1 PENGERTIAN BABAD
Tradisi penulisan babad telah dimulai sekitar abad ke-16.
jika kemudian kita berpikir bahwa masa kini merupakan perpanjangan masa lampau,
maka perkembangan bangsa dan masyarakat pada masa kini semestinya dapat
dipahami dan dikembangkan dengan memperhatikan latar historisnya (kehidupan
masa lampau). Hal ini berarti bahwa perlu diperhatikan berbagai informasi masa
lalu, misalnya tentang buah pikiran, pandangan, dan nilai-nilai yang pernah
hidup dan berkembang pada masa lalu. Oleh karena itu babad mempunyai peranan
penting. Sehubungan dengan itu, kiranya persoalan yang dihadapi adalah bagaimana
cara kita memandang, memahami, dan memerankan babad pada kehidupan masa kini.
Hal inilah menurut hemat saya perlu didiskusikan pada kesempatan ini.
A. APA ITU BABAD?
Istilah babad terdapat di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Di daerah-daerah lain seperti sulawesi Selatan,
babad disebut lontara; di Sumatera Barat dikenal dengan istilah Tambo;
di Kalimantan, Sumatera, dan Malaysia dikenal dengan sebutan hikayat,
silsilah, sejarah; di Burma dan Thailand dikenal dengan istilah kronikel
(Soedarsono, 1985). Ada
bermacam-macam pengertian babad. Menurut Danu Suprapta (1976),
babad adalah salah satu jenis sastra sejarah berbahasa Jawa Baru yang penamaannya
beraneka ragam, antara lain berdasarkan nama diri, nama geografi, nama
peristiwa, atau yang lainnya. Sartono Kartodirdjo (1968) menjelaskan
babad merupakan penulisan sejarah tradisional atau historiografi tradisional
sebagai suatu bentuk dari suatu kultur yang membentangkan
riwayat, dimana sifat-sifat dan tingkat kultur
mempengaruhi bahkan menentukan bentuk itu sehingga historiografi selalu
mencerminkan kultur yang menciptakannya. Menurut Soekmono (1973), babad
merupakan cerita sejarah yang biasanya lebih berupa cerita daripada uraian
sejarah meskipun yang menjadi pola adalah memang peristiwa sejarah. Teeuw
(1984), menjelaskan babad sebagai teks-teks historik atau genealogik yang mengandung
unsur-unsur sesusastraan. Demikianlah ada bermacam-macam pengertian babad. Akan
tetapi, pada prinsipnya babad merupakan teks-teks historis yang dikemas dengan
unsur-unsur kesusastraan.
B. HAKIKAT BABAD
Babad merupakan titik temu antara sastra dan sejarah.
Realitas dalam babad telah berpadu dengan kreativitas. Makna realitas itu telah
menunjukkan wajah baru. Dengan demikian, babad tidaklah mutlak dipandang sebagai
dokumen sejarah, tetapi juga dipandang sebagai teks yang secara kreatif, dan
menurut konvensi kebudayaan Bali, menafsirkan dan membayangkan hal-hal sejarah
dan bukan sejarah dalam rangka pandangan dunia masyarakat Bali. Teks babad
merupakan kenyataan yang diberi nilai dan makna lewat cerita. Oleh karena itu
babad menjadi semacam model gaya bercerita yang
laku dalam kebudayaan Bali pada masa itu.
Dengan demikian, seorang penulis babad lebih menekankan pemberian makna dan
eksistensi manusia lewat cerita, peristiwa yang barangkali tidak benar secara factual
tetapi masuk akal secara maknawi. Jadi dalam membaca babad kita selalu sadar
bahwa kita berada dalam tegangan history dan story. Rekaan bukan merupakan
lawan kenyataan, tetapi memberitahukan sesuatu mengenai
kenyataan. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam
sastra adalah hubungan dialektik, yakni tiruan tidak mungkin tanpa kreasi dan
kreasi tidak mungkin tanpa tiruan. Dengan kata lain, manusia dapat hidup dalam perpaduan
antara kenyataan dan impian yang kedua-duanya hakiki untuk kita
sebagai manusia. Oleh karena itu, keobjektifan mutlak
tidak pernah tercapai
karena beberapa hal, yaitu :
1. Fakta-fakta tidak pernah lengkap, selalu fragmentaris.
2. Penulis babad mau tidak mau berlaku selektif, tidak
semua fakta dan data sama penting dan relevannya. Ia harus memilih, dan kriteria
objektif untuk penyeleksian tidak ada sehingga cenderung menulis apa yang
sebaiknya ditulis bukan apa yang seharusnya ditulis.
3. Penulisan babad adalah manusia yang latar belakang, kecenderungan,
dan pendiriannya bersifat subjektif, ditentukan oleh pengalaman, situasi, dan
kondisi hidupnya sebagai manusia sosio-budaya pada masa dan masyarakat tertentu
(Teeuw, 1988).
C. SIFAT BABAD
Sejalan dengan pengertian dan hakikat babad seperti
tersebut di
atas, maka babad memiliki sifat-sifat :
1. Sakral – magis ( dikeramatkan ),
2. Religio – magis ( mengandung kepercayaan ),
3. Legendaris ( berhubungan dengan alam semesta ),
4. Mitologis ( berhubungan dengan dewa-dewa ),
5. Hagiogrfis ( mengandung kemukjizatan, menyimpang
dari
hukum alam ),
6. Simbolis ( mengandung lambang-lambang, kata-kata
keramat,
atau bhisama, benda-benda keramat ),
7. Sugestif ( mengandung ramalan, suara gaib, tabir
mimpi ),
8. Istana sentris ( berpusat pada kerajaan ),
9. Fragmentaris ( tidak lengkap ),
10. Raja – kultus ( pengagungan leluhur ),
11. Lokal ( bersifat kedaerahan ), dan
12. Anonim ( tanpa nama pengarang ).
D. PERANAN DAN FUNGSI BABAD PADA
MASYARAKAT BALI MASA
KINI
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa babad pada
hakikatnya merupakan penafsiran terhadap kenyataan,
alternatif kenyataan,
atau kenyataan diberi makna lewat cerita.
