Selasa, 15 Januari 2013

Nietzsche: Tuhan Sudah Mati



Dalam sebuah diskusi seorang dosen filsafat bertanya kepada saya, satu-satunya orang Hindu dalam dikusi itu “bagaimana menurut Hindu atas pernyataan Nietzsche bahwa Tuhan sudah mati?” Saya jawab : “Itu tidak mungkin.” Dia bertanya : “Kenapa?” Saya Jawab : “Menurut filsafat Hindu Tuhan meliputi segalanya. Tuhan bersifat panteistik. Ia ada di dalam diri manusia. Atman atau jiwa manusia merupakan bagian dari Brahman, memiliki sifat yang sama. Selama manusia hidup, selama itu juga Tuhan hidup.” “Ya, saya kira itu satu pandangan,” katanya.


Filsafat Nietzsche meliputi subyek yang luas dari sejarah, kebudayaan, moralitas, musik dll. tetapi pembunuhan yang dilakukannya terhadap Tuhan inilah yang membuat namanya menjadi sangat terkenal sampai dewasa ini. Ia dikagumi oleh para pemikir bebas. Ia dibenci oleh para pemimpin agama, padri dan ulama.

Tetapi apa yang menyebabkan Nietsche membunuh Tuhan?

Apakah Nietzsche betul-betul telah berhasil membunuh Tuhan? Dan jika berhasil apakah kita perlu menyesalinya? Apakah kematian Tuhan membuat dunia menjadi lebih buruk atau malah lebih baik? Atau apakah Dunia masih memerlukan Tuhan? Dan Tuhan mana yang telah dibunuhnya? Masih banyak pertanyaan dapat diajukan sehubungan dengan pembunuhan Tuhan yang dilakukan oleh Nietzsche, tetapi tulisan ini hanya akan mencoba menjawab pertanyaan yang terakhir.

Nietzsche : Riwayat singkat dan karyanya.

Nietzsche lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Rocken di wilayah Sachen. Ia adalah seorang anak laki-laki berperangai halus dari sebuah keluarga Protestan Lutheran yang sangat saleh. Ayahnya seorang pastor Lutheran, dan dia mengharapkan agar kelak putra sulungnya itu juga menjadi seorang seorang pendeta.

Ketika berusia lima tahun, ayahnya meninggal dan Nietzsche tinggal di lingkungan keluarga ibunya yang kebanyakan perempuan. Teman-teman sekolahnya di sana menjulukinya “si pendeta kecil.” Bahkan sampai dewasa, orang-orang di sekitarnya melihat Nietzsche sebagai seorang Kristen. 1)

Nietzsche hidup secara sederhana. Dia sangat brilian di universitas sebagai ahli klasik dan filologi, sehingga sebelum tamat, ia ditawari sebagai profesor filologi pada tahun 1869 di Bazel. Tawaran ini ia terima. Kesehatannya tidak pernah baik, dan setelah periode cuti sakit ia diwajibkan untuk pensiun dalam tahun 1879. Setelah ini ia tinggal di sebuah resort kesehatan di Swis, pada tahun 1888 ia menjadi sakit mental, yang dideritanya sampai ia meninggal.

Nietzsche mencoba untuk menggabungkan dua perangkat nilai-nilai yang tidak mudah diselaraskan: pada satu sisi ia menyukai kekejaman, perang, dan kebanggan aristokratik; pada sisi lain ia mencintai filsafat, sastra dan seni, khususnya musik. 2).

Persahabatannya dengan Richard Wagner, seorang komponis Jerman termasyhur mempengaruhi tulisannya pada periode awal riwayat intelektualnya, Die Geburt der Tragodie aus dem Geiste de Musik (Asal-usul Tragedi dari Semangat Musik). Antara tahun 1873-1876, dia menerbitkan empat buah esai dengan satu judul umum Unzetgemise Betrachungen (Kontemplasi-kontemplasi Tidak Aktual). Pada tahun 1876, dia menerbitkan esai keempat yang berjudul Richard Wagner in Bayreuth. Kemudian tahun 1878-1879 ia menerbitkan Menchliches, Allumencchliches (Manusiawi, Terlalu Manusiawi). Karya-karya berikutnya adalah Also Sprach Zarathustra (Demikianlah Sabda Zarathustra, 1883-1885), Janseit von Gut und Bose (Di luar Baik dan Buruk, 1886) Der Antichrist (Sang Antikristus, 1888), Ecce Homo (Itulah Manusia, dan lain-lain. 3)

Tuhan sudah mati, kita sudah membunuhnya.

