Mungkin suatu saat ke depan dibutuhkan sebuah “ensiklopedi” yang merupakan himpunan kesatuan pemahaman atau tafsir mengenai arsitektur Bali. Di dalamnya mungkin bisa dimuat landasan fasafah,pemaknaan, dan perihal yang esensial dalam keanekaragaman-keragaman dan keunikan arsitektur Bali. Jelas hal ini samasekali terlepas jauh dari substansi penyeragaman arsitektur dalam cakupan fisik. Namun, justru lebih terkait dalam konteks wilayah penyamaan pemahaman isi dan makna, atas realitas ketidaksamaan wujud penampakan arsitektur Bali di masing-masing tempat.
Kesatuan tafsir itu tentu perlu dipedomani oleh hasil penggalian atau penelitian terhadap saripati arsitektur Bali klasik, tradisional atau vernakularnya. Selain berharap agar tidak ada persepsi maupun penafsiran yang samar terhadap esensi arsitektur Bali.
Esensi yang diharapkan bisa “ajeg” dengan masing-masing kekhasan lokalnya karena arsitektur berdiri dan beradaptasi dengan kondisi alam lingkungan dan nilai-nilai cultural setempat. Untuk itu, pusaka kharismatik arsitektur Bali yang religius dan estetik, kiranya perlu diberi ruang sebagai dinamika denyut teks yang hidup. Lantas, bagaimana menyikapinya agar perkembangan maupun transformasinya senantiasa berasaskan pada akar local geniusnya?
Manusia tentu tak pernah lepas dari prosesi beraktivitas di era peradabannya. Ketidakpahaman akan nilai-nilai moral dan makna dalam kandungan arsitektur agak berpeluang timbulkan pergeseran tafsir. Arsitektur sebagai bagian dari kebudayaan hendaknya bisa dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan kaku atau statis.
Agaknya perlu bercermin, dari kiprah para undagi tempo dulu, dalam berkarya tak lepas dari penjiwaan akumulasi norma-norma dan nilai-nilai kesepakatan moral yang berlaku di masyarakat. Maka di dalamnya bersimpul pesan moral, etika, tatakrama, religiusitas dan “penyucian” perilaku manusia pengguna arsitekturnya. Pendek kata, unsur “rasa” pun amat berperan dominan menjiwai arsitektur Bali tradisionalnya.
Misalnya, bagaimana membangun pemahaman atau penafsiran yang lebih mengena, benar dan baik tentang tata cara membangun paumahan menurut smerti agama Hindu bagi para pemeluknya di Bali. Seperti yang bisa ditemukan dalam lontar “Keputusan Sang Hyang Anala” yang memuat secara rinci mengenai cara memilih tanah, jenis tanah, tata ruang halaman, prosedur membangun hingga upacara yang berhubungan dengan nyakap palemahan dan melaspas bangunan.
Sejauh ini, kiranya sudah ada bergulir butir-butir tafsir berupa wacana tentang arsitektur Bali menurut tatwa agama Hindu. Dalam pengertiannya ialah jika segala hasil perwujudan manusia dalam bentuk bangunan, mengandung keutuhan/kesatuan dengan agama (ritual) dan kehidupan budaya masyarakat. Di mana yang tercakup dalam bangunan itu meliputi kemampuan merancang dan membangun, serta di dalam mewujudkan seni bangunannya mengikuti berbagai prinsip, seperti bentuk, konstruksi, bahan, fungsi dan keindahan. Hanya saja mungkin agak jarang atau tidak pernah disosialisasikan maupun dilokakaryakan.
Para tetua atau undagi dulu menyebutkan, pada dasarnya yang dimaksud bangunan Bali yakni setiap bangunan yang berdasarkan tatwa (filsafat) agama Hindu. Dengan pengelompokan bangunan Bali, meliputi bangunan suci /keagamaan dan bangunan adat. Bangunan Bali itu memiliki beberapa ketentuan, seperti tempat atau denahnya berlandaskan pada lontar Asta Bumi, pun bangunan atau konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan Asta Kosala/Kosali, selain bahan-bahan atau ramuannya (seperti kayu, ijuk, alang-alang, batu alam, bata, dll.) berdasarkan pula pada lontar-lontar tersebut. Lontar yang khusus mengulas tentang klasifikasi kayu yang hendak digunakan untuk umah maupun bangunan-bangunan suci seperti lontar Janantaka.
Kandungan cirri-ciri bangunan Bali disebutkan meliputi pengider-ideran (catur loka atau asta dala), tri mandala / tri loka, adanya upacara sangaskara (penyucian) serta mengandung simbol-simbol sesuai dengan ajaran agama Hindu (seperti padma, naga, Sanghyang Acintya, dll). Sementara bentuk dan nama bangunan Bali senantiasa berdasarkan ketentuan-ketentuan lontar Asta Dewa, Asta Kosala/Kosali, dan lontar Wiswakarma yang mengulas tentang keprofesian undagi.
Tata laksana dan penyucian bangunan Bali meliputi ngeruak karang, nyukat karang, nasarin, memakuh dan ngurip-urip. Selaras dengan ketentuan yang ada dalam lontar Asta Dewa, Asta Kosala-Kosali, dan lontar Wiswakarma, yang mengulas tentang keprofesian undagi. Tata laksana dan penyucian bangunan Bali meliputi ngeruak karang, nyukat karang, nasarin, memakuh dan ngurip-urip. Selaras dengan ketentuan yang ada dalam lontar Asta Dewa, Asta Kosala/Kosali dan lontar-lontar lainnya, ketertiban fungsi dan penggunaannya dinyatakan, bahwa semua wujud bangunan Bali hendaknya mengikuti ketentuan-ketentuan yang disebutkan tadi, selain fungsi dan penggunaannya ditetapkan pada proporsi yang baik dan benar.
Arsitektur Bali sejatinya telah telah dibekali banyak lontar yang berkaitan dengan arsitektur. Ada lontar Asta Patah yang terkait dengan ukuran dan jarak tiang bangunan. Swakarma perihal tata cara menebang kayu, Padmabhumi yang menyangkut sejarah lokasi pura-pura di Bali berlandaskan pengider-ideran pada bhuana agung. Janantaka tentang klasifikasi kayu yang hendak digunakan untuk bangunan-bangunan suci maupun umah.
Kemudian ada lontar tentang Sikuting Umah, berhubungan dengan pengukuran bangunan perumahan. Lainnya, ada Bhuana Kretih, terkait upacara-upacara dalam proses mendirikan bangunan sejak awal hingga selesai. Ada pula Dewa Tatwa yang mengulas jenis-jenis sesajen atau pedagingan untuk masing-masing palinggih dan jenis-jenis upacara pamelaspas. Intinya, semua itu boleh dikata sebagai “tutur-tutur” yang mengingatkan kembali, agar orang-orang senantiasa mensyukuri, menghormati dan memberi keseimbangan pada alam, tidak mengeksploitasi. Selain tetap eling dan bakti pada Hyang Pencipta serta kasih saying pada sesama makhluk ciptaan-Nya.
Nah, adanya pemahaman dalam pemaknaan arsitektur yang benar dan baik tentu nantinya akan dapat memberikan pengaruh terhadap kesantunan berkarya arsitektur di Bali. Kesantunan sebagai bingkai kejujuran, transparansi pengutaraan dan penciptaan ruang-ruang yang beretika dalam format nalar dan cita rasa yang kreatif hendaknya semakin mengakar dan membumi. Boleh jadi, pemahaman itu akan bermuara pada tafsir yang lebih bijak dan arif terhadap keberagaman arsitektur Bali itu sendiri. Maka sepatutnya, jangan seragamkan kekhasan arsitektur lokal yang satu dengan lainnya di tempat berbeda.
Keberagaman menunjukkan kekayaan local geniusnya. Arsitektur hunian vernacular Bali maupun tempat peribadatan (parhyangan) yang ditata dalam sebuah desa, masing-masing wilayah memiliki pola-pola khas yang unik. Misalnya ada pola desa-berarsitektur khas-Sembiran, Sukawana, Sidatapa, Julah, Tenganan, Pengotan, Kekeran, Jatiluwih, Tengkudak, Wongaya Gede, Bugbug, Tihingan, Nyalian, Legian, Bayung Gede, dan masih banyak lagi. Begitu pula tatanan ruang dan masa bangunannya, punya keunikan masing-masing. Bukankah keberagaman itu indah?
0 komentar:
Posting Komentar