Selasa, 15 Januari 2013

Uang Kepeng, (Pis Bolong) Unsur Budaya "Tangiable"



UANG kepeng atau pis bolong merupakan unsur budaya Bali kategori tangiable multifungsi. Makna pis bolong tersebut akan berbeda-beda dan tergantung di mana yang kepeng itu difungsikan. Menurut pengamat budaya dari Unud Drs. I Wayan Geriya dalam seminar pis bolong baru-baru ini, uang kepeng berfungsi ganda. Dari berfungsi ekonomi sebagai uang kartal tempo dulu (telah ditarik tahun 1959) sampai pada fungsi sosial dan religius. Kata Geriya, dari perspektif historis, tata nilai, sains dan berbagai keunikan serta keunggulan, uang kepeng di Bali tergabung sebagai warisan budaya Bali dan sekaligus warisan budaya Indonesia.


Kajian ilmiah -- dari perspektif historis, arkeologis dan antropologis -- menunjukkan bahwa pis bolong memiliki keunikan dan keunggulan sebagai warisan budaya. Uang kepeng memiliki bentuk yang khas dalam keragaman, dan umurnya relatif tua. Diperkirakan ada sejak abad IX. Pis bolong mencakup kandungan nilai historis, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan seni.

Pis bolong ini kokoh dalam konteks magis dan religius. Artinya, sudah diberhentikan sebagai uang kartal, namun tidak pernah ditarik dari peredaran. Uang kepeng memiliki nilai tunggal dan konstan yaitu satu kepeng setara dengan satu keteng.

Uang kepeng memiliki unsur asing (Cina) yang diterima dalam keberdayaan Bali secara kreatif, adaptif dan akulturatif. Uang kepeng ini berpeluang untuk dikonservasi (dilestarikan), di samping diinovasi secara kreatif dalam konteks nilai ekonomi, sosial, estetis dan religius.

Wayan Geriya yang juga dosen FS Unud ini mengatakan kajian khusus mengenai uang kepeng masih langka atau numistik. Saking langkanya, kajian yang telah ada baru beberapa saja. Misalnya buah karya sejarawan putra Bali Ida Bagus Sidemen berjudul Nilai Historis Uang Kepeng (2002-2003) dan Money, Markets and Trade in Early South East Asia karya Robert S. Wicks (1992).

Bahkan, sejarawan Indonesia Prof. Sartono Kartodirdjo menilai hasil penelitian IB Sidemen merupakan studi perdana numistik yang memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi perbendaharaan historiografi Indonesia. Ini memperkaya identitas kebudayaan Indonesia, dan Bali khususnya. Ke depan, kata Geriya, terbuka peluang studi lanjutan, baik secara disipliner maupun multidisipliner.

Cukup Luas

Ditambahkannya, sejarah mengungkapkan persebaran uang kepeng cukup luas di Asia seperti di Cina, Jepang, Kamboja, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Persebaran secara geografis di Indonesia meliputi berbagai wilayah nusantara meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Lombok dan lain-lain.

Sementara itu pengkajian dan pemahaman secara teliti terhadap uang kepeng di Bali mengantarkan kita akan adanya berbagai kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang terkait dengan usaha pelestarian unsur ini sebagai warisan budaya.

Kekuatan yang mendasar yakni keberadaan uang kepeng cukup kokoh terkait dengan alur sejarah, multifungsi dan kemampuannya untuk beradaftasi secara sosial, ekonomi dan kultural. Konteks religiusitas memiliki arti tersendiri dalam etnik orang Bali, katanya.

Kelemahannya, uang kepeng mudah dipalsu, serta lemah dalam perbandingan hukum dan kelembagaan. Berpeluang cukup besar untuk diproduksi terkait dengan multifungsi dan terbukanya nilai tambah secara ekonomis, estetis dan kultural. Tantangan pelestarian juga cukup berat terkait dengan kondisinya yang rentan pemalsuan dan kepunahan untuk jenis-jenis uang kepeng tertentu. Atau adanya alih penguasaan sebagai warisan budaya.

Strategi apa yang harus dilakukan dalam melestarikan warisan budaya uang kepeng itu? Menurut Geriya, strategi konservasi perlu seimbang dengan strategi inovasi. Aksi konservasi yang disarankannya mencakup pengokohan kelembagaan, perlindungan hukum, pengembangan museum khusus dan pembangunan kesadaran publik untuk peduli konservasi.

