"
"Akan saya bakar !"
"Apa yang akan Bapak pakai membakar ?"
"Wah, ini benar-benar brahmana aneh". Ki Dukuh menjawab agak marah, apa lagi dipakai membakar, kalau bukan api. Lalu kalau Ida Bagus apa yang dipakai membakar ?".
"Wah" demikian Sang Bang menjawab seperti mencibir, "kalau Bapak Dukuh masih membakar sampah dengan memakai prakpak daun kelapa kering jelas tidak benar Bapak Dukuh tahu dengan falsafah Tri Agni, yang berada di dalam diri sebenarnya. Kalau saya, melalui air kencing saya saja sampah ini akan terbakar tidak bersisa"
Tatkala didengarnya kata Ida
Sang Bang demikian itu, menjadi terhenyak Dukuh,
berdiam diri, seraya lama termenung, kemudian
menghaturkan sembah "Singgih, Ratu Sang
Bang, kalau benar seperti perkataan l Ratu,
bisa membakar sampah ini dengan air kencing
l Ratu, hamba akan menghaturkan diri, serta
semua milik hamba beserta rakyat, serta pula
anak hamba akan hamba serahkan semuanya kepada
Cokor I Ratu"
Usai Sang Bang mendengar hatur Ki Dukuh, menjadi pulih kembali perasaan beliau. Lalu beliau berkata perlahan: "Nah, kalau benar seperti perkataan Bapak saya akan memperlihatkan bukti. Namun agar semuanya sanggup datang dan hadir serta disaksikan oleh Ida Sanghyang Triyodasa Saksi".
Usai Sang Bang mendengar hatur Ki Dukuh, menjadi pulih kembali perasaan beliau. Lalu beliau berkata perlahan: "Nah, kalau benar seperti perkataan Bapak saya akan memperlihatkan bukti. Namun agar semuanya sanggup datang dan hadir serta disaksikan oleh Ida Sanghyang Triyodasa Saksi".
"Jangan sekali-kali l
Ratu ragu. Memang dari lubuk hati hamba yang
ikhlas tidak akan ingkar dengan janji".
Demikian hatur Ki Dukuh.
"Nah, kalau begitu, ke
sana Bapak pulang, beritahu sanak keluarga serta
rakyat Bapak agar datang manakala saya memberikan
bukti di hadapan Bapak". Demikian perjanjian
Ida Sang Bang Manik Angkeran.
Setelah selesai janji itu,
Ki Dukuh lalu memberitahukan kepada anak, isteri
serta keluarganya, perihal janjinya kepada Ida
Bang Manik Angkeran, serta imbalan yang dimasukkan
ke dalam janji itu sebagai taruhan. Yang mendengar
semuanya sama-sama paham di dalam hatinya menjadi
taruhan.
Tersebutlah pada hari yang
telah disepakati, pagi - pagi hari Ida Sang
Bang sudah membersihkan diri dengan mandi di
Tirtha Mas, serta kemudian melakukan yoga samadhi
memuja Sanghyang Agni agar memberikan anugrah.
Setelah melakukan yoga dan samadhi, lalu beliau
berjalan menuju tempat tinggal Ki Dukuh.
Setelah dekat dengan tempat
Ki Dukuh, nampaknya semuanya lengkap hadir,
Ki Dukuh dengan isterinya, keduanya memakai
pakaian putih-putih, ditemani dengan anak dan
kerabatnya, hanya tinggal menunggu kedatangan
Ida Sang Bang. Setelah tepat benar matahari
di atas kepala, lalu beliau menuju tempat sampah
yang bertimbun, di sana beliau mengheningkan
cipta-mamusti, menyatukan pikirannya, menegakkan
keteguhan batin Iaksana Gunung Mahameru. Tidak
berapa lama, matang sudah yoga beliau, seraya
mengeluarkan air kencing di sampah itu. Dan
sekejap air kencing itu menjadi api yang menyala-nyala,
berkobar. Terbakar semua sampah kebun di tempat
itu, hampir-hampir terbakar seluruh hutan di
sana.
