Gunung Merapi menggelegar begitu
dasyatnya diiringi dengan muntahan lava pijar dan wedus gembel yang
meluluh lantakkan setiap wilayah yang dilaluinya. Oleh beberapa penekun
spiritual Jawa, kejadian ini bukanlah tanpa insyarat. Subuh, tanggal 25
Oktober 2010, sesaat sebelum terjadinya bencana besar yang telah
menyebabkan puluhan nyawa melayang dan ratusan lainnya masih hilang,
beberapa penduduk dikejutkan oleh munculnya gumpalan awan “petruk” di
puncak gunung Merapi. Awan “petruk” tersebut berbentuk menyerupai kepala
tokoh petrok dalam pewayangan Jawa dan dengan hidungnya yang panjang
menghadap ke arah Yogyakarta. Meskipun Kepala Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Subandriyo mengatakan bahwa
awan seperti itu adalah awan yang biasa terjadi dan bukan merupakan
indikasi akan terjadinya letusan yang lebih besar, tetap saja masyarakat
sekitar tidak percaya. Penguatan bahwa tokoh Petruk hanyalah mitos
belaka juga disampaikan oleh seorang tokoh Sastrawan Jawa Modern,
Suwardi Endraswara dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tokoh petruk
tidak benar-benar ada dalam kitab Mahabharata yang asli. Tokoh tersebut
hanyalah karangan sunan Kalijaga yang diambil dari kata dalam bahasa
Arab, Fatruk. Arti harfiahnya adalah meninggalkan atau menyingkirkan
tindakan buruk yang telah menjadi larangan Tuhan.
Namun entah karena kebetulan atau memang
keyakinan masyarakat setempat memang benar, akhirnya keesokan harinya
pada tanggal 26 Oktober Gunung Merapi meletus memuntahkan awan panas
mengarah ke Yogyakarta sesuai dengan arah hidung awan petruk dan
menewaskan beberapa orang termasuk Mbah Marijan, sang juru kunci Merapi.
Berselang 4 hari setelah itu, pada tanggal 30 Oktober, Gunung Merapi
kembali meletus. Letusan kali ini sangat dasyat. Gemuruhnya memekikkan
telinya masyarakat sekitarnya. Dan lagi-lagi arah muntahan material dan
awan panasnya ke arah Yogyakarta. Kejadian ini akhirnya kembali
menguatkan kepercayaan yang selama ini terkubur dalam. Sebuah
kepercayaan yang oleh sebagian masyarakat Jawa diyakini sebagi tonggak
waktu dimana agama leluhur mereka, akan bangkit kembali menggantikan
agama Islam yang sudah 500 tahun lamanya dianut oleh sebagian besar
penduduk nusantara. Sumber keyakinan mereka ini adalah dari serat
Ramalan Sabdopalon dan Dharmagandul yang merupakan salah satu karya
sastra kearifan lokal sangat penting dalam tradisi Jawa.
Awal cerita yang melatarbelakangi
kepercayaan sebagian orang Jawa ini adalah ketika runtuhnya kerajaan
Majapahit di tangan Prabu Brawijaya V yang memerintah tahun 1453 – 1478.
Setidaknya terdapat dua sumber utama yang menceritakan kejadian ini,
yaitu Darmagandhul dan bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo yang
diperkirakan disusun sekitar tahun 1135 – 1157. Kedua sumber ini
memberikan gambaran konflik sosial religius dan keruntuhan kekuasaan
kerajaan Hindu di nusantara yang sangat memilukan sampai pada penjanjian
bahwa 500 tahun setelah peristiwa itu, Sabdo Palon yang merupakan Sang
Hyang Semar akan kembali muncul untuk mengembalikan kejayaan dan
kepercayaan yang telah diambil alih.
Dalam serat Dharmagandhul diceritakan
kisah pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon
di daerah Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga
mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan
untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk
memukul balik serangan putranya yang durhaka, Raden Patah yang telah
menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga
dan oleh kelihaiannya akhirnya Prabu Brawijaya bersedia masuk Islam.
Namun di sisi lain, Sabdo Palon sang punakawan Prabhu Brawijaya tidak
bersedia masuk Islam sehingga akhirnya mereka sepakat untuk berpisah.
Sabdo Palon berkata kepada Prabu Brawijaya; “Paduka
sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên manut
nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi langit,
wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat
satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados,
kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang
jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula,
…”(“Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan
jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya
asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya
mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang
kuat), tidak senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak percaya, yang
disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya (Semar) itu saya, yang
membuat kawah air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”)
Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa
dia sangat malu kepada bumi dan langit dengan keputusan Prabu Brawijaya
masuk agama Islam. Gambaran ini telah diungkapkan Joyoboyo pada bait 173
yang berbunyi : “…, hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”
(“…, itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi
termasyhur; …”). Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa
dirinyalah sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang
dikenal sebagai “Manik Maya” atau “Semar”.
“Sabdapalon matur yen arêp misah,
barêng didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora
manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud,
anglela kalingan padhang. …..” (“ Sabdo Palon menyatakan akan
berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi, akan
tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang
meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”). Sekali lagi dalam ucapan
ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang bernama Semar. Bagi
orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami tentang apa
dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar adalah
merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa)
untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu sujud bhakti kepada Tuhan,
selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan.
“Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki
Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata,
dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku
Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi
sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..
….., dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..”
(Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga
tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari
leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri,
turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja Jawa,
…..….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam
mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)
Di kalangan spiritualis Jawa pada
umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa “suara tanpa rupa”. Namun
secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar
diyakini dengan istilah “mencolo putro, mencolo putri”, artinya dapat
mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di
setiap masa. Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan
karakter Semar sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat
dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan
“Cokro Manggilingan”. Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu
Brawijaya merupakan sosok Semar yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam
ungkapannya dikatakan : “…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama
kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya
têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula
punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng
salaminipun.” (“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo
Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang,
Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi
ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng
selamanya.”)