Sejalan dengan itu, makna babad bukan terletak pada
peristiwa itu,
tetapi berada di balik peristiwa. Sebagai produk budaya,
sekiranya babad
dapat dilihat sebagai sistem simbol. Babad dapat dipandang
menggambarkan
suatu cara masyarakat Bali
memperkuat dan melestarikan dirinya melalui
simbolisasi dari nilai-nilai atau konsep-konsep
sosio-religius yang mendasar
struktur sosialnya. Hal ini penting teruatama ditinjau
dari segi proses interaksi
masyarakat Bali sebagai
makhluk sosial. Dalam konteks ini interaksi itu
dipahami sebagai interaksi simbolik. Babad sebagai sinbol
digunakan oleh
orang Bali berinteraksi
satu sama lain atau untuk menyatakan gagasannya
sebagai manusia berkebudayaan. Selanjutnya, sebagai
warisan budaya,
kiranya babad dapat dipandang sebagai konsepsi-konsepsi
orang Bali dalam
menghadapi kehidupan dan lingkungannya demi eksistensinya
secara historis.
Kecuali itu, babad juga dapat dipandang sebagai suatu
abstraksi tingkah laku,
sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan orang Bali. Dalam konteks inilah
hal-hal penting dalam babad, seperti bhisama dan
persoalan sesanan bagi
klien bersangkutan dapat dipahami dalam konteks yang lebih
utuh. Sekalipun
babad ditulis untuk mengenal dan mengingat
peristiwa-peristiwa historis
dengan segala konsekuensinya, maka kita lebih jauh
dituntut untuk dapat
memahami dan mem berikan penafsiran secara jernih dan
komprehensif
bahwa fungsi dokumentasi babad hendaknya dipahami sesuai
dengan
kodratinya sebagai ciptaan sastra. Bahwa realita dalam
babad memiliki
hukumnya sendiri tidak harus sama dengan realita dalam
fakta. Hal ini karena
dalam ciptaan yang dinamakan sastra itu terdapat dalam
perpaduan mimeis
dan creatio. Tidak hanya itu, babad sebagai genre
sastra juga merupakan
perpaduan antara etika dan estetika. Oleh karena itu fakta
dan data yang
tersedia dalam babad tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara penuh.
Informasi pada babad hanya dapat dimanfaatkan sebagai
bahan tambahan. Jika
mengangkat informasi dalam babad sebagai penyusun sejarah,
semestinya
harus memalui kritik sumber, babad dibaca secara
berdampingan dengan
sumber-sumber lainnya.
Namun demikian, masih dapat diakui bahwa babad diciptakan
dalam rangka struktur dan pemenuhan fungsi. Sejalan dengan
itu, fungsi
babad antara lain :
Berfungsi melegitimasi ( mengesahkan ) asal-usul /
silsilah
leluhur, kejadian/peristiwa, desa, pura, atau hal-hal
lainnya. Sehubungan
dengan fungsi legitimasi inilah faktor-faktor kepercayaan
dan ritus religius
berhadapan dan saling menemtukan satu sama lain.
Unsur-unsur mitos,
legenda, hagiografi, simbolisme, dan sugesti sangat
dibutuhkan dalam upaya
menambah kekeramatan dan kewibawaan tokoh atau peristiwa
yang di
legitimasi.
Di samping itu, babad berfungsi sebagai penghormatan
kepada
leluhur. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu
kepercayaan (sraddha)
orang Bali adalah
kepercayaan terhadap leluhur. Banyak kasus ditemukan
dalam kehidupan masyarakat Bali
karena faktor “tidak mengenal leluhur” (tak
kenal maka tak sayang) orang tersebut lebih sengsara. Tapi
setelah
menemukan dan mengenal leluhurnya kehidupannya berubah
menjadi lebih
bahagia. Hal ini pula yang diamanatkan dalam petikan kekawin
Ramayana di
atas, bahwa untuk dapat menjadi seorang Gunamanta (memiliki
kebajikan)
seperti Sang Dasaratha, maka kita diwajibkan berbhakti
kepada leluhur ( tar
malupeng pitrapuja )di samping bertakwa kepada
Tuhan ( bhakti ring dewa ).
Lebih jauh, babad berfungsi sebagai penuntun pada
keturunan (
pratisantana) dalam menjalankan kewajiban
masing-masing. Dalam tataran
ini, babad dapat dipandang sebagai suatu mekanisme kontrol
bagi tingkah laku
orang Bali. Babad
merupakan kristalisasi pandangan hidup dan ajaran-ajaran
leluhur pada masa lampau. Dikatakan demikian karena hampir
pada setiap
babad memuat bhisama leluhur tentang sesanan (tetegenan,
kewajiban) yang
wajib dilaksanakan oleh keturunannya. Babad mengajarkan
kepada
keturunannya untuk lebih mengenal diri, untuk memahami
hakikat dan
eksistensi diri sebagai individu dan makhluk sosial.
Artinya, babad tidak
mengajarkan keturunannya untuk hidup terkotak-kotak,
membatasi diri
terhadap lingkungan, namun sebaliknya, babad mengajarkan
interaksi orang
Bali sebagai makhluk
sosial. Dalam tatanan ini, babad merupakan kepaduan
antara ontologis dan kosmologis. Oleh karena itu,
diperlukan usaha
pemahaman konfrehensif, baik terhadap manusia, dunia,
maupun Tuhan
dalam satu keseluruhan konseptual yang koheren. Hal ini
tentu memaksa
pikiran untuk meraih sampai ke inti paling murni yang
tersembunyi dalam
struktur-struktur pengalaman manusia (leluhur masa lalu).
Akan menjadi
sangat baik apabila keturunan suatu klien mampu melakukan
pemahaman
seperti itu tentang babad sehingga tumbuh kesadaran yang
terreflaksikan
dalam bentuk pelaksanaan dharma masing-masing (dharma
agama dan
dharma negara) meniru jejak para leluhur itu, kita
mesti tetap dalam
kesadaran bahwa babad adalah produk masa lampau yang
diberi makna pada
masa kini. Artinya, sangat diperlukan kepekaan terhadap
situasi dan kondisi
zaman pada saat pembacaan. Apabila keturunan suatu klien
telah mampu
menjalankan kewajibannya dengan baik, maka mereka akan
menikmati
haknya dengan baik. Dalam rangka inilah kerap kali terjadi
kesalahpahaman
dalam menafsirkan babad. Yang menjadi horison harapan
adalah hak dan
melupakan kewajiban yang diamanatkan oleh leluhur. Oleh karena
itu sering
terjadi konflik, baik internal maupun eksternal.
Babad juga berfungsi sebagai inspirasi seni. Cabang seni
lain,
seperti seni pertunjukan, seni rupa, seni patung, bahkan
genre sastra lainnya
(kidung, geguritan) kerapkali mengambil sumber pada teks
babad. Namun hal
penting yang perlu diperhatikan dalam memilih dan
mengangkat babad
sebagai sumber inspirasi atau sumber lakon seni
pertunjukan adalah adanya
keseimbangan yang mampu menunjukkan ciri khas babad yang
membedakannya dengan teks-teks yang lain. Ciri khas
tersebut antara lain
berupa legitimasi, genealogi, simbolisme, hagiografi,
mitologi, dan sugesti.
***
DWIJENDRA TATTWA
Om ksantawiya ta sang hulun, tan
kawrateng capa tulah, mangasta wa
Danghyang mangke, Danghyang
Dwijendra sinuhun, nganugraha tatwa
kwruh, tatwa gama Hindu Bali, weda
mantra tembang kidung, solah bawa
tatacara, lawan pancayajna kabeh,
Dewa yajneka maka di, gumawe
treptining kahyun, raharja
jiwatmaningong, mogha Danghyang
tulus asung, mangacraya risang hulun,
sidharekang don, swa nagara trpti
winong.
Artinya :
Ya Tuhan, ampunilah kami, semoga
tidak tertimpa kutuk dan kualat, karena
kami kini memuja Dang Hyang
Dwijendra yang merupakan guru suci,
yang menganu-gerahkan ajaran ilmu
pengetahuan suci, Ajaran Ketuhanan
Hindu Bali, Weda Mantra dan
nyanyian-nyanyian tingkah laku
peradaban hidup, dan lima yadnya,
seperti Dewa Yadnya, yang membuat
ketentraman batin, selamat sentosa, jiwa
kami, semoga roh suci Dang Hyang
tetap belas kasihan, membantu kami,
berhasillah cita-cita kami, negara kami
selamat sejahtera diselenggarakan.
(1) DAHA
Tersebutlah seorang keturunan Brahmana (Brahmana wangsa)
bernama Nirartha adik dari Dang Hyang Angsoka, putra dari
dang Hyang
Asmaranatha. Ketika Sang Nirartha sedang muda jejaka
beliau mengambil
istri, di Daha, putri dari Dang Hyang Panawaran yaitu
golongan keturunan
Bregu di geria Mas Daha bernama Ida Istri Mas.
Setelah bersuami istri, Sang Nirartha dilantik (didiksa)
oleh Dang
Hyang Panawaran menjadi pendeta (Brahmana Janma)
diberi gelar Dang
Hyang Nirartha. Dari perkawinan ini Dang Hyang
Nirartha mendapat dua
orang putra-putri, yang sulung putri diberi nama Ida Ayu
Swabhawa alias
Hyangning Salaga (yang berarti dewanya kuncup bunga
melur) sebagai nama
sanjungan karena cantik jelita rupa dan perawakannya serta
pula ahli tentang
ajaran batin. Adiknya seorang putra diberi nama Ida Kulwan
(artinya kawuh
atau barat) dan diberi nama sanjungan Wiraga Sandhi
yang berarti kuntum
bunga gambir, karena tampan dan gagah perawakannya.
(2) PASURUAN
Sementara itu kehidupan masyarakat di Jawa sangat kacau
balau,
karena di sana-sini terjadi perkelahian-perkelahian dan
pertempuranpertempuran,
penumpasan-penumpasan yang sangat mengerikan dan
menyedihkan di antara orang-orang Jawa yang telah masuk
agama Islam
dengan orang-orang Jawa yang masih taat mempertahankan
agama lamanya
(sesungguhnya agama lama yaitu agama warisan leluhurnya
dengan agama
baru yaitu agama Islam sama saja hakikat tujuannya. Yang
berbeda adalah
cara-caranya, bahasa yang dipergunakan dan upakara, upacaranya,
serta tata
tertib pergaulan hidupnya). Akhirnya ‘kalah’ agama lama
dengan Islam. Oleh
karena itu orang-orang Jawa yang masih taat dengan agama
lamanya yaitu
agama yang diwariskan oleh leluhurnya, terutama
orang-orang Majapahit,
banyak pindah antara lain ke Pasuruan, ke pegunungan
Tengger, ke
Brambangan (Banyuwangi), dan ada yang menyeberang ke Bali. Ketika itulah
Dang Hyang Nirartha turut pindah dari Daha ke Pasuruan
disertai oleh dua
orang putra-putrinya, sedang istrinya tidak disebutkan
turut ke Pasuruan.
Setelah berselang beberapa tahun lamanya di Pasuruan, maka
Dang
Hyang Nirartha mengambil istri pula, yaitu seorang wanita
yang terhitung
saudara sepupu olehnya, putri dari Dang Hyang Panawasikan
bernama Ida Istri
Pasuruan, dengan nama sanjungan disebut Diah sanggawati
(seorang wanita
yang sangat menarik dalam pertemuan) karena cantiknya.
Perkawinan ini
menghasilkan dua orang putra laki-laki, yaitu yang sulung
diberi nama Ida
Wayahan Lor atau Manuaba. Manuaba (mulanya
Manukabha) berarti burung
yang sangat indah karena tampan dan indah raut roman muka
dan bentuk
raganya. Adiknya bernama Ida Wiyatan atau Ida Wetan
berarti fajar
menyingsing.
(3) BRAMBANGAN (BANYUWANGI)
Kemudian Dang Hyang Dwijendra pindah pula dari Pasuruan ke
Brambangan (banyuwangi) disertai oleh empat orang
putra-putrinya namun
istrinya tidak disebutkan turut. Tiada beberapa lama
antaranya Dang Hyang
Nirartha mengambil istri di sana yaitu adik dari Sri Aji Juru-Raja
Brambangan
bernama Sri Patni Kaniten yang sungguh-sungguh cantik molek
rupanya
sehingga terkenal dengan sebutan ‘jempyaning ulangun’,
yaitu sebagai obat
penawar jampi orang yang kena penyakit birahi asmara. Beliau itu turunan
raja-raja (dalem) dan turunan Brahmana, terhitung buyut
dari Dang Hyang
Kresna Kepakisan di Majapahit, putri dari raja Brambangan
kedua. Saudara
adik dari raja Brambangan ketiga yang menjadi raja ketika
itu, tegasnya
bersaudara kumpi sepupu Dang Hyang Nirartha kepada Sri
Patni Kaniten.
Perkawinan ini menghasilkan tiga orang anak, seorang putri
dan dua
orang putra. Yang sulung seorang putri bernama Ida Rahi
Istri rupanya cantik
dan pandai dalam ilmu kebatinan; yang kedua bernama Ida
Putu Wetan atau
Telaga atau disebut juga Ida Ender (yang berarti
ugal-ugalan) karena terkenal
pandainya, kesaktiannya, dan ahli ilmu gaib. Banyak
tulisan buah tangannya.
Yang bungsu bernama Ida Nyoman Kaniten (yang berarti
tenag dan disiplin
air).
(4) MPULAKI / DALEM MELANTING
setelah beberapa tahun lamanya Dang Hyang Nirartha
bertempat
tinggal di Brambangan, maka terjadi suatu hal yang
menyebabkan tidak baik
hubungan Dang Hyang Nirartha terhadap Raja Sri Aji Juru,
karena raja
mengandung benci dan murka kepada Mpu Dang Hyang. Mpu Dang
Hyang
didakwa oleh raja memasang guna-guna disebabkan oleh
keringat Dang Hyang
Nirartha harum sebagai minyak mawar. Tiap-tiap orang turut
berdekatan
dengan beliau turut harum tanpa memakai minyak wangi. Adik
wanita Sri
Dalem Juru mengandung cinta birahi kepada Mpu Dang Hyang,
sebab itu
Dang Hyang Nirartha berusaha pindah dari Brambangan,
hendak menyeberang
ke Bali bersama tujuh
orang putra-putrinya dan istrinya Sri Patni Kaniten.
Pada suatu hari menyeberanglah sang pendeta bersama anak
istrinya
mengarungi laut selat Bali
yang disebut Segara Rupek. Sang pendeta sendiri
waktu menyeberang mempergunakan sebuah labu pahit (waluh
pait) bekas
kele kepunyaan orang desa Mejaya. Kaki-tangannya
dipergunakan sebagai
dayung dan kemudi. Penyeberangan selamat tidak mendapat
rintangan suatu
apa. Dang Hyang Nirartha seorang pendeta yang tajam
perasaan intuisinya itu
mengerti bahwa penyeberangannya itu selamat atas bantuan
sebuah waluh pait
dan kekuasaan Tuhan. Sebab itu beliau bersumpah dalam
lautan tidak akan
mengganggu hidupnya waluh pahit seumur hidupnya sampai
pada turunanturunannya.
Adapun anak-istrinya menyeberang menumpang jukung (perahu)
bocor yang disumbat dengan daun waluh pahit, juga
kepunyaan orang desa
Mejaya.
Tiada berapa lama antaranya karena mendapat tiupan angin
barat
yang baik, maka beliau tiba di pantai pulau Bali bagian barat. Sang Pendeta
telah sampai terlebih dahulu, menantikan anak-istrinya
sambil menggembala
sapi. Di tempat itu lama-kelamaan dibangun sebuah Pura
kecil lalu dinamai
Purancak. Atas petunjuk orang-orang gembala itu, sang
pendeta bersama anakistrinya
berangkat berjalan ke arah timur memasuki hutan belukar.
Di tengan
perjalanan, rombongan sang Pendeta agak ragu-ragu. Jalan
kecil (lisikan;bali)
yang mana harus dituruti, karena banyak cabangnya.
Tiba-tiba muncul seekor
kera di tengah jalan. Ia berjalan lebih dahulu sambil
bersuara ‘grok-krok’
seraya melompat-lompat di atas dahan-dahan pohon sebagai
menunjuk jalan.
San pendeta berkata kepada kera itu :
“Hai kera, semoga turun-turunanku kelak tidak boleh
menyakiti
kera dengan dalih memelihara”, demikian pastu
beliau terus berjalan ke arah
timur bersama anak-istrinya.
Tiba-tiba bertemu dengan naga yang besar terbuka mulutnya
sangat
lebar dengan rupa dan bentuk yang dahsyat mengerikan.
Putra-putri dan
istrinya terperanjat hebat, nyaris lari cepat-cepat, namun
sang pendeta dengan
wajah yang tenang masuk ke dalam mulut naga itu. Setibanya
beliau di dalam
perut naga itu, dijumpainya sebuah telaga yang berisi
bunga tunjung (teratai)
tiga warna yaitu tunjung yang di pinggir timur berwarna
putih, yang di pinggir
selatan merah, yang di pinggir utara hitam. Ketiga kuntum
tunjung itu dipetik
oleh sang pendeta, yang merah dikenakan di telinga kanan,
yang hitam di atas
telinga kiri, yang putih dipegang dengan tangannya, lalu
keluar dari perut naga
itu seraya mengucapkan Weda Mantra “Hayu Werddhi”.
Naga itu musnah
dengan tidak meninggalkan bekas. Rupa sang pendeta
terlihat oleh istri dan
putra-putrinya berwarna merah dan hitam, kemudian berubah
berwarna mas.
Melihat keadaan yang demikian, maka putra-putri dan
istrinya diserang oleh
parasaan takut yang amat sangat, sehingga tidak dapat
menahan dirinya, lalu
lari tunggang-langgang masuk ke dalam hutan tidak tentu
tujuannya, masingmasing
membawa dirinya sendiri.
Dang Hyang Nirartha setibanya di luar tercengang
terperanjat
karena anak-istrinya tidak ada lagi. Dengan perasaan yang
sangat cemas sang
pendeta tergopoh-gopoh mencarinya ke dalam hutan belukar
yang rapat dan
padat tumbuhannya, tambahan pula hari telah mulai
menggelap. Untung tidak
jauh dari tempatnya semula didapati istrinya seorang diri
duduk bersimpuh
terengah-engah dalam kepayahan, pucat-pasi, lesu-letih
tidak dapat berjalan
lagi.
“Wahai Ketut,” kata Dang Hyang Nirartha. “Kemana
larinya anakanak
kita?”
“Ampun sang Pendeta, hamba tidak tahu kemana larinya
anak-anak
kita, karea mereka lari tak berketentuan dan berpencar
masing-masing
dengan kehendaknya sendiri-sendiri. Hamba tidak dapat
mengejar mereka
karena lesu kepayahan,” jawab istri beliau.
Sang pendeta merasa cemas dan ada pula getaran perasaan
yang
tidak enak menyelinap dalam hatinya yang seakan-akan
membisikkan ada
sesuatu bahaya yang sedang menimpa putrinya.
Setelah istrinya reda sedikit payahnya, lalu bangun
bersama sang
pendeta berjalan perlahan-lahan mencari dan mengumpulkan
putra-putrinya di
dalam hutan yang gelap diselimuti malam itu. Semalam-malam
itu sang
pendeta terus berjalan bersama istrinya sambil
memanggil-manggil nama
putra-putrinya itu. Karena suara panggilan itu maka
lama-kelamaan dapat
dikumpulkan putra-putrinya seorang demi seorang dan
akhirnya kurang lagi
seorang, yaitu putrinya yang tertua, Ida Ayu Swabhawa
belum diketemukan.
Mpu Dang Hyang disertai anak dan istrinya terus mencari
Ida Ayu Swabhawa
sambil memanggil-manggil namanya. Setelah lama dicari,
ditemuinya telah
berbadan halus (astral). Tampat rupanya pucat lesu.
“Apa sebabnya kau lari sampai sejauh ini, anakku?” ’tanya
Dang
Hyang Nirartha.
“Ampunilah Mpu Dang Hyang...,” jawab Ida Ayu
Swabhawa.
“Sebabnya hamba lari sejauh ini, karena diserang oleh
rasa takut yang sangat
hebat tatkala melihat rupa ayahanda ketika baru keluar
dari mulut naga,–
sebentar merah, sebentar hitam. Hamba lari dan terus
dibuntuti dan dkejar
oleh rasa takut itu, sehingga lari hamba.....kian lama
kian cepat
menghabiskan tenaga......sampai ke luar hutan, memasuki
daerah desa,
lalu....,” baru sampai sekian katanya lalu Ida Ayu
Swabhawa terdiam. Wajah
mukanya tampak sedih pedih kemudian berkata lagi, “Mpu
Dang
Hyang,....hamba malu hidup sebagai manusia
lagi...karena merasa cemar diri,
penuh dosa. Kasihanilah hamba, ajarilah sungguh-sungguh
supaya hamba
bersih dari dosa, tidak dilihat orang. Bisa menjadi
dewa di surga, tidak lagi
menjadi manusia....”
Dang Hyang Nirartha terharu hatinya mendengarkan, kasihan
kepada putrinya dan murka kepada orang-orang desa
(Pegametan) itu. “janga
khawatir, anakku. Ayah akan sedia mengajarkanmu suatu
ilmu rahasia, agar
anakku terlepas dari segala dosa dan dapat duduk
sebagai dewa.”
Lalu Ida Ayu Swabhawa diajar suatu ilmu rahasia
kaparamarthan
yang berkuasa melepaskan segala dosa. Setelah selesai
ajarannya maka Ida
Ayu Swabhawa menggaib, suci dari dosa, menjadi dewi yang
bernama Dewi
(Bhatari) Melanting, yang akan menjadi junjungan
persembahan orang-orang
desa di sana.
Adapun ketika sang pendeta mengajar ilmu rahasia kepada
putrinya, didengar pula oleh seekor cacing kalung, maka secara
tiba-tiba
musnah dosa cacaing itu, lalu menjelma menjadi seorang
manusia perempuan
yang memohon agar diperkenankan menghamba kepada Mpu Dang
Hyang
dengan menyembah kakinya sang pendeta dan mengajukan
permohonan
tersebut, sebagai pembalasan jasa beliau memusnahkan
dosanya dan ia bisa
kembali menjadi manusia. Sang pendeta menerima
permohonannya, lalu diberi
nama Ni Berit.
Ketika itu istri Dang Hyang Nirartha, Sri Patni Kaniten
yang telah
diberi gelar Empu Istri Ketut, dalam keadaan payah
berdatang sembanh
kepada sang pendeta.
“Mpu Dang Hyang, hamba tidak kuasa berjalan lagi.
Rasanya ajar
hamba akan datang. Izinkanlah hamba turut sampai di
sini dan ajarilah juga
hamba ilmu yang diberikan kepada putri Ida Ayu
Swabhawa, agar hamba
terlepas dari dosa dan papa kembali menjadi dewa.”
Dang Hyand Dwijendra menjawab, “Baiklah, adikku. Diam
di sini
saja bersama-sama putri kita Ni Swabhawa. Ia sudah suci
menjadi Bhatari
Dalem Melanting dan engkau boleh menjadi Bhatari Dalem
Ketut yang akan
dijunjung disembah oleh orang-orang di sini di desa
bersama orang-orangnya
yang ada di sini yang akan kupralinakan (hanguskan)
agar tidak kelihatan
oleh manusia biasa. Semuanya akan menjadi orang halus,
orang Sumedang.