Keadaan itu dilihat oleh Ki
Dukuh serta semua iringannya, sangat kagum mereka
pada kesaktian Ida Sang Bang. Ki Dukuh merasa
kalah, namun sekaligus merasa untung, karena
merasa mendapatkan jalan baik untuk pulang ke
Sorga Loka. Tatkala api itu berkobar. saat itu
pula Ida Sang Bang Manik Angkeran membelokkan
ujung api itu ke arah timur laut. Lalu beliau
berkata kepada Ki Dukuh: "Bapak Dukuh,
saya memberi bekal Bapak dengan ganten. Turuti
asap itu ke arah timur laut"
Saat itu Ki Dukuh menemukan
jalan baik seraya melihat ada Meru bertingkat
11 (sebelas). Ki Dukuh menuju api itu serta
mengheningkan cipta dengan sikap angeranasika
mengheningkan cipta dengan melihat hidung, lalu
beliau melompat ke tengah-tengah api yang sedang
memuncak kobarannya itu. Ki Dukuh naik moksa
seiring dengan asap yang mengepul tinggi itu
serta kemudian tidak nampak lagi. Keadaan itu
diikuti oleh isteri Ki Dukuh yang memakai kerudung
dan berkain putih, kemudian mamusti, selanjutnya
melompat juga ke api, sebagai tanda setia bhakti
kepada suami serta berkeinginan juga menemui
jalan terbaik menuju Sorga. Beliau berdua pulang
ke Nirwana, melalui Jalan ke Sorga Loka yang
utama, serta Juga berdasarkan sasupatan - penyucian
oleh Ida Bang Manik Angkeran, yang telah menjadi
pendeta yang bijak. Sejak saat itu Ki Dukuh
Sakti dikenal dengan gelar Dukuh Lepas atau
Dukuh Sorga. Lama kelamaan tempat Ida Sang Bang
Manik Angkeran bersengketa dengan Ki Dukuh Sakti
itu dinamai Gumawang,
Sekarang diceriterakan yang
masih hidup. Sesudah Ki Dukuh Sakti meninggal
semua milik Ki Dukuh serta rakyat se kawasan
Desa Bukcabe, diserahkan kepada lda Sang Bang,
termasuk putri beliau yang merupakan seorang
dara yang bijak, cantik tiada bandingnya, bernama
Ni Luh Warsiki. Kedua beliau itu sama-sama saling
mencintai, disebabkan yang satunya merupakan
seorang jejaka yang tampan bersanding dengan
seorang dara yang jelita. Kemudian diselenggarakan
Upacara Perkawinan
Setelah upacara selesai, lalu
keduanya kembali ke Pasraman di Besakih. Sesampai
di Tegehing Munduk-tempat ketinggian, Ni Luh
Warsiki menoleh ke tempat bekas sampah dibakar,
terhenyak beliau, lalu menangis, teringat akan
ayah ibunya yang sudah berpulang. Beliau tidak
mau melanjutkan perjalanan sebelum pulih perasaan
beliau. Rakyat beliau kemudian membuatkan tempat
beristirahat di sana. Lama kelamaan tempat itu
dikenal dengan nama Munduk Jengis.
Diceriterakan kemudian rakyat
semuanya sangat gembira pada perasaan mereka,
disebabkan sekarang mereka memiliki pujaan yang
tampan serta sakti, pintar, bijaksana serta
dibya caksu, memiliki kesaktian bisa melihat
kejadian tanpa hadir langsung.
Setelah lama beliau berdua
bersuami isteri saling mencintai, saling mengasihi
maka lahirlah seorang putra Iaki-laki, rupanya
tampan serta memiliki prabawa yang agung dinamai
Ida Wang Bang Banyak Wide.
IDA BANG
MANIK ANGKERAN
BERJUMPA DENGAN BIDADARI
BERJUMPA DENGAN BIDADARI
Tidak terasa
berapa tahun lamanya beliau bersuami-isteri,
tatkala hari Purnama bulan ke sepuluh, Ida Sang
Pendeta keluar dari pasraman, membawa tempat
air serta seperangkat alat untuk mandi. Memang
sudah menjadi kebiasaan beliau setiap hari baik
atau pada hari Purnama-Tilem, selalu beliau
bepergian ke Tirtha Pingit untuk mandi. Beliau
berjalan naik perlahan sebab merasa senang beliau
melihat segala bunga yang tumbuh di tepi jurang,
serta pula di berbagai tempat di daerah Besakih.
