Selasa, 15 Januari 2013

Brata Siwa Ratri



Sebagai Wahana Pengendalian Diri untuk Penebusan Dosa

Umat Hindu mempunyai banyak hari raya seperti hari raya Galungan, Kuningan, Saraswati, Banyu Pinaruh, Pagerwesi, Nyepi dan Siwa Ratri, dimana setiap hari raya mempunyai makna tersendiri.

Di Bali hari raya Galungan paling meriah dirayakan oleh umat Hindu, merupakan hari besar yang penuh suka cita dan sangat semarak dengan memasang penjor disetiap rumah. Apabila hari raya Galungan merupakan hari raya kemenangan Dharma melawan Adharma, maka Siwa Ratri adalah sebagai wahana pengendalian diri untuk penebusan dosa.


Manonigraha yaitu penguasaan pikiran dan perasaan hati adalah sebagai dasar dalam pengendalian diri. Dalam ajaran Hindu pengendalian diri dikenal dengan Sadripu yaitu enam musuh manusia yang harus dikendalikan. Kenapa hari Raya Siwa Ratri belum banyak dikenal dikalangan umat Hindu di Bali?. Brata Siwa Ratri pada mulanya dirayakan oleh umat Hindu pada kalangan terbatas yaitu oleh para pendeta di Bali dan Lombok. Setelah hancurnya komunisme di Indonesia pada tahun 1965 yaitu peristiwa yang terkenal dengan G 30 S P.K.I banyak terjadi pembunuhan- pembunuhan massal maka timbul suatu kesadaran umat Hindu didalam spiritual.

Pada tahun 1966 perayaan Siwa Ratri mulai dimasyarakatkan oleh PHDI beserta Pemerintah lewat Departemen Agama yang merupakan kebangkitan kegiatan kerohanian dikalangan umat Hindu. Perayaan Siwa Ratri harus dimasyarakatkan pada kalangan umat Hindu, baik yang berdomisili di Bali maupun diluar Bali dengan memberikan pengertian maksud dan tujuan Siwa Ratri itu sendiri, sesuai yang dianjurkan dalam Kitab Suci Hindu (Weda).

Kitab suci Hindu yang memuat Siwaratri terdapat dalam kitab suci Siwa Purana, Skanda Purana, Garuda Purana dan Padma Purana. Dalam Siwa Purana pada bagian Jnana Samhita dengan jelas dipaparkan keutamaan Brata Siwa Ratri dan tata cara merayakan malam suci tersebut. Pada masa dahulu kala perayaan Brata Siwa Ratri tidak hanya populer dirayakan di India saja dimana tempat turunnya kitab suci Hindu, tetapi juga dirayakan oleh umat Hindu di Arab, Eropa dan Indonesia.

Di Indonesia Siwa Ratri pelaksanaan perayaannya diambil dari sumber tertulis oleh Mpu Tanakung yaitu pada kekawin Siwaratrikalpa yang di Bali populer disebut Lubhdaka disekitar tahun 1466 - 1478 pada masa berakhirnya kerajaan Majapahit.

SIWA RATRI.

Siwa Ratri berasal dari dua kata yaitu Siwa dan Ratri yang artinya Siwa adalah penjelmaan Tuhan sebagai pelebur (pralina) alam semesta ini, yang dapat melenyapkan segala kegelapam bathin sehingga menjadi terang, dan Ratri artinya adalah malam atau gelap. Maka Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranam pada Siwa. Jadi Siwaratri artinya adalah melakukan pemujaan kehadapan Betara Siwa pada saat bulan mati (Purwani Tilem Kepitu) sebagai penebusan (peleburan dosa). Posisi bulan, matahari dan bumi sangat berpengaruh terhadap gaya yang ditimbulkan terhadap bumi. Pada saat tilem (bulan mati) pengaruh gaya yang ditimbulkan bulan sangat kecil dan singkat sehingga sangat baik untuk melakukan semadi.

Maka Hari Raya Siwaratri merupakan saat yang baik dan tepat melakukan Brata, karena mempunyai pahala yang sangat besar dan dapat mengampuni dosa-dosa yang telah dilakukan selama ini.

Ceritra mengenai Siwaratri ada beberapa Versi seperti dalam Skanda Purana dijumpai percakapan antara Maharsi Lomasa dengan para Rsi dengan aktor utamanya adalah si Canda. Canda adalah seorang penjahat, pembunuh segala makluk bahkan membunuh Pendeta. Tetapi setelah dia sadar dengan perbuatannya dan bertobat kepada Dewa Siwa dengan melakuan Brata Siwaratri.

Dia sadar dan mengerti untuk menghayati apa yang disebut dengan Dharma yaitu Kebenaran yang mutlak, sehingga dia mencapai Siwaloka. Orang yang menghabiskan hidupnya untuk hal2 yang bersifat kenafsuan (Adharma), jika pada akhirnya ia menjadi sadar dan ingin kejalan Kebenaran (Dharma) disediakan jalan kearah itu. Maka kesadaran adalah permulaan dari awal Kebenaran (Dharma), maka rasa kebahagian akan timbul dalam diri sendiri.

Yang lebih menarik adalah ceritra Raja Chitrabanu didalam Santi Parwa, parwa ke 12 Mahabrata, pada saat Maharsi Bhisma yang tidur diatas panah-panah (saratalpa). Bhisma memberikan wejangan ajaran Dharma kepada Yudistira mengenai masalah Brata Siwa Ratri yang dilakukan oleh Raja Chitrabanu. Raja Chitrabanu adalah salah seorang keturunan dinasti Iswaku yang memerintah seluruh Jambhudwipapamandala sedang melaksanakan hari Brata Siwaratri bersama istrinya.

Ketika sedang mempersiapkan Brata Siwa Ratri datanglah seorang resi bernama Astawakra, maka terjadilah dialog antara Chitrabhanu dengan Astawakra. Apa sebabnya Chitrabhanu melaksanakan Brata Siwa Ratri, dijelaskan secara panjang lebar dari awal sampai akhir.

Pada penjelmaan yang terdahulu, Chitrabhanu adalah seorang pemburu yang tinggal di Waranasi dengan nama Suswara. Untuk menghidupkan keluarganya sebagai mata pencaharian pokok, dia selalu melakukan pemburuan dengan menbunuh binatang seperti burung, kijang, babi, binatang yang hidup ditengah hutan. Pada suatu hari dia berburu ditengah hutan yang lebat, dari pagi sampai petang dia belum mendapat hasil buruan sampai hari menjelang malam.

Sehubungan hari telah gelap, untuk kembali pulang tidak memungkinkan lagi, akhirnya dia bermalam ditengah hutan dengan memanjat sebatang pohon untuk berlindung agar tidak diganggu oleh binatang-binatang buas. Saat dia termenung diatas pohon, lewatlah seekor Kijang kemudian dipanahnya, tepat mengenai sasaran sehingga Kijang roboh. Kemudian diikatnya kijang hasil buruan pada sebuah dahan pohon, ditempat dia berlindung.

Malam makin larut, udara sangat dingin, perut dari pagi belum terisi, rasa lapar dan haus sangat menyakitkan. Dengan perasaan sedih memikirkan keadaan istri dan anak yang miskin, sedang menunggu hasil buruan, pasti gelisah mengingat sudah tengah malam dia tidak kunjung tiba di rumah. Dengan perasaan sedih dan tidak terasa air mata meleleh tumpah kebawah yang tidak tertahankan.

Untuk melewatkan waktu malam yang sunyi, dia melakukan pemusatan pikiran dengan memetik metik daun maja dan selanjutnya dijatuhkan kebawah. Pada saat fajar menyingsing, dia turun dari pohon dengan membuka ikatan kijang hasil buruan untuk dibawa pulang, segera dijual kepasar untuk membeli bahan-bahan makanan untuk sanak keluarganya.

Setelah makanan habis dimasak sebelum sempat dimakan, dengan tiba- tiba datanglah seorang asing bertamu kerumahnya untuk meminta makanan. Dengan rasa hormat dia menyuguhkan makanan kepada tamunya, setelah tamunya selesai, baru dia makan sekeluarga dengan lahapnya sebab seharian belum makan (puasa).

Akhirnya pada saat dia meninggal, dia melihat dua orang sebagai utusan Ciwa, untuk menjemput rohnya, selanjutnya dibawa ke Siwaloka. Setelah di Siwaloka baru dia sadar bahwa pada waktu diatas pohon maja dia memetik daun, dan menjatuhkan kebawah ternyata dibawah pohon terdapat Siwalingga serta air mata yang meleleh juga jatuh diatas Siwalingga. Waktu itu dia tidak menyadari bahwa suatu kebetulan apa yang dia lakukan sebenarnya merupakan wujud Brata Siwa Ratri.

Dalam Padma Purana, Brata Siwa Ratri dimuat pada Uttarakanda, dikisahkan dialog antara Raja Dilipa dengan Resi Wasistha, bahwa Brata Siwa Ratri adalah brata yang sangat utama dan pelaksanaan nya pada bulan magha dan palguna. Seorang pemburu bernama Nisada yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama Lubdhaka yang artinya pemburu sedang melakukan pemburuan disuatu hutan.