Inilah pernyataan Nietzsche yang terkenal dalam Sabda Zaratuthra bahwa Tuhan sudah mati. Dia telah membunuhnya.

Tidakkah kalian mendengar tentang sorang gila yang menyalakan lampu di pagi cerah, lari ke pasar, dan terus menerus berteriak : ”Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!“ – ketika banyak dari mereka yang tidak percaya Tuhan berdiri di sekitar itu, dia mengundang tertawa riuh. Apakah ia linglung? tanya seseorang. Apakah ia tersesat seperti anak kecil? tanya yang lain. Atau dia bersembunyi? Apakah dia takut kepada kami? Apakah dia sedang berlayar? Beremigrasi? – Demikianlah mereka berteriak dan tertawa.

Orang gila itu melompat ke tengah-tengah mereka dan menusuk mereka dengan matanya. “Kemanakah Tuhan?” ia berteriak : “Aku beritahu kamu. Kita telah membunuhnya – kamu dan aku. Semua kita adalah pembunuhnya. Tapi bagaimana kita melakukan ini? Bagaimana kita meminum habis lautan? Siapa yang memberi kita sepon untuk menyapu bersih cakrawala? Apa yang kita lakukan ketika kita melepaskan belenggu bumi dari mataharinya? Kemana dia bergerak sekarang? Kemana kita sedang bergerak? Menjauh dari semua matahari? Apakah kita tidak terus menerus terjun? Ke belakang, ke samping, ke depan. Dalam seluruh arah? Apakah masih ada naik atau turun? Apakah kita tidak tersesat melalui satu ketiadaan yang tak terbatas (an infinite nothing). Tidakkah kita merasakan nafas dari ruang kosong? Tidakkah ia menjadi lebih dingin? Tidakkah malam terus-menerus menutup dirinya di atas kita? Tidakkah kita perlu menyalakan lampu di pagi hari? Belumlah kita mendengar apapun tentang suara dari para penggali kubur yang sedang mengubur Tuhan? Belumkah kita mencium bau pembusukkan yang suci? Para Dewa juga, membusuk. Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya.

“Bagaimana kita menghibur diri kita, para pembunuh dari semua pembunuh? Apa yang paling mulia dan paling kuasa dari semua yang belum dimiliki dunia talah berdarah-darah dalam kematian di bawah pisau-pisau kita : siapa yang akan membersihkan darah ini dari kita? Air apa yang ada yang bagi kita untuk membersihkan diri kita? Perayaan penebusan dosa apa, permainan suci apa yang harus kita ciptakan? Tidakkah keagungan dari perbuatan ini terlalu agung bagi kita? Haruskah kita tidak menjadi Dewa-Dewa sekedar agar tampak berharga untuk itu? Belum pernah ada perbuatan yang lebih besar; dan siapapun yang lahir sesudah kita – semata-mata untuk perbuatan ini akan menjadi bagian sejarah yang lebih tinggi dari semua sejarah sampai saat ini.”

Dikisahkan lebih lanjut bahwa pada hari yang sama orang gila itu memaksa masuk ke beberapa gereja dan disana dia memulai requiem aeternam deo! Lalu keluar dan mengingat-ingat, dia dikatakan selalu tidak menjawab apapun kecuali : “Apakah makna dari semua gereja ini sekarang bila mereka bukan kuburan dan nisan Tuhan?” 4)

Mengapa Tuhan dibunuh?

Mengapa Nietzsche membunuh Tuhan? Apa yang membuat ia demikian kecewa terhadap Tuhan sehingga ia sampai hati membunuhnya? Apakah ia memiliki kekecewaan pribadi, misalnya ia pernah mengalami tragedi pribadi yang hebat dan ia lalu menyalahkan Tuhan atas hal tersebut, sebagaimana dilakukan oleh banyak orang? Atau kekecewaannya bersifat sosiologis, karena Tuhan ternyata, yang digembar-gemborkan membawa kasih, keselamatan dan rahmat bagi alam semesta, ternyata hanya menyebabkan pertumpahan darah, karena perang-perang agama baik antara Kristen melawan Islam maupun antara Katolik dengan Protestan, yang jauh lebih kejam dari perang karena alasan ekonomi maupun politik? Apakah karena Tuhan, yang diklaim diwakili oleh institusi gereja, telah melakukan penindasan luar biasa bagi kebebasan manusia pada abad pertengahan, seperti inkuisisi yang telah menghukum mati para ilmuwan besar seperti Giordano Bruno, serta pejuang wanita seperti Jeane d’Arc, serta ribuan orang lain yang dianggap biddah? Dan seperti Schopenhauer, David Hume, Gore Vidal, Arnold J Toynbee, Nietzsche melemparkan kesalahan ini kepada Tuhan cemburu (jealous God) yang menjadi ciri Tuhan monotheisme?

Gore Vidal mengatakan kejahatan terbesar yang tak terucapkan pada titik pusat dari kebudayaan kita adalah monotheisme. Dari naskah barbar jaman perunggu yang dikenal sebagai Perjanjian Lama, tiga agama anti-kemanusiaan telah berkembang – Agama Yahudi, Kristen dan Islam. Ketiganya adalah agama dengan Tuhan langit (Sky God). Ketiga (Tuhan) agama ini bersifat patriak—Tuhan adalah Bapa yang maha kuasa—dari sinilah timbulnya kebencian terhadap wanita selama 2,000 tahun di negeri-negeri yang ditimpa penderitaan oleh Tuhan Langit ini dan delegasinya yang semua lelaki. Tuhan langit ini sangat pencemburu. Dia menuntut ketaatan total. Mereka yang menolaknya harus dikonversikan atau dibunuh. Totalitarianisme adalah satu-satunya politik yang dapat melayani tujuan Tuhan Langit ini. Setiap gerakan yang yang bersifar liberal membahayakan kekuasaannya. Satu Tuhan, satu raja, satu nabi, satu paus – satu tuan di pabrik, satu ayah-pemimpin di rumah.

Schopenhauer meminta kita untuk merenungkan "kekejaman-kekejaman yang telah disebabkan oleh agama-agama khususnya Kristen dan Mohammedan (Islam) dan "penderitaan yang mereka bawa ke dunia ini." Pikirkan tentang fanatisme, penghukuman yang tiada henti, kemudian perang-perang antar agama, kegilaan berdarah yang tak pernah dibayangkan oleh orang-orang jaman dulu (sebelum kedua agama ini ada). Pikirkan tentang perang salib yang adalah sebuah pembantaian atau penjagalan yang tidak dapat dimaafkan dan yang berlangsung selama 200 tahun, teriakan perang mereka : "Ini adalah kehendak Tuhan." Kekristenan tidak lebih dimaafkan dari pada Islam dalam tuduhan Schopenhauer. Objek dari penjarahan, dll dari perang salib telah menangkap kuburannya yang mengajarkan cinta, toleransi, dan keramah-tamahan. Pikirkan tentang kekejaman dari pengusiran dan pemusnahan orang-orang Moors dan Yahudi dari Spanyol; tentang pertumpahan darah, inquisisi (pengadilan agama yang kejam), dan pengadilan terhadap mereka yang dianggap bidah, menyimpang dari dogma resmi; dan juga tentang penaklukan berdarah dan mengerikan dari kaum Muslim atas tiga benua .... Khususnya, janganlah kita melupakan India... dimana mula-mula kaum Muslim dan kemudian kaum Kristen, secara ganas dan sangat kejam menyerang para pengikut kayakinan manusia yang asli dan suci. Penghancuran yang akan selalu disesalkan, jahat dan kejam dan perusakkan kuil-kuil kuno dan citra atau patung yang menunjukkan kepada kita bahkan sampai dewasa ini jejak-jejak dari kemarahan monotheitik (monotheistic fury) dari kaum Muslim yang bermula dari Mahmud dari Ghazni dari kenangan terkutuk sampai Aurangzeb yang melakukan pembunuhan terhadap suku-suku di India.

Schopenhauer mengkontraskan catatan sejarah penuh damai dari orang-orang Hindu dan Buddha dengan kekejian dan kekejaman dari kaum monotheis, dan kemudian menyimpulkan : “sesungguhnya, intoleransi adalah essensial hanya pada monotheisme; satu-satunya Tuhan yang secara sifatnya adalah satu Tuhan yang cemburu yang tidak menghendaki yang lain hidup. Pada sisi lain, dewa-dewa dari polytheisme secara alamiah sangat toleran; mereka hidup dan membiarkan yang lain hidup (they live and let live). Pada tempat pertama, mereka dengan gembira memberi toleransi kawan-kawan mereka, para dewa dari agama yang sama, dan toleransi ini kemudian diperluas bahkan kepada para dewa dari agama lain secara sepatutnya, dengan ramah diterima dan kemudian diakui, dalam beberapa kasus, bahkan pada persamaan hak-hak. Satu contoh dari hal ini dapat dilihat dalam agama Romawi yang secara suka rela menerima dan menghormati dewa-dewa dari agama Phrygian, Mesir dan dewa-dewa asing lainnya. Jadi hanya agama-agama monotheistik yang menyuguhkan kita dengan pemandangan tentang perang-perang agama, pembunuhan atas nama agama, pengadilan bagai kaum heretik, dan juga tentang iconoclasme, penghancuran citra atau patung para dewa asing, penghacuran kuil-kuil India dan Kolisi Mesir yang telah memandang matahari selama tiga ribu tahun; semua ini disebabkan oleh karena Tuhan mereka yang cemburu mengatakan : "Kamu tidak akan membuat patung-patung berhala" dan seteruasnya.

Hampir seratus tahun sebelum Schopenhauer, David Hume dengan kejeniusannya seperti biasa melihat kelebihan yang sama dari politheisme : “politheisme diikuti dengan kelebihan yang nyata, bahwa, dengan membatasi kekuasaan dan fungsi dari para dewa, dia secara alamiah mengakui dewa-dewa dari sekte atau bangsa lain untuk membagi bersama kesucian, dan memberikan kepada semua dewa-dewa itu, baik upacara, persembahan, atau tradisi, secara sama satu sama lain... sementara satu-satunya obyek sesembahan yang diakui oleh kaum monotheis, pemujaan terhadap dewa-dewa lain dianggapnya sebagai sebagai absurd dan tidak saleh. Bukan, penyatuan obyek ini tampak secara alamiah menuntut kesatuan dari keyakinan dan upacara, dan melengkapi manusia yang berkomplot dengan satu dalih untuk menyatakan musuh-musuh mereka sebagai profan, dan subyek dari kesucian dan juga pembalasan manusia. Sebab masing-masing agama yakin bahwa agama mereka dan cara pemujaan mereka sepenuhnya diterima oleh dewa mereka, dan karena tidak ada seorangpun dapat membayangkan bahwa mahluk yang sama harus dipuaskan dengan upacara dan prinsip yang sama dan berbeda; beberapa agama atau sekta itu secara alamiah jatuh ke dalam permusuhan, dan saling menyerang satu sama lain, semangat dan kebencian suci, yang sangat ganas dan tak terdamaikan dari seluruh nafsu manusia.

Sementara toleransi dari politheisme baik pada jaman dahulu maupun pada jaman modern dewasa ini, sangat nyata bagi setiap orang, bahkan bagi yang paling sedikit mengenal tulisan para sejarahwan dan para pelancong....Intoleransi dari seluruh agama, yang telah memelihara kesatuan Tuhan, adalah sama jelas dan sama berbedanya dalam prinsip politheis. Jiwa sempit dan tak terdamaikan dari agama Yahudi sudah sangat dikenal. Islam mulai dengan prinsip-prinsip yang lebih berdarah, dan bahkan sampai dewasa ini, mengutuk semua agama lain, melalui api dan kayu bakar.

Thomas Paine, dalam bukunya The Age of Reason menulis sbb : Setiap gereja atau agama nasional mengukuhkan dirinya sendiri dengan dalih atau berpura-pura membawa misi dari Tuhan, disampaikan kepada orang-orang tertentu. Orang Yahudi memiliki Moses mereka; orang Kristen Jesus Kristus mereka, para rasul dan para santo mereka; dan orang Turki Mohamad mereka, seolah-olah jalan kepada Tuhan tidak terbuka secara sama bagi setiap orang. Masing-masing dari agama itu menunjukkan buku-buku tertentu, yang mereka nyatakan sebagai wahyu, atau Kata Tuhan. Orang Yahudi bilang Kata Tuhan mereka diberikan oleh Tuhan kepada Moses, secara bertatap muka, orang Kristen bilang Kata dari Tuhan mereka datang sebagai inspirasi suci; dan orang Turki (Islam, pen) bilang Kata dari Tuhan mereka (Qur’an) dibawa oleh seorang malaikat dari surga. Masing-masing dari agama-agama itu menuduh yang lain sebagai kafir; dan pada bagianku sendiri, aku tidak mempercayai semuanya.. 5)

Pada tahun 1865, ketika Nietsche belajar filologi di kota Leipzig, secara kebetulan di tukang loak, dia menemukan buku Schopenhauer, Die Welt als Wille und Vorstellung. Di kota ini pulalah dia meninggalkan agamanya. 6). Bertrand Russell mengatakan Nietzsche menganggap dirinya penerus dari Schopenhauer 7).

Tuhan memang sudah mati, tapi tuhan yang mana?

Ya, Nietzsche memang membunuh Tuhan monotheisme. “Tuhan yang lama sudah lama berakhir, dan sesungguhnya itu adalah akhir yang menggembirakan. Dan mereka tidaklah memudar sampai mati – itu dusta! Justru sebaliknya, dulu mereka tertawa sampai mati!

Itu terjadi ketika perkataan paling kafir datang dari Tuhan sendiri : “Hanya ada satu Tuhan! Engkau tidak boleh menyembah tuhan lain selain aku!” Tuhan tua yang berjenggot. Tuhan yang cemburu, yang sudahlupa akan dirinya sebegitu parah. Dan semua Tuhan kemudian tertawa dan menggetarkan tahta mereka dan berseru : Bukankah ini merupakan ketuhanan pula, bahwa ada Tuhan-tuhan tetapi tidak ada Tuhan?” 8).

Nietzsche memang membunuh Tuhan monotheisme, Tuhan yang cemburu mengajarkan kebencian dan kekerasan, yang menganjurkan para pengikutnya untuk memerangi orang-orang yang tidak percaya kepadanya, dalam perwujudannya sebagai tuhan partikular, tuhan bagi satu agama tertentu yang didirikan oleh nabi-nabinya atau orang-orang yang mengaku mewakili kepentingannya di bumi. Tetapi tidak namun tidak semua jenis Tuhan monotheisme. Seperti kita ketahui tuhan monotheisme itu memiliki beberapa macam jenis.

Nietzsche, tidak membunuh Tuhan secara sembarangan, secara hantam kromo. Nietzsche tidak membunuh Tuhannya Spinoza yang bersifat monisme, atau Tuhannya para mistikus yang bersifat pantheistik, atau Tuhannya para metafisikus, Supreme Being yang bersifat verum, bonum dan phulcrum (benar, baik dan indah) yang dalam bahasa Hindu disebut Satyam Sivam Sundaran.

Bertrand Russell mengatakan kritik Nietzsche atas agama dan filsafat didominasi sepenuhnya oleh motif-motif etik. Dia mengagumi kualitas-kualitas tertentu yang ia percaya hanya mungkin bagi satu minoritas aristokratik. Ia biasa merujuk orang biasa sebagai orang ceroboh dan merusak (the bungled and botched) dan tidak melihat keberatan atas penderitaan mereka bila diperlukan untuk menghasilkan seorang besar.