Banyak jenis bunganya serta beraneka rupa warnanya.
Demikian senang perasaan Ida Sang Pendeta melihat
keadaan seperti itu, sampai beliau menggumam
bagaikan berbincang dengan bunga itu semua.
Setelah beliau memasuki hutan,
terdengar oleh beliau suara burung semakin ramai
saling bersahutan, Iaksana menyambut kedatangan
Sang Pendeta. Beraneka macam memang suara burung
itu. Semua itu menambah gembira hati sang pendeta.
Tahu-tahu beliau sudah berada dekat dengan tempat
Tirtha Pingit yang akan dituju.
Tiba-tiba beliau berhenti.
Karena terlihat oleh beliau seorang wanita sudah
ada lebih dahulu di tempat air suci itu, kemungkinan
juga akan mandi. Beliau Sang Pendeta lalu memperhatikan
wanita itu. Demikian cantiknya serta berwibawa
wanita itu. Kemudian beliau merasa-rasa. Sepertinya
beliau sudah pernah bertemu dengan wanita itu,
namun tidak ingat lagi beliau, di mana, siapa
gerangan wanita itu. Ingat lagi, kemudian lupa
kembali. Tatkala itu, wanita itu juga diam menunduk,
sepertinya acuh.
Setelah agak lama mengingat-ingat, juga tidak bisa beliau mengingat, maka didekatinya wanita itu, seraya menyampaikan pertanyaan: "Inggih, tuan puteri yang bijak, siapakah gerangan tuan puteri ini, Kok sendiri di tengah hutan begini. Dari mana tuan puteri, apakah tuan puteri benar manusia, apa Wong samar orang maya, ataukah Dewa ?"
Menjawab wanita itu: "Inggih Sang Pendeta, yang sangat bijaksana, hamba ini bukanlah manusia maya, dan juga bukan manusia".
"Kalau demikian, sebenarnya tuan puteri Bidadari ?".
"Ya, benar sekali seperti yang Sang Pendeta katakan, hamba memang bidadari dari Sorga".
"Aduh, sudah hamba sangka, tentu tuan puteri adalah Bidadari, karena kagum benar hamba melihat kecantikan paras tuan puteri".
"Inggih, memang demikian Sang Pendeta. Kalau wanita, kecantikannya yang menyebabkan orang itu kagum. Kalau Iaki-laki jelas kebijaksanaan dan keperwiraannya yang membuat orang kagum serta bertekuk lutut di kakinya". Demikian kata Sang Bidadari.
Setelah agak lama mengingat-ingat, juga tidak bisa beliau mengingat, maka didekatinya wanita itu, seraya menyampaikan pertanyaan: "Inggih, tuan puteri yang bijak, siapakah gerangan tuan puteri ini, Kok sendiri di tengah hutan begini. Dari mana tuan puteri, apakah tuan puteri benar manusia, apa Wong samar orang maya, ataukah Dewa ?"
Menjawab wanita itu: "Inggih Sang Pendeta, yang sangat bijaksana, hamba ini bukanlah manusia maya, dan juga bukan manusia".
"Kalau demikian, sebenarnya tuan puteri Bidadari ?".
"Ya, benar sekali seperti yang Sang Pendeta katakan, hamba memang bidadari dari Sorga".
"Aduh, sudah hamba sangka, tentu tuan puteri adalah Bidadari, karena kagum benar hamba melihat kecantikan paras tuan puteri".
"Inggih, memang demikian Sang Pendeta. Kalau wanita, kecantikannya yang menyebabkan orang itu kagum. Kalau Iaki-laki jelas kebijaksanaan dan keperwiraannya yang membuat orang kagum serta bertekuk lutut di kakinya". Demikian kata Sang Bidadari.
Ketika mendengar perkataan
Sang Bidadari sedemikian itu, seperti terkena
sindiran Sang Pendeta. Seraya menyembunyikan
rasa gugupnya, lalu beliau berkata: "Apa
yang mungkin tuan puteri cari, datang ke sini
di tengah hutan seorang diri ?" Menjawab
Sang Bidadari: "Tidak ada yang hamba cari.