Dan daerah desa ini kemudian bernama Mpulaki,” kata
Dang Hyang.
Setelah mengajarkan ilmu rahasia kepada istrinya maka Mpu
Dang
Hyang mengeluarkan agni rahasia (api gaib) menghanguskan
seluruh desa dan
penghuninya sekalian.
(5) GADING WANI
Kemudian Dang Hyang Nirartha bersama 6 orang
putra-putrinya
berangkat meneruskan perjalanan ke timur. Lalu mereka tiba
di sebuah desa
bernama GADING WANI. Kebetulan waktu itu orang-orangdesa
diserang
penyakit sampar (grubug; Bali).
Bendesa (Kepala Desa) Gading Wani tatkala
mengetahui sang pendeta datang lalu segera menjemput di
tengah jalan, duduk
bersila menyembah.
“Mpu Dang Hyang, kami mengucapkan selamat datang. Bahwa
sang pendeta telah sudi datang ke tempat kami yang
sedang ditimpa penyakit
sampar. Setiap hari ada saja orang-orang kami yang
meninggal mendadak.
Kami mohon urip (hidup) dengan hormat. Sudilah kiranya
Mpu Dang Hyang
memberikan kali obat agar kami sembuh dan wabah ini
hilang,” harapnya.
Demikian katanya seraya berlinang-linang air matanya. Dang
Hyang Nirartha terharu dan belas kasihan mendengarkannya.
Seketika Ki
Bendesa disuruh mengambil air bersih ditempatkan di
sangku, periuk atau
sibuh. Setelah diberi mantram oleh sang pendeta, lalu
disuruh memercikkan
kepada yang sakit dan meminumnya. Mpu Dang Hyang beserta
putra-putrinya
dihaturkan pesanggrahan tempat beristirahat dan
dipersiapkan hidangan berupa
santapan dan buah-buahan. Orang yang sakit setelah
diperciki dan meminum
air tirtha dari Mpu Dang Hyang seketika itu sehat bugar
kembali.
Pada sore harinya (sandhyakala) sang pendeta memerintahkan
orang-orang meletakkan ganten (kunyahan sirih) beliau itu
di empat penjuru
tepi desa untuk mengusir bhuta kala yang membuat penyakit.
Orang-orang
desa yang diberi perintah menyembah dan segera berjalan
melaksanakannya.
Memang benar-benar sang pendeta adalah orang yang sakti,
seketika itu orang
desa dapat membuktikan dan melihat bayangan bhuta kala itu
lari ke dalam
laut, rupanya beraneka ragam. Orang desa banyak yang turun
menyaksikan
pemandangan yang ajaib itu, dan semuanya heran terhadap
kesaktian sang
pendeta. Mulai ketika itu beliau diberi gelar PEDANDA
SAKTI WAWU
RAWUH (pendeta sakti yang baru datang). Yang pandai bahasa
Kawi
menyebut beliau DANG HYANG DWIJENDRA (raja guru agama).
Orang desa semuanya riang gembira. Tiap-tiap hari bergilir
menghaturkan santapan kehadapan sang pendeta dan
putra-putrinya serta
membuatkan pamereman (tempat tinggal) di desa Wani Tegeh.
Harapan orangorang
desa agar sang pendeta menetap di sana, tetapi sang pendeta keberatan
karena masih akan meneruskan perjalanan ke timur. Kemudian
Ki Bendesa
Gading Wani mohon berguru dan mebersih (mediksa) menjadi
pendeta. Sang
pendeta berkenan meluluskan permohonannya agar ada orang
tua pembimbing
agama di sana.
Ki Bendesa diajar ilmu kebatinan dan ketuhanan.
Selanjutnya
dibersihkan (didiksa) menjadi pendeta (Dukuh) Gading Wani.
Setelah itu
diberi suatu panugrahan dicantumkan dalam “Kidung Sebun
Bangkung” . Ki
Bendesa Gading Wani setelahnya dilantik menjadi pendeta
(Dukuh)
menghaturkan anaknya wanita cantik kepada Dang Hyang
Dwijendra yang
bernama Ni Jro Patapan sebagai pangguru yoga, yaitu tanda
bakti berguru
untuk menjadi pelayan Mpu Dang Hyang Dwijendra dalam
mengatur sesajensesajen
berama Ni Berit. Dengan senang hati Dang Hyang Dwijendra
menerimanya.
(6) PURA RESI DESA MUNDEH
Entah berapa waktu lamanya Pedanda Sakti Wawu Rawuh
berasrama di desa Wani Tegeh. Maka tersebarlah beritanya
sampai ke desa
Mas, Gianyar, yaitu sanak saudaranya Ki Bendesa Gading
Wani yang
bertempat di Mas, dan sanak keluarganya di desa Mundeh,
Kaba-Kaba.
Pada suatu hari Ki Pangeran Mas mengadakan persiapan untuk
pergi ke dea Wani Tegeh atau Gading Wani untuk memberitahu
Dang Hyang
agar sudi datang ke Mas. Sang pendeta menyetujui. Lalu
berangkatlah sang
pendeta bersama putra-putrinya dari desa Wani Tegeh menuju
desa Mas.
Setelah tiba di desa Mundeh , beliau dijemput oleh Ki
Dendesa Mundeh di
tengah jalan dengan suatu maksud mohon berguru pada sang
pendeta, tetapi
ditolak oleh sang pendeta karena permohonannya itu
dilakukan ketika sedang
ada di jalan. Tetapi oleh karena amat khidmat baktinya Ki
Bendesa menjemput
beliau, maka ada juga anugerahnya, yaitu debu tapak kaki
beliau ketika beliau
berdiri berhenti di tempat itu, laksana suatu lingga yang
harus dihormati oleh
orang-orang mundeh sampai kemudian. Ki Bendesa Mundeh amat
senang
hatinya menerima anugrah pendeta itu. Di tempat itu lambat
laun dibangun
sebuah pura bernama PURA RESI atau PURA GRIA KAWITAN RESI.