Aksi inovasi atau pembaruan yang disarankan meliputi langkah inventarisasi, eksperimen percontohan, reproduksi, penyiapan dan pelatihan SDM, pengadaan dana dan networking. Peranan Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali sangat vital dan diharapkan mencakup sebagai pemegang HAKI, melaksanakan produksi. Namun, perlu diwaspadai agar posisi Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali tak terjebak pada komersialisme, eksplorasi, pemalsuan dan pembelengguan kultural. (lun)
Keberadaan "Pis Bolong" di Bali
Dulu Uang Kartal, Sekarang Sarana Budaya

Masyarakat Hindu Bali hingga kini masih akrab dengan pis bolong. Sebutan lain dari pis bolong adalah uang kepeng. Uniknya, kendati tak berfungsi sebagai alat tukar lagi, uang kepeng masih berfungsi sebagai sarana upakara. Dulu, di Bali pis bolong juga difungsikan sebagai uang kartal (alat tukar yang sah). Bahkan, ia sempat berfungsi gand a-- sebagai alat tukar dan sarana budaya. Bahkan sekarang, pis bolong juga dipakai sebagai media seni. Banyak sekarang patung dibuat dengan media pis bolong seperti patung Cili, orang menari, dan patung garuda. Sejak kapan fungsi ganda pis bolong itu mulai terjadi?

=====================

Sesungguhnya sebagian besar upakara agama Hindu di Bali menggunakan pis bolong. Bahkan, dalam jenis-jenis upakara tertentu, peranan pis bolong menjadi sangat mencolok. Misalnya digunakan sebagai sesari, singgel, ukur atau preraga, bekal kubur (galeng watangan dan buku-buku penyolasan), cegceg, sekarura dan lain-lain. Pis bolong juga kerap digunakan sebagai arca pemujaan yang disebut rambut sedana. Tak hanya itu, pis bolong juga digunakan sebagai seni hias, terutama hiasan pura atau pemerajan seperti lamak, tamiang, kolem, salang, payung pagut dan lontek. Bahkan, kini sudah dipakai media pembuatan patung.

Kendati sejak tahun 1951 pemerintah RI telah mengeluarkan undang-undang tentang uang RI sebagai alat pembayaran yang sah, tetapi pis bolong masih saja berlaku di Bali terutama sebagai sarana upakara. Keadaan ini berlanjut hingga sekarang, kata sejarawan Drs. IB Sidemen, S.U. dalam seminar pis bolong baru-baru ini.

Seminar yang diprakarsai Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali (Bali Heritage Trust) itu menghadirkan narasumber Ida Pedanda Gde Made Gunung, Drs. IB Sidemen, S.U., Drs. Wayan Geriya dan Ni Nyoman Pujianiki, S.T., M.T., dipandu Prof. Sirtha dan Prof. Parimartha.

Dikatakannya, penggunaan pis bolong sebagai bagian sarana upakara -- berfungsi budaya -- yang berlangsung hingga sekarang, dapat digunakan sebagai bukti untuk menunjukkan kedalaman alkulturasi budaya Cina dan Bali. Oleh karena pis bolong asli tak dicetak dan tak diekspor lagi oleh negara Cina, maka jumlah pis bolong asli di Bali makin berkurang. Untuk memenuhi permintaan masyarakat dilakukan dengan mencetak pis bolong tiruan. Namun, dalam upakara di Bali uang kepeng asli dan uang kepeng tiruan diperlakukan sama.

Dikatakannya, sebagian besar masyarakat Bali pemeluk Hindu mengenal pis bolong dengan baik, terutama mereka yang terlibat langsung dalam pembuatan upakara. Akan tetapi tak semua masyarakat Bali mengenal dengan baik bahwa pis bolong pernah berlaku sebagai alat pembayaran yang sah (uang kartal) dalam transaksi jual-beli dalam masyarakat Bali. Bagaimana kemudian pis bolong ini bergeser fungsi dan peranannya menjadi sarana budaya, merupakan masalah pokok yang mendorong saya untuk melakukan penelitian, ujarnya.

Dari mana pis bolong itu berasal, dapat dikenali lewat huruf yang tercetak pada kedua permukaannya (fisiknya). Para pakar, bahkan masyarakat Bali umumnya yang masih awam, tanpa melalui penelitian yang mendalam pun akan menyatakan huruf itu adalah huruf Cina. Akhirnya disimpulkan pis bolong itu uang logam Cina.

Penelitian secara kritis ilmiah yang dilakukan beberapa pakar numistik telah menemukan uang logam yang pernah beredar di Nusantara tak semuanya berasal dari Cina. Uang kepeng itu juga ada yang berasal dari Jepang dan Vietnam. Memang kenyataannya, ada satu dua biji pis bolong yang ditemukan di Bali bukan berasal dari Cina. Misalnya di Bali ditemukan pis bolong yang disebut pis jaring.