Kedatangan hamba ke sini, hanya bersenang-senang".
Apa yang menyebabkan tuan puteri
datang ke sini untuk bersenang-senang. Apakah
di Sorga kurang tempat yang indah untuk bersenang-senang?"
"Ya, memang demikian Sang Pendeta. Di Sorga,
memang tidak kurang tempat yang indah. Tetapi
sebenarnya sekali, yang membuat hati ini senang,
tidak tempat yang indah saja, namun senang atau
sedih, suka atau duka, hanya tergantung pada
hati perasaan kita masing-masing. Kalau seperti
hamba, sekarang ini, hanya tempat ini yang paling
indah, yang bisa memberikan kesenangan pada
perasaan hamba. Sebenarnya Sang Pendeta, bagaikan
ditarik hati hamba, jadi berkeinginan hamba
untuk datang ke mari, mungkin ada sesuatu hal
yang sangat indah di sini".
Lagi seperti dikenai sindiran,
sampai Sang Pendeta menjadi makin gugup, lalu
kemudian beliau berkata lagi: "Memang betul
tuan puteri datang dari Sorga, sangat pintar
dan bijak tuan puteri berkata, semakin menjadi
kagum hamba kepada tuan puteri".
"Janganlah berkata demikian
Ratu Sang Pendeta. Terlalu banyak l Ratu memuji
diri hamba. Sebenarnya sekali, hamba masih terlalu
muda". Demikian Sang Bidadari segera menjawab.
Setelah lama berbincang-bincang
serta keduanya merasa di hati masing -masing
sudah akrab serta bersemi lagi rasa cinta, lalu
beliau Sang Pendeta memaksakan dirinya untuk
berkata: "Duh Dewa Sang Bidadari, perkenankanlah
hamba memohon maaf, kalau-kalau perkataan hamba
tidak berkenan di hati, karena tidak bisa sama
sekali hamba akan menghentikan perasaan hamba
yang mungkin bisa dikatakan kurang baik, namun
bisa juga disebut baik sekali".
Lalu menjawab Sang Bidadari:
"Silakan Sang Pendeta, apa yang akan tuan
sampaikan. Hamba bersedia untuk mendengarnya.
Jangan lagi Sang Pendeta merasa ragu dan khawatir".
Berkata Sang Pendeta: "Duh,
Dewa, terlebih dahulu hamba menghaturkan terimakasih
yang sebesar-besarnya atas anugerah Tuan Puteri.
Pendek kata hamba ingin mengatakan, jangan sekali
Tuan Puteri marah, mudah-mudahan Tuan Putri
berkenan. Ya, begini .... diri hamba akan hamba
serahkan ke hadapan Tuan Putri Namun karena
hamba belum bisa ikut ke Sorga Loka mengikuti
Tuan Puteri, kalau berkenan, Tuan Puteri akan
hamba ajak di sini di dunia, di kawasan Besakih
ini, menghamba dan mengabdi kepada Ida Bhatara
di sini".
Menjawab Sang Bidadari: "Ya
kanda, sebelum hamba menjawab keinginan kanda
tersebut, berikan saya menceriterakan terlebih
dahulu perihal kita berdua kala berada di Kendran.
Sebenarnya, dahulu, sebelum kanda diutus untuk
turun ke dunia ini, atas permohonan Ida Danghyang
Siddhimantra, dinda sudah memilih hubungan-bertunangan
dengan kanda. Namun setelah kanda turun ke Marcapada
ini dinda masih sendirian berada di Sorga Loka.
Lama dinda menunggu kedatangan kanda, tidak
juga ada datang-datang. ltu sebabnya dinda sekarang
turun ke dunia mengikuti jejak kakanda, agar
bisa segera bertemu dengan kakanda, menyatukan
tali asih yang sudah bersemi di Sorga Loka.
Karena itu, kalau memang benar ada maksud kakanda
akan bersatu dengan dinda, dinda tidak lagi
berpanjang kata, dinda bersedia mendampingi
kanda, walaupun di sini di dunia, semasih kakanda
berada di sini".
