Kyai Anglurah
Made Sakti Di Jenggala Bija
Diceritakan
sekarang Kyai Anglurah Made Sakti, tidak mengikuti
kakaknya, berpindah tempat dari desa Tulikup
menuju Jenggalabija diiringi oleh rakyat lengkap
dengan bawaannya. Jenggala Bija itu dekat dengan
tempat kediaman I Dewa Karang yang dipakai menantu
di wilayah Mambal.
Kyai Anglurah Made Sakti sudah memiliki Puri di Jenggalabija, sampai kepada rakyatnya sudah memiliki perumahan sesuai dengan keadaan pedesaan yang sudah ada.
Kyai Ngurah Made Sakti benar - benar bijak memegang kekuasaan, beliau ahli dalam sastra, serta senang melaksanakan dewaseraya berbhakti kepada Ida Hyang Widhi dan Bhatara semua. Ppada saat itu ada anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi pada hari Selasa Kliwon - Anggara Kasih, bulan Bali yang kesembilan - Kesanga di tengah malam, Kyai Ngurah Made melakukan upaacara persembahyangan di hutan ladang Bun, di sebelah timur Desa Pengumpian. Sesudah sampai di tepi hutan itu, dilihat ada asap tegak berdiri putih seakan - akan sampai di angkasa. Tempat itu kemudian dicari oleh Kyai Ngurah Made, sesampai di tempat itu, layaknya sebagai bun - pohon merambat dilihat oleh beliau asap yang berdiri tegak itu, seperti aneh rasanya dan juga menakutkan. Ketika hilang asap itu, kembali perasaan beliau Ida Kyai Anglurah Made Sakti seperti sediakala, kemudian menaiki timbunan bun itu. Sesudah sampai di puncak, kira - kira ada 80 depa, kemudian ada sabda terdengar dari angkasa :
Kyai Anglurah Made Sakti sudah memiliki Puri di Jenggalabija, sampai kepada rakyatnya sudah memiliki perumahan sesuai dengan keadaan pedesaan yang sudah ada.
Kyai Ngurah Made Sakti benar - benar bijak memegang kekuasaan, beliau ahli dalam sastra, serta senang melaksanakan dewaseraya berbhakti kepada Ida Hyang Widhi dan Bhatara semua. Ppada saat itu ada anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi pada hari Selasa Kliwon - Anggara Kasih, bulan Bali yang kesembilan - Kesanga di tengah malam, Kyai Ngurah Made melakukan upaacara persembahyangan di hutan ladang Bun, di sebelah timur Desa Pengumpian. Sesudah sampai di tepi hutan itu, dilihat ada asap tegak berdiri putih seakan - akan sampai di angkasa. Tempat itu kemudian dicari oleh Kyai Ngurah Made, sesampai di tempat itu, layaknya sebagai bun - pohon merambat dilihat oleh beliau asap yang berdiri tegak itu, seperti aneh rasanya dan juga menakutkan. Ketika hilang asap itu, kembali perasaan beliau Ida Kyai Anglurah Made Sakti seperti sediakala, kemudian menaiki timbunan bun itu. Sesudah sampai di puncak, kira - kira ada 80 depa, kemudian ada sabda terdengar dari angkasa :
“Nah, dengarkanlah sabdaku ini! Segera bersihkan hutan bun ini, kemudian pakai desa maupun perumahan. Sejak sekarang Kyai Ngelurah Pinatih Made menjadi Kyai Ngelurah Pinatih Bun, sampai keturunanmu kelak di kemudian hari menjadi warga Bun.
Setelah selesai mendengar sabda dari angkasa itu, kemudian Ida Kyai Ngurah Made turun. Setelah sampai di tanah kemudian beliau berkeinginan untuk membari tanda tempat itu denga kapur - diberikan tanda silang - tapak dara, sebagai tanda, kemudian beliau pulang ke Puri.
Pada pagi harinya sampailah kemudian di Puri beliau di tegal Bija, kemudian memberitahukan kepada perbekel serta rakyat semuanya. Setelah semua rakyat berdatangan menghadap, kemudian I Gusti Ngurah Made berkata :
“Nah Paman semuanya, saya sekarang memerintahkan paman semuanya untuk merabas hutan bun itu, saya akan membangun desa serta perumahan”.
