Senin, 12 November 2012

TAJEN.. NILAI SAKRAL VS JUDI

 
Bagi sebagian orang Bali tajen adalah bagian dari ritual adat budaya yang identik dengan tabuh rah harus dijaga dan dilestarikan, bagi sebagian orang Bali yang lain, tajen merupakan bentuk perjudian yang harus dihapuskan, karena dianggap tidak sesuai dengan norma-norma dalam agama Hindu-Bali itu sendiri.
Maraknya judi di seluruh pelosok Bali disebabkan bukanlah karena umat Hindu di Bali tidak taat beragama, tetapi karena tidak tahu bahwa judi itu dilarang dalam Agama. Judi khususnya tajen sudah mentradisi di Bali. Dampak negatif pariwisata dalam hal ini seolah-olah membenarkan tajen sebagai objek wisata antara lain terlihat dari banyaknya lukisan atau patung kayu yang menggambarkan dua ekor ayam sedang bertarung, atau gambaran seorang tua sedang mengelus-elus ayam kesayangannya. Berjudi juga sering menjadi simbol eksistensi kejantanan. Laki-laki yang tidak bisa bermain judi dianggap banci. Judi juga menjadi sarana pergaulan, mempererat tali kekeluargaan dalam satu Banjar. Oleh karena itu bila tidak turut berjudi dapat tersisih dari pergaulan, dianggap tidak bisa “menyama beraya”. Di zaman dahulu sering pula status sosial seseorang diukur dari banyaknya memiliki ayam aduan. Raja-raja Bali khusus menggaji seorang “Juru kurung” untuk merawat ayam aduannya. Ketidaktahuan atau awidya bahwa judi dilarang Agama Hindu antara lain karena pengetahuan agama terutama yang menyangkut Tattwa dan Susila kurang disebarkan ke masyarakat.

Motivasi lain berjudi adalah keinginan untuk mendapatkan uang dengan cepat tanpa bekerja. Yang dimaksud dengan bekerja menurut Agama Hindu adalah pekerjaan yang berhubungan dengan yadnya sebagaimana ditulis dalam Bhagawadgita Bab III.9 : Yajnarthat karmano nyatra, loko yam karmabandhanah, tadartham karma kaunteya, muktasangah samacara. Artinya “Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya, dunia ini juga terikat dengan hukum karma. Oleh karenanya Oh Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya, bebaskan diri dari semua ikatan.” Dengan demikian mereka yang ingin dapat hasil tanpa bekerja tergolong orang tamasik. Walaupun dalam judi ada unsur untung-untungan atau sesuatu yang tidak pasti, tidak menyurutkan keberanian orang-orang tamasik berjudi, malah makin mendorong keinginan mereka berspekulasi dengan harapan hampa mendapat kemenangan
Menurut sejarah, tajen dianggap sebagai sebuah proyeksi profan dari salah satu upacara yadnya di Bali yang bernama tabuh rah. Tabuh rah merupakan sebuah upacara suci yang dilangsungkan sebagai kelengkapan saat upacara macaru atau bhuta yadnya yang dilakukan pada saat tilem. Upacara tabuh rah biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, sampai salah satu ayam meneteskan darah ke tanah. Darah yang menetes ke tanah dianggap sebagai yadnya yang dipersembahkan kepada bhuta, lalu pada akhirnya binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan naik tingkat pada reinkarnasi selanjutnya untuk menjadi binatang lain dengan derajat lebih tinggi atau manusia. Matabuh darah binatang dengan warna merah inilah yang konon akhirnya melahirkan budaya judi menyabung ayam yang bernama tajen. Namun yang membedakan tabuh rah dengan tajen adalah, dimana dalam tajen dua ayam jantan diadu oleh para bebotoh sampai mati, jarang sekali terjadi sapih. Upacara tabuh rah bersifat sakral sedangkan tajen adalah murni bentuk praktik perjudian.
Sampai saat ini, persoalan tajen di Bali tetap menjadi sesuatu yang cukup dilematis. Dalam perspektif hukum positif, kegiatan apapun yang mengandung unsur permainan dan menyertakan taruhan berupa uang, maka dianggap sebagai perjudian dan dianggap terlarang. Namun di sisi lain, tajen yang sebenarnya merupakan sebuah proyeksi profan dari tabuh rah dianggap sebagai salah satu bentuk upacara adat yang sakral, patut dijunjung tinggi, dihormati dan tentu saja dilestarikan.
Jadi berdasarkan uraian di atas menarik  jika masalah tajen di Bali diangkat menjadi sebuah topik permasalahan. Kedua hal di atas, yaitu antara makna hakiki upacara adat di Bali dan pola pergeseran makna yang terjadi pada kasus tajen pada kenyatannya saling berintegrasi dan secara konkret sulit dipisahkan. Pergeseran makna yang terjadi sudah terlanjur terinternalisasi dalam kesadaran intelektual dan perasaan orang Bali. Tanpa disadari pergeseran makna tersebut “mencengkeram masyarakat Bali”, tentunya masyarakat Bali yang menyetujui dan mempertahankan adanya tajen. Tajen yang mulanya dianggap berasal dari upacara tabuh rah, telah berdiri sendiri menjadi satu konstruksi budaya yang tanpa disadari mereka menjebak dalam konstruksi nilai yang bertentangan dengan hakikat nilai yang sebenarnya dianut oleh masyarakat Hindu-Bali. Sebuah harmonisasi antara bhuana agung dan bhuana alit, upakara suci untuk upacara suci, upacara suci untuk menjaga realitas ambang antara yang abstrak dan yang nyata. Antara nilai adat, Agama hukum positif dan kepentingan industri pariwisata.

