Mudah-mudahan tiada halangan! Permohonan maaf hamba ke hadapan arwah para leluhur yang disemayamkan dalam wujud Ongkara dan selalu dipuja dengan hati suci. Dengan memuja dan memuji kebesaran Sanghyang Siwa semoga penulis terhindar dari segala kutukan, derita, cemar, duka-nestapa, dan halangan lainnya. Mudah-mudahan tujuan hamba yang suci ini berhasil serta bebas dari dosa-dosa karena menguraikan cerita leluhur di masa lampau, semoga direstui sehingga mendapat kejayaan, keselamatan, keabadian, panjang usia, sampai dengan seluruh keluarga turun temurun.
Baiklah kisah ini saya mulai:
Majapahit yang dipimpin Raja Putri: Sri
Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani bersama Patih Agung: Gajah
Mada berhasil menguasai Kerajaan Bali Aga yang dipimpin oleh Raja:
Paduka Bathara Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten (dikenal dengan nama:
Bedahulu) dengan Patih: Ki Pasung Grigis dan Ki Kebo Iwa, pada tahun
1343 M atau isaka 1265.
Pimpinan Pemerintahan sementara
diserahkan kepada Mpu Jiwaksara yang kemudian bergelar Ki Patih Wulung.
Beliau menempatkan pusat Pemerintahan di Gelgel. Walaupun Bali sudah
dikalahkan Majapahit, tidak berarti rakyat dan tokoh-tokoh militer Bali
Aga sudah menyerah.
Mereka terus mengadakan perlawanan di
bawah tanah, dan sekali-sekali muncul ke permukaan, misalnya
pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di
Batur. Setelah tujuh tahun barulah pemberontakan-pemberontakan dapat
dipadamkan, namun rakyat Bedahulu masih belum mau menerima kehadiran
“si-penjajah” sepenuh hati.
Melihat keamanan sudah membaik dan
Pemerintahan sudah dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka pada tahun
1350 M atau 1272 isaka, Ki Patih Wulung berangkat ke Majapahit untuk
menghadap Sri Ratu. Tujuannya adalah melaporkan situasi di Bali dan
memohon penunjukan seorang Raja di Bali Dwipa.
Atas saran Patih Agung Gajah Mada, pada
tahun itu juga dilantiklah empat orang Raja, putra-putri Sri Soma
Kepakisan, untuk memimpin kerajaan-kerajaan yang sudah ditaklukkan,
yaitu: Sri Juru, menjadi Raja di Blambangan, Sri Bhima Sakti menjadi
Raja di Pasuruan, Sri Kepakisan (putri) menjadi Raja di Sumbawa, dan Sri
Kresna Kepakisan menjadi Raja di Bali Dwipa.
Dalem Ketut kemudian bergelar Dalem Sri
Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada
tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I
Dewa Wawu Rawuh. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke
Samprangan (Samplangan). Ki Patih Wulung menjabat sebagai Mangku Bumi.
Dalem Sri Kresna Kepakisan beristri dua,
yaitu yang pertama: Ni Gusti Ayu Gajah Para, melahirkan: Dalem Wayan
(Dalem Samprangan), Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan), Dewa Ayu Wana
(putri, meninggal ketika masih anak-anak), dan Dalem Ketut (Dalem Ketut
Ngulesir). Istri yang kedua: Ni Gusti Ayu Kuta Waringin, melahirkan:
Dewa Tegal Besung.
Dalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada
tahun 1373 M atau 1295 isaka. Beliau digantikan oleh putranya yang
tertua, yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem Sri Agra Samprangan. Beliau
memerintah secara sah sampai tahun 1383 M atau 1305 isaka, kemudian
beliau digantikan oleh adiknya, yaitu: Dalem Ketut Ngulesir, bergelar
Dalem Sri Semara Kepakisan, memerintah sejak tahun 1383 M atau 1305
isaka sampai tahun 1460 M atau 1382 isaka. Ibu kota Kerajaan dipindahkan
dari Samprangan ke Gelgel yang diberi nama baru: Sweca Pura.
Di awal pemerintahan Dalem Sri Agra
Samprangan (tahun 1373 M atau 1295 isaka) terasa situasi di Puri
Samprangan memburuk, yaitu adanya upaya mengadu domba Raja dengan
adik-adik beliau yang dilakukan oleh para Menteri dan pembantu dekat
Raja.
Untuk menghindari pertengkaran, maka
kedua adik Raja, yaitu Dalem Di-Madia dan Dalem Ketut, memilih tinggal
di luar istana. Dalem Di-Madia membangun istana dan bermukim di Desa
Tarukan, Pejeng, oleh karena itu beliau bergelar: Dalem Tarukan. Dalem
Ketut, tidak menetap. Beliau berpindah-pindah dari satu Desa ke Desa
lain, menyamar sebagai penjudi ayam aduan; penduduk lalu menjuluki
beliau: Dalem Ketut Ngulesir.
Selain untuk menghindari pertengkaran,
beliau berdua juga bermaksud menyelidiki dukungan rakyat Bali (Bali-Aga)
terhadap pemerintahan Samprangan serta mengadakan pendekatan dengan
rakyat. Ide Bethara Dalem Tarukan memilih Desa Tarukan di Pejeng sebagai
istana, karena dekat dengan rakyat Bedahulu yang sebahagian besar masih
belum mengakui pemerintahan Samprangan.
Sementara itu pergolakan di Puri
Samprangan makin memanas, ditandai dengan pemberian julukan yang tidak
pada tempatnya kepada Raja, di mana Dalem Sri Agra Samprangan diberi
julukan Dalem Ile (Ile=gila), Dalem Tarukan dinyatakan “rangseng” (=gila
karena marah), dan Dalem Ketut dinyatakan sangat suka berjudi,
khususnya mengadu ayam.
Julukan tidak pada tempatnya yang
diberikan kepada para Raja itu sangat bertentangan dengan ajaran agama
Hindu yang senantiasa mengajarkan penghormatan tinggi kepada Pemimpin
Pemerintahan. Penghinaan kepada Raja itu jelas fitnah, karena jika benar
adanya, pasti Maha Raja Majapahit dan Maha Patih Gajah Mada tidak akan
tinggal diam.
Tindakan pemecatan atau penggantian Raja
pasti dilakukan. Selain itu, jika julukan itu benar, para musuh, yaitu
rakyat Bedahulu akan mempunyai peluang yang baik untuk menggulingkan
Pemerintahan Samprangan.
Setelah selesai membangun Puri, Dalem
Tarukan menikahi seorang Bidadari dari Gunung Lempuyang. Karena belum
mempunyai putra, beliau mengajak kemenakannya, yaitu cucu Dalem Wayan,
Raja Blambangan, bernama: Kuda Penandang Kajar untuk tinggal
bersama-sama di Puri Tarukan.
Kuda Penandang Kajar adalah seorang
pemuda yang tampan, gagah, dan mempunyai kekuatan batin yang tinggi,
khusus untuk meneliti apakah tanah ada kandungan emasnya atau tidak.
Karena itulah Puri Tarukan sangat mewah dan terkesan kaya raya karena
dipenuhi ornamen emas murni. Dalem Tarukan sangat menyayangi
kemenakannya.
Pemerintahan Samprangan di ambang
kehancuran, karena tidak adanya dukungan dari para Menteri dan pembantu
Raja. Dalem Wayan merasa perlu memanggil adik beliau, yaitu Dalem Ketut
untuk diajak kembali tinggal di Puri Samprangan. Maksudnya agar Dalem
Ketut turut membantu beliau menyelenggarakan pemerintahan.
Perbekel Kaba-Kaba diutus beliau untuk
menjemput Dalem Ketut ke Desa Pandak, tetapi Dalem Ketut menolak karena
beliau merasa belum mampu memimpin kerajaan di Samprangan. Jika
Samprangan telah dipenuhi oleh para menteri dan pembantu Raja yang tidak
setia, apakah beliau akan dapat memimpin dengan baik?
Sementara Dalem Ketut mencari jalan
keluar memecahkan masalah ini, datanglah Kuda Penandang Kajar sebagai
utusan Dalem Tarukan memohon Dalem Ketut pulang untuk memimpin Kerajaan
Samprangan. Dalem Tarukan sendiri tidak berniat menjadi Raja, karena
beliau lebih tertarik kepada profesi kepanditaan. Pesan lain yang
disampaikan Kuda Penandang Kajar adalah, jika Dalem Ketut berkenan,
beliau dibolehkan menggunakan istana Tarukan.
Walaupun penjemputan kali ini penuh
penghormatan dan kemewahan, misalnya dengan kuda tunggangan istimewa
bernama I Gagak dan sebuah keris milik Dalem Tarukan yang bernama I
Pangenteg Rat, Dalem Ketut tetap menolak permintaan kakaknya itu, sekali
lagi dengan alasan belum mampu memimpin atau menjadi Raja.
Kecewa karena tugasnya tidak berhasil,
Kuda Penandang Kajar kembali ke Tarukan dengan lesu. Di perjalanan
beliau disambar burung gagak hingga destarnya jatuh. Sesampainya di
gerbang istana Tarukan, dilihatnya puncak gelung kuri terpenggal. Hanya
Kuda Penandang Kajar yang melihat demikian, sementara para pengiringnya
tidak melihat puncak gelung kuri itu terpenggal.
Pertanda buruk ini terkesan mendalam di
hati Kuda Penandang Kajar, sampai-sampai beliau jatuh sakit. Dalem
Tarukan prihatin pada sakit yang diderita kemenakannya ini.
Sementara itu tersiar berita yang
mengagetkan, bahwa para panglima perang Samprangan merencanakan
memerangi Kerajaan Blambangan. Dalem Tarukan tidak setuju dengan rencana
itu, mengingat bahwa Dalem Blambangan, yaitu ayah Kuda Penandang Kajar,
masih saudara sepupu beliau.
Dalem Tarukan berpendapat bahwa rencana
itu mempunyai latar lain, mungkin saja gerakan merebut kekuasaan, yaitu
bila prajurit dikerahkan ke Blambangan, Dalem Wayan akan mudah
digulingkan.
Dalem Tarukan cepat mengambil inisiatif
untuk mengikat tali persaudaraan antara Samprangan dengan Blambangan,
yaitu dengan menikahkan Kuda Penandang Kajar dengan putri Dalem Wayan,
bernama I Dewa Ayu Muter. Dengan ikatan tali persaudaraan itu, perang
dapat dicegah.
Sakitnya Kuda Penandang Kajar menjadi
suatu jalan untuk memohon restu para Dewata. Jika Dewata mengijinkan
pernikahan ini, kesembuhan Kuda Penandang Kajar menjadi suatu batu
ujian. Pertimbangan lain, Dalem Tarukan melihat bahwa Kuda Penandang
Kajar sudah cukup dewasa, dan dari gelagat sehari-hari nampaknya
tertarik kepada I Dewa Ayu Muter.
Terucaplah tegur sapa Dalem Tarukan
kepada Kuda Penandang Kajar: Duhai anakku, segeralah sembuh; ayah
berkeinginan mengawinkan anak dengan I Dewa Ayu Muter. Ternyata
permohonan Dalem Tarukan kepada para Dewata terkabul. Kuda Penandang
Kajar segera sembuh dan sehat seperti semula. Tentu saja Dalem Tarukan
sangat bergembira.
Kini beliau merencanakan mewujudkan
perkawinan kedua muda-mudi itu. Untuk meminang tentu saja tidak mungkin,
karena posisi Dalem Wayan sangat lemah. Beliau hampir tidak dapat
memutuskan sesuatu. Semua keputusan diambil oleh para Menteri. Akhirnya
dilaksanakanlah perkawinan secara adat kawin-lari.
Awalnya perkawinan itu berjalan lancar,
sampai pada malam hari terjadi hal yang merupakan akhir dari keberadaan
Puri Tarukan. Kedua mempelai yang sedang berbulan madu di peraduan,
tewas berbarengan tertusuk senjata keris.
Seorang abdi perempuan pengasuh I Dewa
Ayu Muter di Puri Samprangan melaporkan secara tergesa-gesa kepada Dalem
Wayan bahwa putri beliau satu-satunya, yaitu I Dewa Ayu Muter, semalam
telah tewas di Puri Tarukan terbunuh oleh Ki Tanda Langlang.
Dalem Wayan tentu saja sangat terkejut
dan segera memanggil para menterinya. Seorang panglima perang
menyampaikan ceritra yang lengkap, serta memperkuat keyakinan Dalem
Wayan bahwa putri beliau bersama-sama Kuda Penandang Kajar benar telah
tewas ditikam Ki Tanda Langlang.
Betapa murkanya Dalem Wayan setelah
mendapat penjelasan para Menterinya itu. Segera disuruhlah memukul
kentongan dengan suara “bulus” sehingga para prajurit segera berkumpul
di halaman istana. Di saat itu Dalem Wayan memerintahkan pasukan Dulang
Mangap yang dipimpin Panglimanya Kiyai Parembu, menyerang menghancurkan
Puri Tarukan serta menangkap Dalem Tarukan hidup atau mati. Dengan
bersorak gegap gempita pasukan itu bergegas menuju Puri Tarukan.
Kini diceritakan Ide Bethara Dalem
Tarukan di Puri Tarukan. Betapa sedih dan terkejutnya beliau menyaksikan
nasib yang tragis menimpa putra kesayangannya bersama menantunya yang
meninggal di kamar pengantin justru pada malam pertama yang seharusnya
berkesan sangat bahagia.
Beliau sadar bahwa kejadian ini adalah
puncak upaya yang sangat keji dari orang-orang yang ingin menguasai
kerajaan Samprangan. Beliau ingin menyelesaikan masalah ini melalui
pembicaraan dengan kakak beliau, tetapi nampaknya keadaan sudah tidak
memungkinkan lagi karena Dalem Wayan sudah termakan fitnah.
Terdengar pula berita bahwa pasukan
Dulang Mangap sedang menuju Puri Tarukan untuk menangkap beliau dan
menghancurkan Puri Tarukan. Di saat yang berbahaya itu beliau cepat
berpikir dan kemudian dikumpulkanlah semua prajurit Tarukan.
Beliau meminta agar bila pasukan Dulang
Mangap datang, prajurit Tarukan menyerah, tidak melawan, dengan cara
membuang senjata dan duduk bersila di tanah dengan posisi kedua tangan
memeluk tengkuk (leher bagian belakang). Beliau juga meminta agar
permaisuri tetap tinggal di istana dan menyerah kepada Dalem Wayan.
Betapa sedih dan pilu hati permaisuri
tiada terperikan. Ingin beliau menyertai Dalem Tarukan pergi ke mana
saja, tetapi itu tidak mungkin karena beliau sedang hamil besar.
Prajurit Tarukan juga tidak mau menyerah
begitu saja. Mereka sangat mencintai Dalem Tarukan dan meminta
diijinkan menghadapi pasukan Dulang Mangap sampai habis-habisan (perang
puputan). Dalem Tarukan tidak mengijinkan. Beliau mengingatkan bahwa
masalah ini adalah masalah pertikaian antar keluarga, yaitu beliau
dengan kakak beliau, Dalem Wayan.
Beliau tidak ingin karena pertikaian
keluarga ini lalu rakyat yang menjadi korban sia-sia. Dengan berat hati
beliau juga berpesan kepada permaisuri agar baik-baik menjaga putranya
yang masih di kandungan.
Permaisuri tetap berlutut meratapi
keputusan Dalem Tarukan. Dalem Tarukan berusaha menenangkan permaisuri
dengan mengatakan bahwa kejadian ini sudah kehendak Dewata. Kita sebagai
manusia tiada daya menolak kehendak Yang Maha Kuasa. Karena itu
pasrahlah; serahkanlah hidup mati kita kepada-Nya. Setelah itu beliau
segera berangkat seorang diri ke arah utara.
Pasukan Dulang Mangap di bawah
Panglimanya Kiyai Parembu dengan teriakan-teriakan histeris bagaikan
serigala haus darah, tiba di Puri Tarukan. Mereka terheran-heran karena
melihat semua pasukan dan rakyat Tarukan menyerah total tanpa
perlawanan, bahkan duduk bersila dengan pandangan menunduk memandang
tanah.
Sesuai aturan perang, seorang kesatria
tidak akan membunuh pasukan yang sudah menyerah apalagi tanpa senjata.
Mereka masuk ke istana, memeriksa setiap sudut tetapi tidak menjumpai
jejak Dalem Tarukan. Mereka hanya menemukan permaisuri beliau yang
bersimpuh berurai air mata.
Pasukan Dulang Mangap lalu menjarah isi
Puri Tarukan dan membakar sampai habis Puri Tarukan. Para tawanan
digiring ke Puri Samprangan. Kejadian yang memilukan ini terjadi pada
tahun 1377 M atau 1299 isaka.
Kiyai Parembu menghadap Dalem Wayan di
Puri Samprangan, dan melaporkan bahwa Dalem Tarukan telah melarikan diri
ke arah utara. Segala hasil jarahan Puri Tarukan diserahkan, dan
permaisuri Dalem Tarukan ditawan di Puri Samprangan.
Dalem Wayan memerintahkan Kiyai Parembu
untuk meneruskan pengejaran esok harinya. Kiyai Parembu menyiapkan
pasukan bersenjata sebanyak 2000 orang.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
0 komentar:
Posting Komentar