Rakyat semuanya menyambut dengan perasaan senang hati, menuruti keinginan I Gusti Ngurah Made, semuanya lengkap membawa alat akan merabas Alas Bun itu.
Setelah semua bersih hutan itu dirabas, ketika matahari sudah berada di atas kepala, rakyat semua beristirahat dan mengambil makanan untuk rakyat Bija itu di Pasar Pangumpian, kemudian tiba di Bancingah Pangumpian seraya membuang sampah. Disana dibuang sampah itu oleh rakyat Bija. Setiap hari demikian tingkah rakyat Bija di Pasar Pangumpian. Kemudian ada orang melaporkan permasalahan itu kepada I Gusti Ngurah Pangumpian, prihal tingkah rakyat pendatang itu merabas hutan. Karena itu merasa marah besar I Gusti Ngurah Pangumpian karena tidak ada pemberitahuan kepada I Gusti Ngurah Pangumpian, sebab itu dilarang rakyat pendatang itu merabas hutan Bun itu, karena tidak patut perbuatan rakyat Bija itu, apalagi membuang sampah sembarangan di Bancingah Pangumpian, kemudian dihentikan dengan senjata.
Sesudah itu kemudian I Gusti Ngurah Pangumpian mengumpat mereka sampai kepada Gusti mereka, karena itu segera didengar olah rakyat Bija, sehingga kacau di Pasar Pangumpian apalagi diimbuhi dengan tantangan terhadap Gustinya.
Itu sebabnya menjadi marah I Gusti Ngurah Made kemudian memerintahkan putranya untuk melaksanakan perbuatan sebagai seorang Ksatria.
Saat itu I Gusti Putu Bija sebagai putranya mengikuti ayahnya bersama rakyat semuanya, membawa senjata bersorak sorai semua. Dipimpin oleh sang ayah, kemudian masuk ke Puri Pangumpian. Sangat ramailah perang disana, saling tusuk, saling penggal, itu sebabnya banyak yang mati, sungguh riuh sekali perang antara Bija lawan Pangumpian. Banyak yang mati dan banyak yang luka. Saat itulah kemudian bertemu berperang tanding I Gusti Ngurah Made lawan I Gusti Ngurah Pangumpian, kemudian kalah I Gusti Ngurah Pangumpian dan kemudian meninggal. Sejak itu orang - orang di Pangumpian kalah kemudian ada yang pergi berpencar mencari tempat, ada yang mengungsi ke pegunungan. Ada yang ke arah selatan ke Desa Kesiman, ada di Suwung, di Wimba serta Blumbungan, Kapal. Demikian kesaktian Kyai Anglurah Made, itulah sebabnya kemudian beliau diberi gelar I Gusti Anglurah Sakti Bija. Hentikan dahulu ceritera di Bun Pangumpian.
Diceritakan sekarang yang memegang kekuasaan di wilayah Mengwi yang bernama I Gusti Made Agung Alangkajeng serta bergelar Cokorda Agung Made Bana, beserta adiknya I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng serta I Dewa Karang di Mambal, menanyakan prihal peperangan itu. Kyai Anglurah Bun kemudian mengatakan prihal mendapatkan anugerah dari Hyang Maha Kuasa.
Berkata Cokorda :
“Nah kalau begitu, Dinda Ngurah Bun yang memang benar. Serta Ngurah beserta rakyat patut beralih tempat dari Jenggala Bija berkumpul di Desa Bun. Agar sesuai dengan nama wilayah”.
Diceritakan sekarang yang menjadi pendeta bernama Ida Peranda Wayan Abian mempunyai putra bernama Ida Wayan Abian. Adiknya bernama Ida Ktut Abian, dipakai ipar serta menantu oleh Kyai Ngurah Bun. Itu sebabnya beliau berdiam di wilayah Bun, serta juga berganti nama menjadi warga Bun. Beliau kemudian dijadikan Cudamani oleh Ki Arya Bun serta juga Ki Arya Bija, demikian kesimpulan pertemuan di Geria Sanur. Kemudian juga I Gusti Ngurah Made Bija dapat berdiam di Desa Beranjingan, mendapatkan rakyat 300 orang disampingi oleh menantunya yang bernama Ida Ktut Ngurah.