Semar selalu memberikan piwulangnya
untuk bagaimana berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia fana ini
sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya nanti. Jadi Semar
merupakan pamomong yang “tut wuri handayani”, menjadi tempat bertanya
karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki sifat
yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge
winarah). Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa “perintah
untuk melakukan” tetapi lebih kepada “bagaimana sebaiknya melakukan”.
Semua keputusan yang akan diambil diserahkan semuanya kepada “tuan”nya.
Semar atau Kaki Semar sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki
Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo, Ki Bodronoyo, dan lain-lain.
Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan
episode perpisahan antara Sabdo Palon dengan Prabu Brawijaya karena
perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo Palon menyatakan kekecewaannya
dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi tentang sosok masa depan
yang diharapkannya. Berikut ungkapan-ungkapan itu : “….. Paduka
yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Budi, turun paduka
tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa
sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.”
(“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan
agama Budi, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang
memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya),
Jawi-nya hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan
dipimpin oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.”
“….. Sang Prabu diaturi
ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh,
iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang
bênêr luput.” (“….. Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti
kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh
Jawa, yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan (yang telah
kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”)
Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon
mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa suatu ketika nanti akan ada orang
Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang Jawi) yang akan memimpin bumi
nusantara ini. Juga dikatakan bahwa ada saat nanti datang orang Jawa
asuhan Sabdo Palon yang memakai nama sepuh/tua (bisa jadi “mbah”, “aki”,
ataupun “eyang”) yang memegang teguh kawruh Jawa akan mengajarkan dan
memaparkan kebenaran dan kesalahan dari peristiwa yang terjadi saat itu
dan akibat-akibatnya dalam waktu berjalan. Hal ini menyiratkan adanya
dua sosok di dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda
prediksi di masa mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan
pembimbing spiritual (seorang pandhita).
“Sang Prabu karsane arêp ngrangkul
Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging wong loro mau banjur musna. Sang
Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan
Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi,
dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa
momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang.”
(“Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong, namun
orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung kemudian
berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi
Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah
Jawa membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di
tanah seberang.”)
Karena Sabdo Palon tidak berkenan
berganti agama Islam, maka dalam naskah Ramalan Sabdo Palon ini
diungkapkan sabdanya sebagai berikut: “(3). Sabda
Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama Islam, Wit
kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang anak putu,
Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti
kula pisahan. (Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk
Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah
Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa.
Sudah digaris kita harus berpisah.)” “(4). Klawan
Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur petungna,
Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep gangsal
atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda
kula sebar tanah Jawa. (Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal
mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun
saya akan mengganti agama Buda lagi, saya sebar seluruh tanah Jawa.)”. “(5). Sinten
tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken putu kula,
Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur,
Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus
njeblug mili lahar. (Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya
hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah
hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan
datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan
memuntahkan laharnya.)”. “(6). Ngidul ngilen
purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika medal kula, Wus
nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu,
Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta
kaowahan. (Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak
sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama
Buda. Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi
bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.)”. “(7). Sanget-sangeting
sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan tahunira, Lawon Sapta
Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng tengah-tengahipun, Kaline
banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah sirna manungsa prapteng
pralaya. (Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada
tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah
datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya
menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.)”. “(8). Bebaya
ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring gesang, Tan
kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing sakwasanipun,
Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang akarya.
(Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak
Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya.
Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang
membuatnya.)
Dari bait-bait di atas dapatlah kita
memahami bahwa Sabdo Palon menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya
kembali ke asal mulanya. Semar adalah Sang Hyang Ismoyo yang berwujud
manusia. Jadi ketika itu Sabdo Palon kembali ke asal mulanya sebagai
wujud Sang Hyang Ismoyo. Namun setelah 500 tahun kemudian Sabdo Palon
menyatakan akan datang kembali ke tanah Jawa (tataran nusantara) dengan
tanda-tanda tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya
lahar gunung Merapi ke arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga
kemudian diikuti bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah
datang. Ciri-ciri lain akan bangkitnya agama leluhur diungkapkan juga
dalam serat jangka jayabaya.
Melihat kejadian akhir-akhir ini
kelihatannya sangat banyak isi ramalan dari serat-serat leluhur tersebut
yang sepertinya membenarkan kedatangan Sabda palon untuk mengembalikan
agama leluhur. Apakah artinya ramalan ini sedang menjadi kenyataan? Jika
kita menelik berakhirnya kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478
Masehi, maka pada tahun 2010 ini kita sudah memasuki tahun ke-532 yang
artinya ramalan tersebut seharusnya sudah terjadi 23 tahun yang lalu.
Lalu apa hubungannya dengan kejadian meletusnya gunung merapi yang
sangat dasyat kali ini? Bukankah harusnya meletusnya gunung Merapi sudah
berlangsung 23 tahun lalu? Penanggalan Jawa berbeda dengan penanggalan
Masehi. Dalam kalender Masehi 1 tahun terdiri dari 365 hari, tetapi
dalam penanggalan Jawa yang awal, sebagaimana penanggalan yang
diturunakan dalam kalender Bali, 1 tahun lamanya 420 hari. Jadi andaikan
500 tahun kalender jawa terdiri dari 210000 hari, maka dalam kalender
Masehi ramalan tersebut harusnya berlangsung pada tahun ke-575. So lets
see and wait …….!
Referensi:
- Huda, Nurul. “Sabdapalon Naya Genggong, Manik Pustaka. Yogyakarta
- http://nurahmad.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar