Senin, 17 Desember 2012

Filosofi Lawar Bali


lawar bali
Lawar adalah masakan khas Bali yang umumnya terbuat dari  parutan kelapa yang dicampur dengan daging cincang (babi atau ayam atau penyu), bumbu Bali, dan tentunya darah setengah matang. Lawar merupakan masakan yang wajib ada dalam setiap kegiatan pesta adat masyarakat Bali. Karena tanpa lawar, makanan yang disajikan menjadi kurang lengkap. Selain enak, lawar sebagai makanan tradisional Bali ternyata memiliki filosofi tersendiri. Lawar mengandung makna keharmonisan dan keseimbangan. Hal ini dilihat dari bahan-bahan pembuatnya yaitu : parutan kelapa (putih, simbol Dewa Iswara di timur); darah (merah, simbol Dewa Brahma di selatan); bumbu-bumbu (kuning, simbol Dewa Mahadewa di barat); dan terasi (hitam, simbol Dewa Wisnu di utara). Keempat arah mata angin tersebut melambangkan keseimbangan. Selain itu sifat-sifat bahannya yang berupa rasa manis (kelapa), asin (garam), pahit (buah limo), pedas (bumbu), amis (darah), asam (asam), dan bau busuk (terasi) jika mampu meraciknya dengan tepat akan menghasilkan rasa yang nikmat. Hal ini merupakan filosofi bagi seorang pemimpin dalam mengoptimalkan potensi-potensi rakyatnya yang berbeda-beda sehingga bisa menciptakan keharmonisan.

Filosofi yang sering diutak-atik di Bali adalah tentang makna “kosong” dan “penuh”. Kosong acap diberi arti tentang keheningan, bukan kenestapaan. Kosong, nol, bukan hampa, sering dianggap sebagai sesuatu yang tertinggi, paling mulia, luhur, dan maha luas. Hanya mereka yang kenyang pengalaman hidup, pernah mengalami yang paling tinggi, bias bertemu dengan kosong. Mereka yang sudah pernah penuh, baru kemudian bias menikmati kosong.
Hakikat kosong dan penuh ini lazim menjadi pembicaraan ketika Hari Raya Nyepi. Orang-orang berdebat tentang ujung dan awal tahun yang meriah penuh, hening, kosong. Penuh dan kosong dihayati sebagai sebuah siklus, mata rantai tak kenal putus. Orang-orang yang sangat menikmati kemeriahan penuh hiruk-pikuk pengerupukan sehari menjelang Nyepi, karena mereka yakin besok pasti bersua kosong.
Tapi, di Bali, orang lebih suka menikmati penuh tinimbang meresapi kosong. Hanya para yogin, penekun spiritualisme, merasa sangat bahagia jika bersua dengan kosong. Berjam-jam mereka bersemedhi agar bias berada dalam wilayah maha luas. Sebaliknya, banyak orang merasa terpuaskan jika diri terpenuhi, dan merasa sengsara jika mereka berada dalam kosong.

Kendati orang Bali menghayati filosofi penuh dan kosong, tampaknya jauh lebih banyak yang senang dengan penuh. Cermatilah seni lukis Bali, sangat meriah dan seluruh bidang kanvas penuh oleh gambar. Seni lukis gaya Batuan memenuhi bidang kanvas dengan coretan-coretan: turis memotret perempuan mandi, pedagang bakso lewat, di udara melintas pesawat terbang, dan di laut kapal berlayar dengan cerobong mengepulkan asap.

Seni lukis Ubud gaya Young Artists, juga memenuhi kanvas dengan gambar-gambar. Pelukis arahan Rudolf Bonnet seperti Ida Bagus Made atau Anak Agung Sobrat, melukis dengan memenuhi kanvas: petani menuai padi, remaja menggembala sapi, ibu menanak di dapur, dan itik berenang riang di kali. Seni lukis klasik wayang Kamasan juga merubungi kanvas dengan gambar. Jika ada sudut-sudut kosong, pelukis mengisinya dengan gambar burung, awan dan angin. Pokoknya penuh, meriah.

Masakan Bali seperti lawar, kalau dicicipi, rasanya juga penuh, meriah. Bumbu seperti bawang putih, cekuh, terasi dan pala, diolah dengan tiga perlakuan: digoreng, dipanggang, dan dinyanyah. Lawar pun gurih dan khas. Rasa menjadi liat dan padat, sungguh-sungguh terasa khas lawar.

Tidak hanya dalam urusan lawar dan lukisan, orang Bali suka yang penuh, pekarangan rumah mereka pun penuh. Bangunan tersebar di empat penjuru angin: meten di utara, bale dangin (timur), bale dauh (barat), dan paon/pawon (dapur) di selatan. Jika keluarga beranak pinak banyak lelaki mereka enggan meninggalkan natah itu, lebih senang tinggal berdesak-desak di pekarangan tempat mereka tumbuh. Jika anak-anak itu beranak pinak pula, semakin penuhlah halaman rumah itu.

Di satu pekarangan yang disebut sebagai rumah tua, bisa dihuni belasan kepala keluarga. Jika ada yang keluar, membangun rumah di tempat lain, mereka tetap merasa berhak atas bagian dari pekarangan itu. Maklum, orang Bali dikenal sangat kuat memiliki hasrat menguasai tanah warisan. Rumah itu dibiarkan kosong, hanya sekali-sekali dihuni jika ada upacara adat. Tak hendak keluarga itu merelakannya untuk anggota keluarga lain.

”Karena orang Bali senang berjejal penuh tinggal di satu pekarangan, mereka pun hidup berdesak-desak, berhimpit-himpitan. Tanah-tanah kosong kemudian dihuni kaum pendatang. Jika keluarga yang tinggal di satu pekarangan itu butuh uang, tanah-tanah yang disewa kaum pendatang itu pun dijual. Pembelinya kaum pendatang juga. Akhirnya, para pendatang hidup longgar, orang Bali hidup berdesak padat di natah rumah tua”.

Hidup penuh itu memang ramai, meriah. Jika akur, hidup pun diisi tenggang rasa, saling menjaga, merawat, dan melayani. Tapi, acap terjadi, hidup berdesak-desak sering menimbulkan gesekan-gesekan memanas. Watak dengki dan iri hati mudah meletup dan menguasai, menjadi perkelahian terbuka atau dendam tersembunyi.

Bali semakin penuh, tempat-tempat kosong kian sulit ditemui. Wilayah-wilayah sunyi, gunung, danau, pantai, terus menerus dibanguni penginapan, dijadikan tempat untuk orang plesir bersenang-senang. Banyak yang tahu Bali punya ambang batas daya tampung, tapi justru mereka yang tahu itu terus giat berdagang dengan mendatangkan orang menjejali Bali menjadi penuh. Gde Aryantha Soethama.

2 komentar:

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Boleh tau yang menulis artikel ini?

Posting Komentar