Diceritakan I Gusti Putu Bija di Beranjingan diiringi oleh para putranya semua membuat senjata 40. Senjata itu kemudian diberi nama Dolo dan Beranjingan, semua senjata itu bertatahkan mas, kemudian dipergunakan sebagai alat upacara di pura - pura serta dipakai peringatan di kelak kemudian hari.
Ada juga terlahir dari warga Beranjingan, bernama I Gusti Ngurah Gde Bija, adiknya bernama I Gusti Ngurah Made Bija Beranjingan, I Gusti Ngurah Anom Lengar, serta terakhir bernama I Gusti Ketut Bija Tangkeng itu semua lahir dari Puri Beranjingan, diamping ada yang wanita.
Dikisahkan I Gusti Putu Bija yang bertempat tinggal di Beranjingan, disusupi oleh loba - tamak, moha hatinya, itu sebabnya berani kepada ayahandanya Kyai Ngurah Made Bija Bun, sehingga tidak ingat lagi bersaudara maupun berayah. Itu sebabnya bertentangan Beranjingan dengan warga Bun. Muncul kesal hati Ida Kyai Ngurah Bun untuk berbicara dengan putranya yang ada Puri Beranjingan, karena anaknya itu merasa diri pintar, tidak lagi peduli pada kelebihan orang lain.
Karena itu, menjadi marah Kyai Ngurah Made Bun, kemudian melakukan perbincangan dengan putranya yang lain seperti I Gusti Ngurah Made Bija Bun, I Gusti Anom Bija, I Gusti Ngurah Teja, I Gusti Ngurah Alit Padang, agar merebut saudaranya yang ada di Beranjingan.
Itu sebabnya menjadi galak rakyat Bun, kemudian didatangi Desa Beranjingan itu oleh pasukan Bun serta dikejar, diburu, karenanya menjadi kacau di daerah Beranjingan, semua keluar membawa alat senjata, semuanya berani menunjukkan keperwiraannya. Disanalah kemudian terjadi perang yang dahsyat, saling tusuk, saling bunuh, dan banyak mati rakyat Beranjingan oleh rakyat Bun. Menyaksikan demikian halnya, sangat marah I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan, akan bersedia mati dalam pertempuran bersama para putra serta isteri semuanya bermaksud untuk menghilangkan jiwanya, dan semuanya mengenakan busana serba putih, sedia akan mati di medan laga.
Karena sudah demikian tekad I Gusti Ngurah Beranjingan, menjadi gentar juga rakyat Bun, serta para putra semuanya, kemudian segera ayahandanya mempergunakan Aji Pregolan, berdiri di depan pinti Puri. Karena kesaktian Kyai Ngurah Made Bun, menjadilah I Gusti Ngurah Beranjingan gentar melihat prabawa ayahnya, takut, tidak berani lagi menentang, sampai dengan rakyat Beranjingan semua, lalu semuanya lari tunggang langgang besar kecil mengungsi serentak menyembunyikan diri menuju desa Srijati di Sibang, kemudian berdiam di Desa Darmasaba, serta menghamba kepada I Gusti Agung Kamasan beserta seluruh rakyatnya, penuh sesak disana di Darmasaba. Dengan demikian I Gusti Ngurah Putu Bija? Beranjingan batal meninggal di medan perang tempat itu kemudian dinamai Jagapati.
Sesudah lama berdiam disana, kemudian semua para putra I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan berpencar. Putra I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan masing - masing adalah I Gusti Ngurah Beranjingan membangun Puri di Banjar Bantas, adiknya I Gusti Ngurah Made Bija Beranjingan mengungsi ke Desa Tingas disertai rakyat 60 KK. I Gusti Ngurah Ketut Bija Tangkeng serta I Gusti Ngurah Anom Lengar, mencari tempat di Moncos diiringi rakyat 60 KK, I Gusti Ketut Rangkeng mencari tempat di Desa Kekeran. Belakangan I Gusti Anom Lengar mengambil isteri dari Dalung, itu sebabnya bolak - balik tempat tinggalnya, kemudian ada putra 3 orang, yang sulung bernama I Gusti Putu Bija, adiknya I Gusti Bija Lekong, yang paling kecil I Gusti Bija Leking, I Gusti Anom Lengar berdiam kemudian di Dalung, akhirnya kemudian di Taman Padangkasa, bersama anaknya I Gusti Leking.
Dikisahkan I Gusti Bija Lekong mengungsi ke wilayah Kuta. Sesudah lama di Kuta banyak sekali puteranya, ada yang mengungsi ke Jembrana I Gusti Putu menuju wilayah Kaba - Kaba kemudian ke Lodsawah.
Kembali diceritakan Kyai Ngurah Made Bija Bun sudah lega hatinya memperoleh kewibawaan di Desa Bun, tidak ada yang membantah perintah beliau, karena sudah juga bermitra dengan Cokorda yang menguasai wilayah Mengwi Ida Cokorda Made Agung Bana. Lama kemudian meninggal penguasa Mengwi Ida Cokorda Made Agung Bana, digantikan oleh adiknya I Gusti Nyoman Langkajeng yang bergelar Cokorda Munggu. Cokorda Munggu mempunyai putra I Gusti Agung Mayun serta I Gusti Agung Made Munggu. I Gusti Agung Mayun menggantikan ayahnya bergelar Cokorda Mayun.
Demikian dahulu keadaan di Mengwi.
Diceritakan sekarang, tidak bagitu lama keadaan ini aman, kemudian tiba masa Kalisengsara - kekacauan, dan ternyata marah besar Ida Cokorda Maun di Mengwi berkehendak menyerang I Dewa Karang yang ada di Puri Mambal.
Karena demikian didengar oleh I Dewa Karang, beliau berbincang dengan ipar beliau di Puri Bun. Setelah selesai bertukar pikiran, maka kembali pulang dengan tidak merasa sak wasangka lagi. Singkat ceritera, pasukan Mengwi sudah datang menyebabkan penuh sesak mengitari. Puri Mambal sudah dipenuhi oleh para putra Mengwi, dipimpin oleh Cokorda Mayun. Setelah dikelilingi puri Mambal itu, sangat duka hati I Dewa Karang, kemudian keluar ke depan Puri itu. Yang sebenarnya diandalkan oleh Puri Mengwi hanyalah pasukan Bun. Dan teryata yang mengitari Puri I Dewa Karang juga? hanya pasukan Bun. Karena itu I Dewa Karang dapat disembunyikan oelh pasukan Bun di tengah - tengah mereka. Menjadi takjub ppasukan Mengwi, heran dengan kesaktian I Dewa Karang yang hilang tidak ada di puri, karena sudah diungsikan - diamankan oleh pasukan Bun. Itu sebabnya pulanglah pasukan Mengwi tanpa hasil. I Dewa Karang kemudian mencari saudaranya yang berdiam di Banjar Tegal wilayah Tegalalang yang bernama I Dewa Bata.
Sesudah lama, tahulah Ida Cokorda Mayun akan tipu muslihat I Gusti Ngurah Made Bun, yang menyebabkan hilangnya I Dewa Karang karena diapaki menantu oleh Anglurah Bun. Penguasa Mengwi kemudian menyuarakan kentongan agung, serta kemudian berangkat Cokorda Mayun beserta balanya semua, akan merusak dan merebut Kyai Naglurah Bun. Bila saja berani dalam medan perang, akan dihabiskan sampai anak cucu Anglurah Bun.
Singkat ceritera, pasukan Mengwi semuanya sudah berangkat menuju puri Bun. Sesampainya di Bancingan Puri Bun, kaget Kyai Ngerurah kemudian memukul kentongan bertalu - talu, serentak rakyatnya semua laki maupun perempuan membawa senjata. Disana kemudian berkecamuklah perang itu, saling amuk, setapakpun tidak mundur, bersorak saling ejek, saling tantang, saling tusuk, saling penggal, saling banting, sama - sama tidak mengenal mana kawan mana lawan, sehingga kemudian peperangan itu sampai ke Puri Bun. Tak dinyana kemudian Cokorda Mayun, sebagai pucuk pimpinan pasukan Mengwi wafat, dapat ditusuk oleh Kyai Nglurah Bun. Serta kalahlah pasukan Mengwi. Jenazah Cokorda Mayun, diceritakan masih di Bun. Kemudian banyak rakyat Mengwi yang masih hidup, kembali ke Mengwi, ada yang langsung menghadap I Gusti Agung Made Munggu, adik Ida Cokorda Mayun yang wafat di Bun. Itu sebabnya murka I Gusti Agung Made Munggu, seraya memerintahkan semua anggota keluarganya untuk menyerang Anglurah Bun. Kemudian berangkat bala pasukan Mengwi dari Munggu dan Mengwi seraya membawa senjata. Di Lambing para putra Mengwi mengadakan pembicaraan. Kesimpulan pembicaraan itu, pasukan akan dibagi dua. Dari barat, sebagai pimpinan pasukan I Gusti Agung Made Kamasan dari Sibang serta I Gusti Agung Jlantik dari Penarungan, serta dari utara, bala pasukan disana mengiringi I Gusti Agung Made Munggu.