Ternyata pis ini dicetak pada masa pemerintahan dinasti keshogunan Tokugawa di Jepang (1769 M - 1860 M). Masih ada satu jenis pis bolong yang oleh masyarakat Sembalun, Lombok Timur disebut pis jepun yang diperkirakan berasal dari Jepang. Sebab, dalam bahasa Sembalun negeri Jepun itu sama dengan Jepang. Tetapi uang logam yang digunakan sebagai alat tukar yang sah dan digunakan sebagai sarana budaya adalah uang logam Cina yang diimpor dari negeri Cina.

Penelitian Lanjut

Dulu, di Bali pis bolong juga difungsikan sebagai uang kartal dan sarana budaya. Sejak kapan fungsi ganda itu mulai terjadi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, katanya.

Namun, Bali diperkirakan sudah mengenal pis bolong sejak berdirinya Kerajaan Singasari hingga Majapahit. Uang kepeng yang paling sering digunakan sebagai alat pembayaran yang sah adalah pis lumrah (pis jamak). Sementara pis kerinyah, pis lembang, pis koci dan pis wadon, jarang digunakan. Sedangkan pis gobogan hampir tak pernah digunakan sebagai uang kartal karena dianggap bertuah atau memiliki kekuatan gaib.

Terkait dengan keyakinan bahwa pis bolong tertentu mengandung kekuatan gaib, masyarakat Bali mengenal pis bolong pretima dan pis bolong jimat. Nama yang diberikan kepada masing-masing pis bolong disesuaikan dengan gambar yang ada di permukaannya.

Misalnya, pis bolong Rejuna, pis Malen, pis condong, pis Kresna, pis Sangut, pis Bima, pis Anoman, pis jaran dan lain sebagainya. Jika sekarang ada keinginan mencetak kembali uang kepeng, kata Sidemen, sesungguhnya bisa. Sebab, masyarakat Bali telah memiliki keterampilan mengecor dan mencetak logam sejak zaman yang cukup tua. Ada bukti yang menunjukkan bahwa terdapat sekelompok masyarakat Bali yang memiliki keahlian itu. Keterampilan itu diperkirakan sezaman dengan kebudayaan Dong Son di Vietnam yang berasal dari abad IV Bc. Produksi dari keterampilan ini masih dapat dilihat dalam bentuk nekara (nekara Pejeng), arca dan lempengan prasasti. Tetapi belum ditemukan bukti yang menunjukkan masyarakat Bali telah mengecor dan mencetak logam dalam bentuk uang.

Makin Langka

Sementara itu, Ketua Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali Tjok. Raka Kerthyasa mengatakan keberadaan uang kepeng semakin langka. Sementara pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali kerap menggunakan uang kepeng. Karena itu, dipandang perlu untuk melestarikannya dengan cara memproduksi kembali.

Dikatakannya, hingga kini uang kepeng di Bali berfungsi religius dan budaya. Penggunaan uang kepeng sebagai sarana upacara Panca Yadnya antara lain dalam lis, orti, pedagingan, rambut sedana, pakelem, kwangen, tamiang dan lain-lain. Dalam seni budaya uang kepeng dijadikan berbagai bentuk hiasan. Karena semakin langkanya uang kepeng, belakangan beredar uang kepeng dari seng yang dibolongkan.

Terkait dengan itu ada upaya untuk mencetak yang baru dengan menggunakan bahan baku yang mencakup unsur panca datu. Pencetakan uang kepeng ini nantinya akan menjadi semacam industri masyarakat. Namun, perlu ada hak patennya guna mengontrol kualitas supaya tak terjadi distorsi, ujarnya.

Ida Pedanda Gede Made Gunung mengatakan uang kepeng sulit dipisahkan dengan kehidupan masyarakat Bali. Tetapi dalam sastra-sastra di Bali hanya disebutkan keteng, misalnya satak selai keteng, satak limang likur keteng. Tak ada sebutan bolong -- pis bolong. Umumnya uang kepeng digunakan sebagai sesari, lamak, tamiang, prelingga, ukur-ukur dll.

Jika diamati, bahan uang kepeng terkait dengan unsur panca datu, terdiri atas perak, tembaga, mas, besi dan timah. Sementara bulatan melambangkan sunia atau windu. Uang kepeng juga digunakan untuk hitungan neptu (urip-urip) seperti sarin caru dan pedagingan.

Jika uang kepeng dicetak kembali untuk memenuhi keperluan upakara, Ida Pedanda menyarankan agar hurufnya menggunakan aksara suci. Namanya adalah jinah untuk upakara.

0 komentar:

Posting Komentar