(7) MANGA PURI (MANGUI)
Dari desa Mundeh sang pendeta berangkat ke arah timur
laut. Di
tengah jalan beliau bertemu dengan sebuah aliran sungai.
Di pinggi sebelah
baratnya ada sebuah mata air. Airnya sangat suci dan
sejuk. Di pinggirannya
terhias dengan bunga-bungaan yang sedang mekar. Menebarkan
bau harum
yang menyedapkan penciuman hidung. Bunga rampai yang pupus
gugur dari
kuntumnya menutupi tanah seakan-akan kasur tilam sari,
sungguh-sungguh
menggugah rasa indah nikmat mesra membatin. Sang pendeta
berhenti di
tempat itu, dengan tenang melakukan yoga semadhi disertai
pujastuti dan japa
mantra utama. Dan di sekeliling beliau itu disebut
Mangopuri (Mangui).
(8) PURA SADA
Tidak lama sang pendeta ada di sana, lalu didengar oleh Ki Bendesa
Kapal turunan dari Ki Patih Wulung, tentang sang pendeta
ada di Mangopuri
(Mangwi). Maka cepat-cepat Ki Bendesa Kapal datang
menghadap Mpu Dang
Hyang untuk menghaturi agar beliau berkenan singgah di sana serta
menjelaskan bahwa beliau membawa surat pemberian Krian Patih Gajah Mada
yang berisi perintah supaya memperbaiki pura Kahyangan
yang ada di Bali,
dan pada waktu itu kebetulan ada karya pujawali (odalan)
di Pura Sada Kapal.
Demikian isi permohonan Ki Bendesa Kapal. Sang pendeta
memenuhi
permohonannya dengan senang hati dan berangkat saat itu
juga.
Tiada diceritakan bagaimana beliau di tengah jalan.
Akhirnya
tibalah sang pendeta di dea Kapal lalu masuk ke dalam pura
serta duduk di
balai piasan di sebelah barat.
“Kaki Arya,” panggil Dang Hyang kepada Ki Bendesa.
“Siapakah
yang akan menyelesaikan karya pujawali Bhatara di
parahyangan ini?”
“Singgih Mpu Dang Hyang,” jawab Ki Bendesa. “Tiada
lain Mpu
Guto kami aturi di gunung Agung, untuk menyelesaikan
karya pujawali ini.”
“Ki Arya,” panggil sang pendeta. “Ki Guto itu
adalah pelayanku
yang disangka pendeta Brahmana. Ia adalah penjelmaan
gandharwa yang
terkutuk dahulunya. Yang harus diselesaikan olehnya
segala caru yang kecil
dan untuk upacara selamatan sawah ladang, demikianlah
hak wewenangnya.”
Ujar sang pendeta.
Tidak lama antaranya maka datanglah rakyatnya yang diutus
pergi
ke gunung Agung mengaturi Ki Guto, memikul Ki Guto dengan
tandu
pegayotan serta berpayung agung dan langsung masuk ke
dalam parahyangan
pura Sada. Demi dilihat Dang Hyanh Dwijendra duduk di
balai piasan, maka
Ki Guto cepat-cepat turun dari tandu duduk bersimpuh di
hadapan sang
pendeta seraya mohon ampun atas kesalahan tingkah lakunya.
“Hai Guto, mulai sekarang kamu jangan menipu masyarakat
umum. Aku mengampuni kesalahanmu,” ucap sang
pandita.
Demikianlah kata sang pandita kepada Ki Guto, kemudian
menoleh
kepada Ki Bendesa.
“Kaki Arya, ketahuilah bahwa aku yang mengutus Ki Guto
pergi ke
Bali untuk menyelidiki Dalem Sri Watorenggong, telah
lama tidak muncul lagi
ke Jawa. Kini urungkan Ki Guto menyelesaikan upacara
pujawali di sini!”
perintah Dang Hyang. “Yang patut dihadapinya adalah
korban (caru)
terutama pada waktu tileming kesanga (bulan mati pada bulan
kesembilan
pada kalender Bali, sekitar bulan Maret-April),
anangluk mrana (pengusir
hama),
mebalik sumpah di sawah ladang, dan amugpug desti teluh tranjana
(menghalau sebangsa ilmu hitam). Itulah wewenangnya.
Jika ditugaskan
untuk pujawali persembahyangan Dewa di pura-pura, panas
kesakitan
masyarakat desa olehnya.”
Ki Guto dan Ki Bendesa menyembah berulang-ulang. Dang
Hyang
Dwijendra dihaturi memuja menyelesaikan upacara pujawali
di Pura Sada,
sedang Ki Gito disuruh memuja pada upacara korban
(pecaruan).
(9) DESA TUBAN
Setelah selesai upacara odalan di Pura Sada, maka sang
pendeta
bersama putra-putrinya dan 2 orang pelayannya pergi ke
arah selatan, tiba di
desa Tuban di daerah selatan Badung. Beliau dijemput oleh
orang-orang desa
Tuban. Semuanya dengan hormat dan tulus ikhlas
menghaturkan hidangan
santapan kepada sang pendeta dan putra-putrinya semua.
Sementara sang
pendeta diam di sana,
banyak ikan laut yang tertangkap. Itu adalah karena
kasidhian (kesaktiak) Pedanda Sakti Wawu Rawuh itu.
Demikian juga tanamtanaman
dan segala sesuatunya menjadi baik semuanya.
Pada suatu hari sang pendeta dan putra-putrinya dihaturi
hidangan
yang penuh dengan berbagai masakan ikan laut. Sang pendeta
bersama putraputrinya
dengan senang menikmati hidangan yang luar biasa itu.