Singkat ceritera Kyai Ngurah Bun Pinatih sudah mendengar rencana balas dendam dari Puri Mengwi, jelas akan mendatangkan bala pasukan dalam jumlah yang besar. Kalau dihadapi jelas akan kalah. Kemudian beliau berpikir untuk tidak melawan, serta bersiap untuk meninggalkan puri, mengungsi ke wilayah Badung, bersama dengan anak cucu, besar kecil, serta rakyat semuanya, dengan mengusung Bhatara Kawitan semuanya seperti Siwapakaranaan serta pusaka I Keboraja beserta I Baru Upas.
Setibanya di Badung kemudian menuju Taensiat, rakyat beliau ditempatkan di Banjar Bun serta Banjar Ambengan. Ada yang beralih menuju Angayabaya, Jagapati, Angantaka, Sibang, Paguyangan. Ada yang mengungsi ke wilayah Pagutan, Negara, Pagesangan, Tamesi. Ada ke Tagtag Negara, Pangrebongan bersama I Gusti Tangeb, I Gusti Meranggi. I Gusti Meranggi pindah ke wilayah Sarimertha. Demikian ceritanya dahulu.
Diceritakan sekarang di Puri Bun, karena semua penduduk disana mengungsi ke wilayah Badung, maka keadaan disana menjadi sunyi, tak ada seorangpun kelihatan lewat. Setibanya pasukan Mengwi ditempat itu, maka dilakukan penyerobotan, dijarah semua milik Puri Bun serta milik rakyat disana. Sisa penjarahan adalah purinya, wantilan, merajan, pura, dan juga ada perumahan rakyat, semuanya dibakar habis diratakan sama sekali. Jenazah Cokorda Agung Mayun yang meninggal dan tertinggal di Puri Bun kemudian diambil dibawa pulang ke Mengwi.
Kembali diceritakan I Gusti Ngurah Bun di taensiat, para putra beliau sekarang ada yang pindah ke desa - desa lainnya, seraya memohon diri kepada ayahnya, seperti I Gusti Bun Sayoga ke Sigaran Mambal, I Gusti Ngurah Alit Padang mengungsi ke Karangasem, bertempat tinggal di Padangkertha. I Gusti Ngurah Teja mengungsi ke Denbukit. Ada putranya 3 orang, yang sulung I Gusti Teja - namanya sama dengan ayahnya, di Dawan Banjar, I Gusti demung menuju Timbul, Sukawati. Ayahnya I Gusti Ngurah Bun kemudian berpuri di Taensiat. Demikian dahulu.
Diceritakan I Dewa Karang berpuri di Banjar Tegal, beliau senang melakukan persembahyangan, disana di Dalem Pamuwusan namanya. Kemudian ada anugerah Ida Sang Hyang Widhi, beliau mendapatkan anugerah senjata dua buah. Itu sebabnya sangat suka cita I Dewa Karang, sangat percaya diri di hatinya.
Karena itu beliau bermaksud untuk mencari I Gusti Ngurah Made Bun di Puri Taensiat, agar turut serta berpuri di Banjar Tegal. Singkat ceritera, sangat senang hati I Gusti Ngurah Made Bun, demikian juga I Dewa Karang kemudian berjalan diiringi rakyatnya semua dengan membawa perlengkapan menuju Alas Kawos, namun putranya yang bernama I Gusti Ngurah Putu Wija diangkat atau kadharma putra oleh Kyai Pamecutan. Kemudian diceriterakan I Dewa Karang dan I Gusti Ngurah Made Bun bersama tempat tinggalnya kemudian menuju desa Kengetan.