Setelah mendengar perkataan Sang Bidadari demikian itu, merasa gugup dan terhenyak perasaan Ida Sang Pendeta. Namun di lain pihak merasa gembira perasaan beliau, seraya berkata: "Duh, permata hati kanda, l Dewa, dindaku, barangkali memang betul sekali apa yang dinda katakan baru saja, kanda juga merasa-rasa dengan perihal itu. Namun terasa sangat samar hal itu. Sekali lagi kanda ingin menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya, karena demikian besar kesetiaan dinda kepada kanda, sampai-sampai dinda mau turun ke dunia ini, meninggalkan semua keindahan yang ada di Sorgaloka. Ya, kalau demikian, kanda sanggup, agar kanda bisa bersama dengan dinda sampai kelak di kemudian hari, ke mana pergi dinda, kanda akan ikut. Namun demikian ada yang kanda ragukan dalam hati kanda, perihal keadaan dinda akan menetap di dunia ini bersama kanda, apakah tidak akan membuat ribut di Sorgaloka, ke sana kemari para Dewa mencari dinda. Itu yang sangat kanda khawatirkan di hati, agar tidak karena kanda yang menyebabkan dinda menemui kesulitan, apalagi dinda sudah demikian berkenan memberikan anugerah kepada kanda".
Setelah mendengar perkataan Sang Bidadari demikian itu, merasa gugup dan terhenyak perasaan Ida Sang Pendeta. Namun di lain pihak merasa gembira perasaan beliau, seraya berkata: "Duh, permata hati kanda, l Dewa, dindaku, barangkali memang betul sekali apa yang dinda katakan baru saja, kanda juga merasa-rasa dengan perihal itu. Namun terasa sangat samar hal itu. Sekali lagi kanda ingin menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya, karena demikian besar kesetiaan dinda kepada kanda, sampai-sampai dinda mau turun ke dunia ini, meninggalkan semua keindahan yang ada di Sorgaloka. Ya, kalau demikian, kanda sanggup, agar kanda bisa bersama dengan dinda sampai kelak di kemudian hari, ke mana pergi dinda, kanda akan ikut. Namun demikian ada yang kanda ragukan dalam hati kanda, perihal keadaan dinda akan menetap di dunia ini bersama kanda, apakah tidak akan membuat ribut di Sorgaloka, ke sana kemari para Dewa mencari dinda. Itu yang sangat kanda khawatirkan di hati, agar tidak karena kanda yang menyebabkan dinda menemui kesulitan, apalagi dinda sudah demikian berkenan memberikan anugerah kepada kanda".
Menjawab Sang Bidadari dengan
senyum manis: "Ya kanda, memang sepantasnya
kanda memikirkan keadaan dinda. Namun jangan
kanda merasa khawatir. Sebab dinda sudah memohon
pamit kepada Ida Bhatara serta keluarga dinda
semuanya di Sorga, serta dinda sudah mendapatkan
ijin dari Ida Bhatara. Memang benar dinda sedikit
bersikeras memohon diri kepada Ida Bhatara,
karena janji Ida Bhatara dahulu, konon kanda
hanya sebentar saja diutus turun ke sini ke
dunia.
Namun, sesudah kanda selesai
diruwat Ida Sang Nagaraja, seyogyanya kanda
sudah kembali pulang ke Sorga. Memang kanda
sudah dapat pulang sekejap, namun karena keras
permohonan Ida Sang Nagaraja, yang sudah berjanji
kepada Ida Danghyang Siddhimantra, ayah kakanda,
lagi pula memang kebetulan ada lain pekerjaan
yang harus kanda selesaikan di sini, jadi hambalah
yang dikalahkan. Kanda dikembalikan lagi ke
dunia. Karena dinda tidak mau ditinggalkan oleh
kanda sedemikian lama, jadi dinda menghadap
Ida Bhatara, memohon agar dinda diperkenankan
turun ke dunia ini, mengikuti perjalanan kanda.