Etika Nietzsche bukanlah pemanjaan diri dalam arti biasa apapun, dia percaya dengan disiplin Spartan dan kemampuan untuk menanggung dan mengenakan penderitaan untuk tujuan penting. Dia mengagumi kekuatan dari kehendak di atas segala hal, “Aku menguji kekuasaan dan sebuah kehendak sesuai dengan jumlah perlawanan yang dapat ia tawarkan dan jumlah penderitaan dan penganiayaan yang dapat ditahankannya dan untuk mengetahui bagaimana membalikannya bagi keuntungannya sendiri.” Dia menganggap welas asih sebagai kelemahan yang harus dilawan. “Tujuannya adalah untuk memperoleh enerji kebesaran yang luar biasa yang dapat menjadi model dari manusia masa depan dengan cara disiplin dan juga dengan penghancuran jutaan the bungled and botched.

Dua aplikasi etiknya patut mendapat perhatian : pertama penghinaannya terhadap wanita, dan kedua kritiknya yang pahit terhadap agama Kristen. Ia tidak pernah jemu mengecam wanita. Dalam bukunya “Demikian Sabda Zarathustra”, ia mengatakan bahwa wanita, belum mampu untuk persahabatan; mereka masih kucing-kucing, atau burung-burung, atau paling baik kerbau-kerbau. “Laki-laki harus dilatih untuk perang dan wanita untuk rekreasi dari para prajurit. “Kamu pergi ke wanita? Jangan lupa bawa cambuk,” katanya.

Keberatan Nietzsche terhadap agama Kristen adalah karena agama ini menerima apa yang ia sebut “moralitas budak.” Ada kontras penilaian Nietzsche dengan penilaian para filsuf Perancis yang mendahului Revolusi mengenai hal ini. Para filsuf Perancis menilai dogma-dogma agama Kristen tidak benar; bahwa agama Kristen mengajarkan ketundukkan kepada apa yang dianggap sebagai kehendak Tuhan, dimana manusia yang menghormati diri seharusnya tidak tunduk kepada Kekuasaan yang lebih tinggi. Dan bahwa Gereja Kristen telah menjadi sekutu para tiran, dan membantu musuh-musuh demokrasi menolak kebebasan dan terus menindas wajah-wajah orang miskin.

Agama Kristen, katanya, bertujuan menjinakkan hati manusia, tetapi ini adalah satu kesalahan. Seekor binatang buas memiliki keagungan yang hilang ketika ia dijinakkan. Nietzsche muak dengan pertobatan dan penebusan.

Kembali ke Pantheisme

Jadi yang dibunuh oleh Nietzsche bukanlah Tuhan monotheis seperti yang dimaksud oleh Vidal, Schopenhauer, dan Hume. Dengan Tuhan monoteis yang cemburu Nietzsche memiliki persamaan dalam hal kesenangan akan kekerasan dan perang. Tuhan yang adalah Tuhan mengajarkan kasih dan pertobatan, yang disebutkan menghasilkan manusia dengan moralitas dan mentalitas budak, sebagaimana dirumuskan oleh Paulus dalam Bible. Sayang sekali. Seharusnya Nietzsche membunuh semua jenis tuhan monotheisme. Sebab, seperti dikatakan oleh Vidal, Schopenhauer, dan Hume, tuhan dari jenis ini, karena mengajarkan kebencian, kekerasan dan egoisme kelompok yang keterlaluan, telah menimbulkan peperangan dan terror, daru dahulu sampai sekarang.

Nietzsche atau siapapun tidak akan berhasil membunuh Tuhan pantheistik, yang bersifat wyapi wyapaka. Selama ada mahluk di dunia ini Tuhan pantheistik akan tetap hidup.

Tuhan nonotheistik, yang berbentuk dan memiliki sifat-sifat seperti manusia, termasuk sifat-sifat yang buruk seperti cemburu, benci dan senang kekerasan, seperti manusia juga memang bisa mati. Dan barangkali harus mati, untuk kemudian lahir sebagai Tuhan pantheitik yang satyam, sivam sundaram. Arnold J. Toynbee, sejarahwan Inggris termashur mengatakan dengan tegas, “bila dunia ingin damai, maka monotheisme harus ditinggalkan, dan manusia harus kembali ke pantheisme

0 komentar:

Posting Komentar