Diceritakan I Gusti Wirya yang bertempat tinggal di Kengetan, dan juga di desa Singakertha, ditantang oleh I Dewa Karang dan I Gusti Ngurah Made Bun untuk berperang tanding. Akhirnya seperti keder hati I Gusti Wirya di Kengetan, kemudian beralih tempat semuanya serentak membawa perlengkapan di saat malam menuju desa Sigaran terus ke Melanjung.
Sejak itu kemudian desa Kengetan, Jukutpaku, serta Singakertha dikuasain oleh I Dewa Kaarang. Karena keberhasilan itu, kemudian I Dewa Karang beserta I Gusti Ngurah Made Bun membuat puri di Karang Tepesan sampai kepada rakyatnya semua.
Entah berapa masa sudah berpuri disana, ada usulan dari I Gusti Ngurah Made Bun agar membangun Puri yang baik dan indah, sebab keadaan sudah membaik, terus dinamai wilayah Negara. I? Gusti Ngurah Made Bun membangun puri dinamai Puri Negari.
I Dewa Karang mempunyai janji dengan I Gusti Ngurah Made Bun agar bersuka duka berdua, dan semoga terus sampai ke keturunannya nantinya. Demikian inti perbincangan I Dewa Karang serta I Gusti Ngurah Made Bun, semuanya merasa suka cita.
Diceritakan Ida Peranda Nyoman Padangrata yang pernah menjadi pendeta atau Bagawantah Ida Ngurah Bun sudah berpindah dari wilayah Bun, diikuti oleh putra serta isteri menuju desa Kutri, sewilayah dengan Negara. Banyak rakyat I Dewa Karang ada di Kutris diberikan kepada Ida Peranda. Demikian halnya di masa lalu, dicantumkan dalam pariagem.
Dilanjutkan sekarang purtra I Gusti Ngurah Made Bun di Negari semua sudah diandalkan oleh I Dewa Karang yang berkuasa di Negara. Putra I Gusti Ngurah Made Bun yang paling sulung bernama I Gusti Ngurah Gde Bun atau I Gusti Ngurah Mawang berpuri di Negari, I Gusti Anom Angkrah di Banjar Tunon, I Gusti Ketut Alit Bija bertempat tinggal di Kutri, I Gusti Ngurah Tangeb mmasih di Mawang, serta wanita I Gusti Ayu Oka juga di Negari. Semuanya memiliki jiwa keperwiraan masing - masing. Demikian keadaannya.
Diceritakan sekarang yang menjadi penguasa wilayah Gianyar bernama Ida I Dewa Manggis, memberi perintah kepada I Dewa Karang agar para putra Anglurah Bun Pinatih menjadi pengokoh wilayah Gianyar, paling utama mengawasi Tegal Pangrebongan. Kesimpulan perbincangan itu agar putra Ngurah Bun yang bernama I Gusti Ngurah Tangeb, yang memamng keturunan Pinatih, itu yang mengawasi di Pangrebongan, diberikan rakyat 200 orang. Demikian dicatat di Pariagem.
Juga diceritakan Ida Bang Pinatih memiliki keturunan yang bernama mangurah Guwa dan Mangurah campida. Keduanya, ketika masa kerajaan Gelgel atau Sweca Linggarsa Pura, ada di lingkunga Ida Dalem. Namun ketika masa pemberontakan I Gusti Agung Maruti, terjadi huru - hara, maka sanak keturunan beliau berdua meninggalkan Gelgel, ke arah timur perjalanannya, serta kemudaian berdiam di desa Gunaksa. Disana membangun kahyangan dinamai Pura Guwa. Tujuannya agar diketahui oleh keturunannya sebagai keturunan Mangurah Guwa. Demikian tercatat dalam prasasti, tentang keadaan Sira Mangurah Guwa.
Diceritakan pula di kemudian hari mendapatkan panjang umur keturunan Mangurah Guwa, ada yang pindah ke desa Timhun, sanak saudara yang lain menuju desa Aan. Ada juga yang meninggalkan desa Gunaksa yang menuju desa Akah, Pagubungan Manduang serta Nusa Penida.
Demikian kisahnya Mangurah Guwa dan Mangurah Campida.
Dan demikian pula kisah tentang keberadaan sanak keturunan Ida wang Bang Banyak wide yang kemudian menjadi warga Arya Wang Bang Pinatih di seluruh pelosok Pula Bali.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
0 komentar:
Posting Komentar