” ………… Hal kedua yang saya perlu direvisi adalah masalah penguburan mayat di Bugbug yang terpisah secara fisik dan historis yaitu kaum tertentu wajib dikremasi dengan dibakar dan kaum lainnya tidak boleh dibakar atau cukup dikubur saja. Hal ini perlu saya garis bawahi bahwa jaman menyesuaikan dengan budaya masyarakat karena kita adalah bagian budaya tersebut bukan karena anekdot suba kakento uli imaluan atau dane sing maang. Dulu mungkin hal ini dipolitisir oleh kalangan tertentu dengan embel-embel adat dan betarane sing maang atau yang ekstrem lagi karena alasan Ida Betara Gde Gumang nenten ngicenin alias tulah nyaan. Apakah kita adalah makhluk tuhan kelas dua? Apakah anda adalah ciptaan tuhan yang berbeda shg harus dibedakan?” Demikian Boegboegku Sayang menyampaikan unek-uneknya pada Ikatan Warga Bug facebook ……
Ijinkan saya urun rembug atas kegundahan saudara Boegboegku Sayang …., Saran saya ijinkanlah keikhlasan bersemayam di hati menerima mentari terbit di ufuk timur, sembari kejarlah berbagai kegundahan dan kegalauan dengan niatan untuk dapat menerimanya apapun adanya dengan pikiran yang lebih terbuka. Saya tidak menganjurkan anda untuk pasrah dan nrimo saja loh …Adanya perbedaan penguburan di Desa Bugbug, baik perbedaan dengan cara membakar atau mengubur saja, baik penguburan medulu kangin maupun madulu kauh, sepertinya tidaklah lepas dari adanya bisama yang berlaku umum di tanah Bali maupun perlakuan khusus yang terdapat di Desa Tua Bugbug.
1.Bisama di Bali mengajarkan pada kita tentang ajaran Satya, baik itu setia akan apa yang menjadi titah-Nya maupun segala janji dan laku yang telah dilalui dan dijalankan oleh para leluhur kita di masa lalu. Tata cara penguburan hanya salah satu prosesi menjalani keuripan ini yang juga dilandasi oleh satya. Jika Bisama dianalogikan dengan Undang-undang yang bersifat mengikat, maka ia akan mengandung punishment and reward terhadapan ajaran satya yang dijalani oleh umat-Nya. Maka tidaklah mengherankan, jika kita temukan adanya istilah tulah, banyak umat yang mengaku berbahagia karena mendapat waranugraha-Nya. Para pendahulu kita mengajarkan konsep tulah ini dengan berbagai cara, apakah itu dengan tutur-tutur maupun cerita-cerita secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Guru saya pernah menerangkan saya akan panasnya api bila saya memainkan korek api, tapi karena keingintahuan atau kebodohan saya ?, saya mencobakannya pada jari tangan saya …, wow panas booo !. Hanya saja berbagai hasil dari perbuatan kita kebetulan tidak kita rasakan segera sebagaimana kita merasakan pedasnya rasa tabya, mungkin saja karena kita sedang mabuk kekayaaan, kekuasaan dan sebagainya.
2.Sepanjang yang pernah saya dengar dari para tetua, prosesi ngaben dengan gama metabun atau dikubur adalah sebuah priviledge yang diberikan kepada warga Bugbug Bali Mula. Orang-orang Bali Mula ini dianggap pengempon wed Tanah Bali, Bukit-bukit dan gunung-gunung di Bali, sehingga mereka melaksanakan prosesi upacara pengabenannya dengan gama metabun.
Akan halnya dengan warga “pendatang” baik itu pendatang dari luar Bugbug, pendatang dari Majapahit mereka diijinkan tinggal dan menetap di Bali dengan berbagai kewajiban, persyaratan dan ketentuan yang salah satunya adalah ; melaksanakan prosesi pengabenannya engan cara dibakar. Tata laksana prosesi pengabenan juga terkait erat dengan perkembangan sekte di jaman dulu. Apakah harus kita gugat tradisi saudara kita di Perasi yang meletakkan mayatnya di abian ?, atau apakah harus kita sepekaang saudara kita yang ada di Trunyan hanya karena ia meletakkan mayatnya begitu saja di bawah Taru Menyan ? Hanya karena kita tidak ingin dibedakan oleh Tuhan sebagai manusia kelas 2 ?
Tata laksana prosesi kematian – pengabenan di Bugbug terbilang unik, (lagi menurut para tetua), Warga Bugbug Bali Mula dikubur dengan kepala berhulu ke Barat, dengan Gumang sebagai hulunya. Karena mereka ini adalah Krama Wed pengemong Bukit-bukit suci yang salah satunya adalah Gumang dan Gunung-gunung yang disucikan di Bali, berbanggalah mereka karena mereka dianggap sebagai penyangga utama utama tradisi-tradisi Gumang dan Bali sejak jaman Gunung. Pada umumnya mereka adalah krama ngarep yang memiliki carik madesa yang mereka terima secara turun temurun. Mereka adalah krama ngarep yang menjadi tulang punggung utama pelaksanaan pelbagai aci yang dilaksanakan di Desa Bugbug.
Akan halnya warga Bugbug yang lain di antaranya Wong Asti dan pendatang lainnya (soroh Arya, Majapahit dll) yang dari jaman baheula menetap di Desa Tua ini biasanya melakukan penguburan dengan kepala berhulu ke Timur sebagai simbolisasi penerimaan mereka atas berbagai titah dan berbagai bahagia yang pernah diterima dari Betara di Gumang. Selain pemakaman dengan cara dikubur dengan kepala berhulu timur para Wong Asti dan pendatang ini juga dikenakan kewajiban untuk membakar mayat (apakah itu lewat simbolisme tertentu) saat upacara pengabenan.