Mungkin permohonan dinda dianggap pantas, itu
sebabnya dinda diberi ijin untuk mohon pamit
serta diberikan wara nugraha untuk bisa turun
seperti ini ke dunia, tidak lagi menjalani hal
yang sudah lazim, yakni menjelma sejak bayi
seperti kelahiran kanda dahulu. Sebab bila demikian
perihalnya, jelas tidak bisa dinda bertemu dengan
palungguh kanda, seperti sekarang".
Memang demikian kagumnya beliau
Sang Pendeta pada kadibyacaksuana wawasan Sang
Bidadari, kemudian beliau bertanya kembali:
"Jadi, kalau demikian halnya, semua perbuatan
Kanda di dunia ini sudah dinda ketahui ?"
"Ya, semua dinda ketahui".
Baru demikian Sang Bidadari berkata, menjadi merah muka Ida Pendeta akibat malunya. Hal itu diketahui oleh Sang Bidadari. Lalu, seraya tersenyum, Sang Bidadari melanjutkan: "Namun semua itu merupakan titah atau kehendak dari Ida Bhatara di Sorgaloka. Kanda hanya melaksanakan. Kalau kanda tidak dijadikan anak yang durhaka, tidak bisa kanda akan nyupat- meruwat Ida Sang Nagaraja, sebab tidak lama kanda memenggal ekor beliau yang menjadi tempat berkumpulnya angkara. Namun Beliau Sang Nagaraja tidak berhutang supata kepada kanda, karena beliau sudah pula nyupat-menyucikan diri kanda, beliau melebur badan jasmani - stula sarira kanda yang banyak berisikan dosa, kemudian diganti oleh beliau dengan badan jasmani baik seperti sekarang ".
Baru demikian Sang Bidadari berkata, menjadi merah muka Ida Pendeta akibat malunya. Hal itu diketahui oleh Sang Bidadari. Lalu, seraya tersenyum, Sang Bidadari melanjutkan: "Namun semua itu merupakan titah atau kehendak dari Ida Bhatara di Sorgaloka. Kanda hanya melaksanakan. Kalau kanda tidak dijadikan anak yang durhaka, tidak bisa kanda akan nyupat- meruwat Ida Sang Nagaraja, sebab tidak lama kanda memenggal ekor beliau yang menjadi tempat berkumpulnya angkara. Namun Beliau Sang Nagaraja tidak berhutang supata kepada kanda, karena beliau sudah pula nyupat-menyucikan diri kanda, beliau melebur badan jasmani - stula sarira kanda yang banyak berisikan dosa, kemudian diganti oleh beliau dengan badan jasmani baik seperti sekarang ".
Sang Bidadari berhenti sebentar,
kemudian melanjutkan lagi: "Dinda lanjutkan
sedikit lagi. Begini, perihal beliau Ki Dukuh
Belatung. Memang beliau sangat sakti matang
sekali dalam hal yoga samadhi. Namun ada kekurangan
beliau sedikit. Yaitu beliau sedikit tinggi
hati dan senang pujian. ltu sebabnya beliau
bersedia diruwat pada api yang keluar dari air
kencing kanda. Namun sebenarnya, hal itu merupakan
kehendak Ida Bhatara, sebab kalau Ki Dukuh tidak
tinggi hati, dan senang pujian, tidak berhasil
kanda akan memperlihatkan kesaktian membakar
sampah di hutan dengan memakai air kencing,
yang menjadi jalan Ki Dukuh untuk moksa. Sebab
kalau kanda yang langsung bertindak lebih dahulu,
jadi kanda akan dianggap mendahului dan berlaku
kurang senonoh. Kesaktian yang kemudian memunculkan
hal yang tidak baik jelas akan hilang keutamaannya".
Demikian kata-kata Sang Bidadari.
Menjadi semakin kagum Sang Pendeta. Merah warna paras muka beliau sudah sirna. Beliau kemudian berkata dengan manis: "Ah, muda-mudanya mereka yang ada di Sorgaloka, lebih bijaksana jika dibandingkan dengan yang ada di dunia. Ya, kalau demikian halnya, menjadi tenang dan hening hati kanda tanpa ganjalan lagi sekarang. Sekarang, kanda temani dinda menuju Pasraman. Namun jangan sekali disamakan keadaan di sini dengan di Sorga".
