Selasa, 15 Januari 2013

Barong, Simbol Roh Suci yang Tetap Dikeramatkan



Barong seakan identik dengan Bali. Menggambarkan Bali orang seakan tak bisa melepaskan diri dari keris dance -- tari keris yang sangat populer dengan adegan pertempuran barong dengan rangdanya. Taksu barong memang sampai kini masih diyakini masyarakat Bali. Lalu makna apa sebenarnya di balik simbol barong itu?


Secara tradisi masyarakat Bali meyakini dan memperlakukan barong sebagai sesuhunan -- sebagai sesuatu yang disakralkan. Di lingkungan Banjar Adat Kebonkuri Desa Pakraman Kesiman, misalnya, barong secara turun-temurun hingga kini tetap dijaga kesekralannya. Secara historis, barong druwen Pura Dalem Muter Kesiman ini sebagaimana dikutip dari babad/prasasti Pasek Mancagra memiliki sejarah yang cukup unik. Ceritanya berawal dari Raja Kesiman waktu itu I Gusti Ngurah Rai sampai mengadu jangkrik ke Lombok.

Untuk mendapatkan jangkrik pilihan dia memperoleh di wilayah Padanggalak, Kesiman. Jangkrik gading banar -- bulu berwarna putih kekuningan yang diperolehnya itu -- oleh raja disebut Banaspati Raja. Raja Ngurah Rai sempat berjanji jika jangkrik ini menang akan membuatkan semacam prototipe barong. Sekretaris Panitia Karya Pesimpenan, Padudusun dan Majaya-jaya Sesuhunan Ida Ratu Ayu Banjar Adat Kebonkuri I Wayan Wiranatha, S.H. yang mendampingi ketuanya Ketut Mendra Arjana menceritakan, karena janji raja untuk membuat prototipe barong lama tak terwujud, warga sempat mengalami karauhan (trance). Lantas warga tersebut menghadap raja di Puri Kesiman. Mendapat pengaduan seperti itu, akhirnya raja teringat kembali pada janjinya membuat barong.

Secara umum kata barong berasal dari kata beruang atau binatang yang memiliki kekuatan gaib -- dianggap sebagai binatang pelindung. Sebagaimana dipaparkan oleh tokoh adat Banjar Kebonkuri Kesiman dengan mengutip cerita babad tadi adalah cerminan betapa barong hingga kini masih tetap dikeramatkan oleh masyarakat setempat karena memiliki keanehan, keajaiban dan misterius.

Sampai kini di Bali, khususnya di lingkungan Banjar Adat Kebonkuri Kesiman, Denpasar, Ratu Ayu -- barong -- masih tetap dianggap sebagai simbol roh suci yang mampu memberikan perlindungan dan keselamatan bagi masyarakatnya. Hal itu terbukti pada rerahinan Bali seperti kajeng kliwon, tak hanya warganya rutin sembahyang disertai membawa aturan, namun saat tertentu ada saja warga yang sakit memohon obat penawar. Tampaknya ada suatu keyakinan mendalam bagi warga masyarakat di sana bahwa mereka wajib memohon obat penawar kepada sesuhunan jika menderita sakit yang tak lama sembuh.

Jika dikaitkan dengan babad tadi, tampaknya pandangan masyarakat tersebut tak jauh menyimpang. Sebagaimana dipaparkan Wiranata, dalam prasasti Pasek Mancagra diceritakan munculnya wabah karena kemarahan Dewi Uma. Akibat kemarahan itu, Dewi Uma berubah wujud menjadi Rangda (Dewi Durga). Khawatir perbuatan tersebut mengundang bencana, Dewa Wisnu menandingi dengan berubah wujud menjadi Banaspati Raja (Barong).

Keluarkan Kesaktian

Dalam Lontar Barong Swari, kemarahan Dewi Durga itu dilampiaskan dengan beryoga menghadap ke empat penjuru mata angin secara bergantian. Dalam beryoga itu mereka mengeluarkan kesaktian ilmu hitamnya. Ketika menghadap ke utara beliau menciptakan gering lumintu (wabah penyakit), sewaktu menghadap ke barat beliau menciptakan gering amucuh. Sedangkan waktu beryoga menghadap ke selatan menciptakan gering rug bhuana dan saat menghadap ke timur Dewi Durga menciptakan gering utah bayar -- muntah mencret.

Prosesi yoga Dewa Durga (rangda) ini akan dipergelarkan lagi upacara Napak Pertiwi Rabu (10/3) mendatang di Jaba Pura Ibu Banjar Adat Kebonkuri, Kesiman. Mirip dengan kupasan babad, ketika rangda beryoga untuk menciptakan wabah inilah, digoda Banaspati (barong) agar kekuatan negatifnya bisa diredakan. Masyarakat memang wajib menetralisasi kekuatan negatif tersebut dengan upacara agar gering yang diciptakan tak makin merajalela, ucapnya. Istimewanya pada napak pertiwi kali ini sesuhunan Banjar Singgi Sanur akan ikut mendampingi sesuhunan Banjar Adat Kebonkuri Kesiman masolah.

Sebelum prosesi melaspas serta padudusan Ida Ratu Ayu, prosesi memohon pohon di Kuburan Kesiman 26 Juli lalu sempat diwarnai hal-hal aneh. Saat memotong batang pohon yang akan dipakai pole itu, alat pemotong sempat tersendat beberapa lama. Setelah melalui proses atur piuning yang disertai mengaturkan bebantenan, baru proses pemotongan kembali lancar. Upacara nunas taru di Kuburan Kesiman yang diwarnai hal gaib itu disaksikan ratusan warga adat setempat. Setelah melewati proses masimpen Ratu Ayu di Pura Kahyangan, selanjutnya proses pengolahan pohon sampai mendak prerai dari Singapadu Gianyar, akhirnya puncak acara melaspas, matep, padudusan, masupati dan majaya-jaya akan berlangsung Selasa (9/3) mendatang. Rangkaian ini dilanjutkan masuci pukul 24.00 wita di Kuburan Kesiman. Kendati rangda dan ancangannya masuci di kuburan, Ratu Ayu tetap mayoga di Pura Kahyangan Kesiman.

Hal ini dimaksudkan untuk menentralisasi antara unsur positif dan negatif agar tetap dalam keseimbangan yang harmonis. Selanjutnya keesokan harinya prosesi dilanjutkan dengan mapinton dan napak pertiwi yang diiringi gong bebarongan dan tabuh petegak oleh warga adat setempat. Terakhir pementasan calonarang Jumat (12/3) sampai dini harinya. Begitu panjang, rumit dan melelahkan proses sakralisasi barong di wilayah Banjar Adat Kebonkuri, Kesiman. Kepercayaan masyarakat akan keampuhan barong menetralisasi grubug -- wabah penyakit -- memang masih tampak hingga kini. Ini amatlah wajar karena wabah semacam ini diduga disebabkan roh jahat seperti leak, desti, teluh trangjana dan berbagai bhuta kala yang mengamuk. Masyarakat Bali umumnya dan Kebonkuri Kesiman khususnya masih lari pada kekuatan supranatural ini lewat perwujudan sesuhunan barong.

Seirama dengan perkembangan pariwisata, barong memang tak hanya dikenal lewat perwujudan yang sakral dalam konteks kehidupan beragama masyarakat Hindu-Bali. Namun, telah ditarikan prototipe barong berbagai jenis sebagaimana disaksikan di Wantilan Pura Kahyangan Kesiman setiap harinya. Barong semacam ini nyaris tanpa taksu karena tidak dipasupati. Selain itu banyak lukisan sampai baju kaos bergambarkan barong. Yang jelas di lingkungan Banjar Adat Kebonkuri, sesuhunan Ratu Ayu yang disungsung sekitar 400 KK ini masih memandang barong (sesuhunan) sebagai perwujudan yang dikeramatkan. Setiap saat masyarakatnya masih bisa menyaksikan masyarakat mapasupati barong dan menyaksikan orang karauhan saat menarikan barong dan rangda.

0 komentar:

Posting Komentar