1.      Bagi masyarakat Bali tentunya akan lebih bisa membedakan antara judi tajen dengan tabuh rah dimana judi tajen menurut kitab-kitab Hindu dan sumber hukum Hindu dilarang karena melanggar ajarn agama dan hokum perundang-undangan, sehingga tidak menjadikan tabuh rah sebagi topeng untuk melegalkan perjudian yang atas nama adat.
2.      Bagi pembaca nantinya akan lebih mengenal serta mendapatkan informasi yang lebih jelas tentang tajen dan tabuh rah.
3.      Bagi penulis ini sebagai ajang untuk menjajal kemampuan di bidang karya tulis yang secara tidak langsung memberikan kontribusi positif terhadap orang banyak.




2.1       Perbedaan antara Judi Tajen dengan Tabuh Rah
A.    Judi Tajen
Judi tajen kalau kita kaji terdiri dari dua suku kata yaitu “judi” dan “tajen”. Dalam Ensiklopedia Indonesia (2000:474) Judi diartikan sebagai suatu kegiatan pertaruhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil suatu pertandingan,permainan atau kejadian yang hasilnya tidak dapat diduga sebelumnya. Sedangkan Kartini Kartono (2007:65) mengartikan judi adalah pertaruhan dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yangdianggap bernilai, dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, pertandingan, perlombaandan kejadian-kejadian yang belum pasti hasilnya. Menurut KUHP Pasal 303 ayat (3) mengartikan judi adalah tiap-tiap permainan yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya bergantung kepada untung-untungan saja dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemainan. Jadi berdasarkan ketiga pendapat tersebut dapat disimpulkan judi adalah perbuatan yang dilakukan dalam berbentuk permainan atau perlombaan yang dilakukan semata-mata untuk bersenang-senang atau kesibukan dalam mengisi waktu senggang serta ada taruhan yang dipasang oleh para pihak pemain atau bandar baik dalam bentuk uang ataupun harta benda lainnya sehingga tentu saja ada pihak yang diuntungkan dan yang dirugikan.
Istilah tajen berasal dari kata taji yang berarti pisau kecil. Taji atau pisau kecil inilah yang nantinya akan dipasang pada kaki ayam yang akan diadu. Adapun jenis-jenis tajen yaitu Pertama, tajen dalam ritual tabuh rah yang lazim diadakan berkaitan dengan upacara agama. Tabuh berarti mencecerkan dan rah adalah darah. Pelaksanaan tajen dalam tabuh rah dianggap sebagai bagian dari rangkaian pelaksanaan upacara sehingga pelaksanaannya tidak dilarang.  Kedua, tajen terang sengaja digelar desa adat untuk menggalang dana. Berdasarkan hukum adat, tajen terang tidak dilarang, bahkan setiap desa adat memiliki awig-awig yang mengatur tata cara tajen meski tidak tertulis. Ketiga, tajen branangan yang tanpa didahului izin kepala desa adat serta semata-mata berorientasi judi.