Menjadi semakin kagum Sang Pendeta. Merah warna paras muka beliau sudah sirna. Beliau kemudian berkata dengan manis: "Ah, muda-mudanya mereka yang ada di Sorgaloka, lebih bijaksana jika dibandingkan dengan yang ada di dunia. Ya, kalau demikian halnya, menjadi tenang dan hening hati kanda tanpa ganjalan lagi sekarang. Sekarang, kanda temani dinda menuju Pasraman. Namun jangan sekali disamakan keadaan di sini dengan di Sorga".
Cepat berkata Sang Bidadari:
"Janganlah itu lagi disinggung. Bisa bertemu
dengan kanda seperti ini saja, dinda sudah sangat
dan lebih bahagia dibandingkan dengan di Sorgaloka".
Singkat ceritera, pada akhirnya
bersuami-istrilah Ida Sang Pendeta dengan Sang
Bidadari, kemudian mengadakan putera Iaki seorang,
tampan, berprabawa cerdas, mengagumkan sekali
walaupun masih bayi, dinamai Ida Wang Bang Tulusdewa.
Semakin lama, kawasan Bukcabe,
Besakih, Tegenan serta Batusesa, semakin subur
makmur, tiada kurang makan dan minum. Itu sebabnya
semakin bhakti rakyat di sana kepada Sang Pendeta.
Diceriterakan di kawasan Besakih, ada pendamping
Ida Sang Pendeta, sebagai pemuka warga Pasek
di sana yang bernama Ki Pasek Wayabiya. Beliau
sangat bhakti kepada Sang Pendeta, Danghyang
Bang Manik Angkeran, karena anugerah beliau
memberikan pelajaran tatwa, pengetahuan serta
kaparamarthan-kebathinan kepada Ki Pasek. Itu
sebabnya Ki Pasek menghaturkan puterinya yang
bernama Ni Luh Murdani, seorang wanita yang
cantik jelita, sebagai tanda pengikat bhakti
beliau kepada Ki Pasek sekeluarga sampai kelak
di kemudian hari. Beliau Sang Pendeta tidak
menolak keinginan Ki Pasek Wayabiya.
Dengan demikian sudah tiga
orang Sang Pendeta memiliki isteri, semuanya
menjadi wikuni - pendeta wanita yang sangat
fasih dengan weda mantra serta pula melaksanakan
tapa brata yoga samadhi. Dari isterinya - Ni
Luh Murdani, lahir seorang putera Iaki-laki,
yang juga berprabawa agung, tampan, dinamai
Ida Wang Bang Wayabiya atau Ida Wang Bang Kajakauh.
Bagaikan Brahma, Wisnu, Iswara
rupa putra beliau bertiga: Ida Bang Banyak Wide,
Ida Bang Tulusdewa miwah Ida Bang Wayabiya.
Singkat ceritera, semua putranya itu meningkat
dewasa. Karena memang putera orang yang bijak,
maka ketiga putranya itu sangat setia dan akrab
bersaudara, serta sangat berbakti kepada ayah
bundanya. Semuanya pandai, karena segala yang
dikatakan oleh ayah-bundanya berisikan Kadharman
serta Kawicaksanaan. Isi dari Sanghyang Kamahayanikan,
Sanghyang Sarasamuscaya dan Manawa Dharmasastra,
sudah ditekuni dan dilaksanakan. Serta tidak
ingkar kepada isi dari Tri Ratna dan Asta Marga
Utama. Serta oleh Sang Pandita, putranya diberikan
nasehat mengenai Putra Sasana dan Tri Guna serta
Tri Rna. Pendeknya segala ilmu filsafat yang
baik- baik ditekuni oleh Sang Tiga.
Selain dengan memberikan nasehat
kepandaian, kebijaksanaan kepada para putera
itu, Sang Pendeta juga sering melakukan perjalanan
ke desa-desa memberikan nasehat dan petuah keagamaan
serta ilmu kebathinan kepada masyarakat banyak
ltu sebabnya, kelak di kemudian hari beliau
dibuatkan sthana-pelinggih di pura-pura sebagai
bukti sujud bhakti masyarakat kepada beliau.
0 komentar:
Posting Komentar