Saya rasa adanya perbedaan itu sedikitpun tidak ada unsur politisasinya. Malah saya yang megama metambus merasa iri juga (capee’ deh … he … he ..) dengan rekan-rekan saya yang megama metabun, karena prosesi yang mereka lakoni lebih simpel dan sederhana, Tapi apapun perbedaan yang ada, dapatlah kita tarik benang merahnya, bahwa Gumang adalah puncak spiritualitas berbagai tradisi yang dilaksanakan di Bugbug. Lihatlah perbedaan yang anda rasakan sebagai sebuah mozaik yang indah…, seperti indahnya kita memandang Bugbug dari Gumang …
Pemaparan ini bermaksud untuk mendapatkan pemahaman yang baik atas berbagai tradisi di Desa Bugbug. Saya tidak akan membahasnya dari sisi spiritual dan landasan teorinya guna pertanggungjawaban akademiknya. Saya rasa, keterbatasan lahan bukanlah alasan untuk merubah tata cara pengabenan yang esensi inti tata caranya sudah kita warisi turun temurun. Harapan saya, bukan karena hanya karena untuk mengikuti jaman lalu kita ubah esensi berbagai tradisi adi luhung yang kita warisi. Jika dibandingkan dengan tradisi ngaben di desa lain, pelaksanaan tradisi ngaben di Bugbug sebenarnya sudah sangat baik, dan meringankan baik dari sisi waktu dan biaya jika dilihat dari aspek :
1.Hari pelaksanaan dilaksanakan 1x dalam satu tahun di bulan Agustus, dari sisi perencanaan. Sang punya kematian sangat terbantu dari sisi waktu untuk dapat merencanakan dan mempersiapkan upacara pengabenan dengan sebaik-baiknya. Bayangkan jika ngaben bisa dilaksanakan kapan saja. Tentu sang punya kematian akan megrudugan untuk menyiapkan penyamaan, logistik dan tentu pembiayaannya. Begitu pula dengan sanak keluarga yang diundang untuk prosesi pengabenan tentu akan bah bangun hanya untuk menghadiri prosesi ini di setiap saat.
2.Secara operasional pelaksanaan Ngaben di Bugbug sebenarnya dilaksanakan dengan cara ngerit baik dari sisi hari pelaksanaan maupun peserta pengabenan yang memberikan batasan dari sisi wewarisan. Undangannyapun terbatas pada lelintihan yang sudah sangat baik. Lain halnya jika mengundang pejabat atau pertemanan di luar lelintihan ya silakan saja, dan bersiap-siaplah dengan pembengkakan biaya. Asalkan jangan keluarkan keluhan setelah prosesi usai.
3.Dari sisi materi, dibandingkan dengan desa lain serta pungkusan warga yang konon katanya berkasta lebih tinggi, hampir sebagian besar warga Bugbug melaksanakannya dengan cara sangat bersahaja dan egaliter yang ditunjukkan dengan penggunaan pepaga pengerojongan bukan jor-joran dengan membuat bade tumpang solas. Di banyak desa lainnya di Bali terjadi, hanya karena urusan jor-joran, sok gengsi dan mengikuti jaman (takut di bilang kuno, takut dibilang miskin) mereka harus menjual harta warisan yang berujung pada perselisihan keluarga besar.
4.Bila dibandingkan dengan tradisi di desa lain yang mensyaratkan adanya upacara meajar-ajar ke pura-pura besar di Bali, pada beberapa keluarga di Bugbug mewarisi tradisi cukup dengan nyegara gunung di wilayah Desa Bugbug termasuk ke Bale Agung sebagai perlambang 18 gunung suci yang ada di Bali, yang mereka yakini wilayah Bugbug secara spiritual sudah lengkap dengan segara dan gunungnya, yang dilengkapi dengan pelaksanaan upacara ngapitu dan seterusnya.
5.Bahwasanya lahan yang sempit itu menyebabkan tidak leluasanya orang dalam melaksanakan pengabenan, tentu ini masalah lain yang alangkah baiknya dicarikan solusi dengan manajemen operasional pengabenan di tingkat desa adat tanpa menghilangkan esensi spiritual prosesi pengabenan itu.
6.Bahwasanya lahan yang sempit menyebabkan tumpang tindihnya sawa di satu areal pekuburan adalah suatu hal yang alami. Toh pengangkatan tulang
saat pengabenan hanyalah simbolis saja tanpa menyertakan tulang belulang secara fisik untuk dibakar. Barangkali topik ini muncul dengan memakai struktur berfikir agama lain ? walah-walah …., bayangkan jika satu mayat harus ngungkung satu tempat saja, berapa hektar lahan yang dibutuhkan untuk pekuburan ? Semua tulang belulang itu akan menyatu dan kembali kepada unsur-unsur alam lainnya.
7.Bahwa benar adanya ada beberapa bagian dari upacara itu yang perlu diefesiensi. Ini perlu dikembalikan pada inti pelaksanaan upacara dengan tulus ikhlas tanpa pamrih. Barangkali ada hal-hal yang tidak bersifat essential dalam upacara yang bisa dimodifikasi, direvisi atau bahkan dihilangkan sama sekali. Namun jangan pula setelah upacara dilaksanakan menimbulkan masalah baru semisal menumpuknya hutang, terjualnya tanah warisan, hingga adanya perseteruan antar anggota keluarga, agarlah dihindarkan. Pengabenan dengan operasional ngerit satu waris tentu solusi yang tepat untuk ini.
Menawi wenten keiwangan lan kirang rangkung atur titiang dumogi prasida ngampurayang.
0 komentar:
Posting Komentar