B.     Tabuh Rah
Dalam setiap upacara adat Hindu di Bali, ada beberapa proses yang harus dijalani dengan melangsungkan upacara Tabuh Rah. “Tabuh” berarti menaburkan dan “rah” berati darah. Tujuan penyembelihan darah binatang seperti: babi, bebek, kerbau, ayam adalah sebagai pelengkap upacara yang dilangsungkan. Darah perlambang merah dari binatang tersebut di gunakan sebagi bahan pelengkap metabuh. Metabuh adalah proses menaburkan lima macam warna zat cair adapun empat  bahan yang lain diantaranya zat berwarna putih dengan tuak, berwarna kuning dengan arak, berwarna hitam dengan berem, berwarna merah dengan taburan darah binatang dan ada dengan warna brumbun dengan mencampur empat warna tersebut.
Matabuh dengan lima zat cair adalah simbol untuk mengingatkan agar umat manusia menjaga keseimbangan lima zat cair yang berada dalam Bhuwana Alit. Jika lima zat cair itu berfungsi dengan baik maka orang pun akan hidup sehat dan bertenaga untuk melangsungkan  hidupnya. Lima zat cair yang disimbolkan adalah darah merah, darah putih, kelenjar perut yang berwarna kuning, kelenjar empedu warnanya hitam dan air itu sendiri simbol semua warna atau brumbun. Air itu bening berwarna netral,perpaduan fungsi lima zat cair dalam tubuh inilah yang akan membuat hidup sehat.
Pelaksanaan tabuh rah diadakan pada tempat dan saat- saat upacara berlangsung oleh sang Yajamana. Pada waktu perang satha disertakan toh dedamping yang maknanya sebagai pernyataan atau perwujudan dari keikhlasan Sang Yajamana beryadnya, dan bukan bermotif judi. Perang satha adalah pertarungan ayam yang diadakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Dalam hal ini dipakai adalah ayam sabungan, dilakukan tiga babak. ( telung perahatan) yang mengandung makna arti magis bilangan tiga yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir. Hakekatnya perang adalah sebagai simbol daripada perjuangan (Galungan) antara dharma dengan adharma. Aduan ayam yang tidak memenuhi ketentuan- ketentuan tersebut di atas tidaklah perang satha dan bukan pula runtutan upacara Yadnya. Di dalam prasasti- prasasti disebutkan bahwa pelaksanaan tabuh rah tidak minta ijin kepada yang berwenang. Adapun yang menjadi sumber untuk melakukan tabuh rah tersebut adalah a)Prasasti Bali Kuna (Tambra prasasti) seperti: 1) Prasasti Sukawana A l 804 Çaka, 2) Prasasti Batur Abang A 933 Çaka, 3) Prasasti Batuan 944 Çaka b)Lontar- lontar seperti: 1) Siwatattwapurana, 2) Yadnyaprakerti.

1 komentar:

Dapatkan berita seputar ayam hanya di rajasabungs128

Posting Komentar