Pada suatu hari ketika Nisada berburu kedalam hutan sampai kemalaman dan untuk pulang tidak memungkinkan lagi, maka dia bermalam diatas pohon Bilwa yang dibawahnya ada sebuah telaga. Agar tidak tertidur diatas pohon, Nisada memetik metik daun pohon bilwa dan dijatuhkan pada telaga dan sangat kebetulan didalam telaga ada sebuah Lingga siwa yang terbuat dari kristal dan lingga itulah kena daun bilwa. Dan pada saat itu adalah Purwani tilem kepitu atau sehari sebelum tilem ketujuh (tilem yang paling gelap diantara 12 tilem).

Sentuhan daun bilwa oleh Nisada dipandang sebagai persembahan oleh sangyang Siwa, Nisada dipandang telah sadar akan dosa-dosa selama hidupnya, dan Nisada diterima oleh sangyang siwa di Siwaloka. Padma Purana inilah yang menjadi sumber karya sastra yang memuat tentang Siwa Ratri yang sangat populer di Indonesia dengan peran "Lubdhaka".

MAKNA SPIRITUAL UPACARA SIWA RATRI

Setelah kita membaca beberapa ceritra mengenai Siwa Ratri maka dapat disimpulkan bahwa makna Spiritual dari beberapa versi ceritra tersebut banyak mengandung simbolis- simbolis yang sangat dalam dan mempunyai filosofi yang sangat tinggi dan sistimatis. Apabila kita mulai dari peranan Lubdhaka sebagai seorang pemburu pergi kehutan belantara, hutan melambangkan suatu tempat yang penuh dengan tantangan dan cobaan, kita harus waspada dan hati-hati sebab banyak binatang- binatang buas.

Binatang buas adalah sebagai simbol musuh- musuh manusia (Sadripu) yang harus dimusnahkan, sebab binatang buas adalah sangat membahayakan dan dapat membunuh manusia itu sendiri. Binatang buas yang dibunuh oleh pemburu penuh dengan nafsu, marah, dengki, tamak, kegiala gilaan dan rasa benci inilah merupakan sifat yang kurang baik bagi manusia dan musuh yang harus dibasmi.

Hutan adalah merupakan tingkat alam pikiran terdiri dari alam dibawah sadar, intelek, keakuan (ego) dan kesadaran. Maka dalam pengendalian diri harus dapat menundukkan pikiran jahat. Apabila seseorang telah dapat menaklukan pikiran- pikiran jahat ia menampakkan tanda-tanda adalah cahaya bersinar dalam tubuhnya, kesehatannya prima, keteguhan hatinya mantap, wajahnya bersih dan berseri dan suaranya selalu menyenangkan, menyejukkan dan menarik.

Apabila seorang pemburu berhasil membunuh seekor binatang, ini adalah sebagai simbol bahwa seseorang telah dapat menguasai Sadripu sehingga timbul ketenangan adalam jiwanya.

Setelah tahap tahap pengendalian diri dikuasai, pemburu berhasil menangkap binatang buruan maka dilanjutkan tahap berikutnya. Sehubungan hari sudah malam, maka dia bermalam diatas pohon. Memetik daun Bilwa dan menjatuhkan diatas Lingga Siwa, adalah sebagai perwujudan bahkti kehadapan Dewa Siwa, dan air mata yang menetes dan jatuh diatas Lingga Siwa sebagai simbul rasa Cinta Kasih kehadapan Dewa Siwa. Sehubungan dari pagi sampai malam dan pagi berikutnya tidak makan maka kewajiban melakukan Upawasa.

Ditengah malam berdiam diri tanpa berbicara sebagai simbul Monabrata, dan semua kegiatan semalam dilakukan tanpa tidur dan jaga sepanjang malam, ini adalah sebagai simbul Jagra. Jadi Tribrata yaitu tiga kewajiban dalam Siwa Ratri yang harus dilakukan adalah Jagra, Upawasa dan Monabrata. Setelah pagi dia turun dari pohon Bilwa, dengan tidak disadari dia melihat Siwa Lingga sebagai perwujudan Dewa Siwa. Pada waktu dia menyuguhkan makanan dia kedatangan tamu asing yang sebenaran penjelmaan dari Dewa Siwa ini adalah sebagai simbolik manifestasi Dewa Siwa artinya dia sudah berhasil mencapai tujuan terakhir yaitu pengampunan dosa (Moksa) dan setelah meninggal mendapat tempat di Siwaloka.

PELAKSANAAN BRATA SIWA RATRI.

Pelaksanaan Brata Siwa Ratri dilakukan oleh Umat Hindu setiap tahun sekali yaitu pada hari Catur Dasi Krsna Paksa bulan magha yaitu panglong ping empat belas sasih kepitu yang biasanya jatuh pada bulan Januari atau pebruari. Persiapan- persiapan apa saja yang harus dilakukan bagi Umat Hindu dalam rangka Brata Siwa Ratri?. Pertama tama kita harus melakukan persembahyangan di Pura untuk pemujaan Betara Siwa, dan sebagai tahap- tahap berikutnya kita harus melakukan Sadhana semalam suntuk dengan Tribrata Siwa Ratri yaitu :

Mona Brata artinya berdiam diri tidak bicara (membatasi bicara), tujuannya adalah untuk melatih diri dalam hal berbicara, tidak boleh berbicara sembarangan dengan ucapan- ucapan yang tidak patut diucapkan, dan apabila berbicara harus sejuk dan suci. Sebaiknya pada saat Siwa Ratri, dilakukan pembacaan lontar- lontar yang memuat ajaran Kesucian seperti Bhagawad Gita, Ramayana, Sarasmuscaya dan Kitab-kitab Suci lainnya.

Apuwasa artinya kembali suci dengan tidak makan selama melaksakan Brata Siwa Ratri selama 24 Jam, tujuannya untuk melatih pengendalian diri dengan menghilangkan keterikatan- keterikatan (warigya) sehingga dapat melakukan konsentrasi (Semadi) dalam rangka pendekatan diri kepada Dewa Siwa.

Jagra artinya Sadar yaitu tidak tidur semalam suntuk, panca indra dibuka diisi dengan ajaran Suci dengan membaca kitab-kitab suci Agama Hindu, sebagai pencerahan diri sendiri. Disamping melakukan Dharma Tula (berdiskusi) dan membaca buku-buku suci sebaiknya selalu melantumkan Om Namah Siwaya sepanjang malam untuk memperkuat diri sendiri.

Tingkatan Brata Siwa Ratri dapat dibagi menjadi 3 yaitu Utama, Madya dan Nista. Untuk tingkatan Nista hanya melakukan Jagra saja, untuk tingkatan Madya hanya melakukan Apuasa, Jagra dan untuk tingkatan Utama melakukan ketiga tiganya (Tribrata) yaitu Apuasa, jagra dan Mona Brata.

PENUTUP.

Setiap hari raya Hindu mempunyai arti dan makna yang berbeda beda, dan umat Hindu selalu dengan ketulusan hati merayakan hari-hari suci tersebut. Setiap hari raya Siwa Ratri, pura-pura di Bali maupun diluar Bali penuh dikunjungi umatnya untuk melakukan persembahyangan dan diikuti dengan pembacaan lontar-lontar suci. Apabila kita selalu melakukan Bhakti kehadapan Yang Widhi Wasa, kita akan mencapai kesadaran Ketuhanan, seperti yang kami kutip dalam kakawin Siwaratrikalpa sebagai berikut:

Yadin sagati gati wwang amangun hala lumarani, buddhi ning para dwijaghna tuwi mon krtaghna guru talpaka mati raray ungu ring weteng sapapa nika nasa de nikin atanghi menuju siwaratri kottama sawet ni parama prabhawa nikanang kalingan isabda ni nghulun (37.8).

Terjemahannya adalah:

Walau bagaimanapun seseorang melakukan perbuatan jahat, menyengsarakan hati orang lain, membunuh pendetapun serta congkak terhadap guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu akan musnah dengan berjaga (Jagra) pada saat Siwaratri yang utama, demikianlah makna yang telah kuucapkan.

Siwa Ratri sering menjadi bahan perdebatan dalam Dharma Tula, pertanyaan yang sering timbul adalah apakah manusia semacam Lubdhaka yang penuh dosa dalam kehidupannya, hanya melakukan pemujaan terhadap Betara Siwa tanpa sengaja gampang sekali mendapat Sorga (Siwa loka)?.

Bagaimana konsep Karma pala dalam agama Hindu, apakah tidak berlaku terhadap kasus "Lubdhaka"?. Jawabanya adalah kita selalu berpedoman kepada kitab-kitab Suci Hindu yang kita yakini dan percaya kebenarannya dan harus dihayati dengan penuh kesucian.

Demikianlah makna dari Brata Siwa Ratri, bagi Umat Hindu Tri Brata Siwa Ratri yang dianjurkan dalam kitab suci harus dilakukan hening dan suci, yaitu penuh keyakinan, kepasrahan, kekusukkan dengan tahap2 yaitu Apuasa, Jagra dan Mona Brata.

Dengan harapan kita selalu mendapat perlindungan Yang Widhi Wasa dengan diberikan kesehatan, kekuatan dan keselamatan dalam kehidupan yang serba sulit saat ini.

0 komentar:

Posting Komentar