Setelah
bersantap ada masih tersisa ikan separo. Setelah diberi
mantram oleh sang
pendeta lalu dilemparkan ke dalam laut, maka ikan itu
hidup kembali dan
diberi nama ikan tampak (telapak), oleh karena dagingnya
habis sebagian. Ikan
tampak itu diberi mantra suci oleh Dang Hyang Nirartha dan
diumumkan
kepada orang-orang yang ada di sana, apabila kemudian ada orang magawe
hayu (melaksanakan upacara untuk kesejahteraan), ikan itu
boleh digunakan
sebagai isi sesajen suci. Orang-orang desa Tuban yang
kebetulan ada di tempat
itu melihat dan menyaksikan keadaan yang sedemikian itu,
semuanya
tercengang, heran takjub dengan kesaktian sang pendeta
itu. Kemudian sang
pendeta mengajar dan menasihati orang-orang desa Tuban
membuat pukat
(bubu) tanpa umpan agar banyak mendapat ikan dengan cara
diam-diam.
(10) ARYA TEGEH KURI
Kurang lebih tujuh hari lamanya sang pendeta di desa
Tuban, maka
datang Kyayi Arya Tegeh Kuri menjemput sang pendeta
bersama putraputrinya
agar sudi simpang di puri beliau. Pada suatu ketika berangkatlah
sang
pendeta diiringkan oleh Kyayi Tegeh Kuri.
Setibanya di desa Buangan terpaksa beliau berhenti dalam
sebuah
parahyangan pura Batan Nyuh karena dihalangi oleh banjir
besar.
Banyak orang yang datang mengahadap dari sebelah timur
jalan
memalui jembatan gantung, semuanya menyembah serta memohon
pengalah
air oleh karena rumah-rumah mereka dilanda banjir. Sang
pendeta belas
kasihan kepada orang-orang yang kena bencana alam
kebanjiran itu. Lalu
beliau memberikan sepotong kayu anceng (tongkat) yang
telah dirajah Sang
Hyang Klar, disuruh agar dipancangkan di muara banjir itu.
Dengan tiba-tiba,
menggelombang naik air itu lalu bertolak lari ke barat
memutus jalan. Sangat
heran orang-orang yang melihat tentang kekuatan batin sang
pendeta demikian
itu. Orang-orang desa berdatangan menghaturkan buah-buahan
dan antapsantapan
lainnya. Tidak diceritakan lebih lanjut tentang sang
pendeta di tengah
jalan, akhirnya tiba di puri Arya Tegeh Kuri di Badung.
(11) DESA MAS
Setelah beberapa lama beristirahat di Badung, maka datang
Ki
Pangeran Mas menjemput Mpu Dang Hyanh diaturi pergi ke
desa Mas. Dang
Hyang Dwijendra bersama putra-putri dan dua orang pelayan
beliau pergi ke
desa Mas. Di sana
beliau dibuatkan Gria (rumah untuk para Brahmana) yang
baik, sehingga menetap sang pendeta , diam di desa Mas.
Lama-kelamaan Ki Pangeran Mas menghaturkan anaknya wanita
yang amat cantik. Putri Bendesa Gading Wani, yang dipakai
pelayan oleh sang
pendeta bersama Ni Berit, kini dipakai pelayan oleh
putrinya Pangeran Mas
yang bernama Sang Ayu Mas Genitir. Kemudian setelah itu
Pangeran Mas
dibersihkan (didiksa) oleh Mpu Dang Hyanh, menjadi pendeta
dan telah lama
paham tentang Agama, ilmu ketuhanan, dan ilmu batin.
Setahun telah berselang pertemuan suami-istri Dang Hyang
Nirartha
dengan Sang Istri Mas Genitir lalu melahirkan seorang
putra diberi nama Ida
Putu Kidul.
Dalam antara itu ada seorang pelayan Pangeran Mas bernama
Pan
Geleng menghaturkan sebuah pusuh (jantung pisang) pisang
batu yang berisi
gading mas asal tanamannya sendiri kepada Dang Hyang
Dwijendra.
Kata Dang Hyang waktu menerima pusuh pisang batu, “semoga
Pan Geleng kaya sampai seturun-turunannya kelak.”
(12) PERGAULAN HIDUP BRAHMANA
WANGSA
Diceritakan pada suatu hari sang pendeta memangcing di
taman,
berdiri di tengah telaga, kakinya beralas daun tunjung
(teratai), bisa
mengambang dan tidak tenggelam. Setelah banyak mendapat
ikan, sang
pendeta berhenti memancing, lalu mandi menyucikan diri,
kemudian
melakukan Surya Sewana. Setelah selesai, sang pendeta
dihaturi hidangan
santapan. Setelah beliau selesai bersantap maka keempat
putranya disuruh
meneruskan menkmati. Empat orang putranya yaitu Ida
Putu Kemenuh
(Daha), Ida Putu Manuaba (Pasuruan), Ida Putu Telaga
(Brambangan), dan
Ida Putu Mas (desa Mas), yang yang biasa disebut
Kulwan, Lor, Wetan, dan
Kidul. Sedang para putranya itu menikmati hidangan maka
sang pendeta
memberikan nasihat.
“Anakku semuanya, engkau boleh saling cuntakain sampai
turunturunanmu
kemudian. Saling cuntakain artinya tenggang rasa,
gotongroyong,
bela-membela, dalam keadaan suka-duka hidup di dunia.
Apabila
seseorang berduka maka semuanya harus berbelasungkawa.
Tentang
perkawinan boleh ambil-mengambil. Tiap orang yang lebih
tua dan pandai
boleh dipakai guru (nabe). Jika kemudian engkau lupa
akan ikatan
bersaudara, semuga salah satu di antaranya yang
melanggar amanatku ini
turun da surut derajat kewibawaannya.” Demikian
amanat sang pendeta.
Lama-kelamaan terjadi hal yang agak ganjil mungkinkarena
kodrat
Tuhan, yaitu Dang Hyang menjamah pelayan Sang Istri Ayu
Mas anak dari Ki
Bendesa Gading Wani yang bernama Jro Patapan, akhirnya
berputra seorang
laki-laki bernama Ida Wayan Sangsi atau Ida Patapan.
Lain dari itu, pelayan yang bernama Ni Berit pada suatu
malam
dijumpai sedang mengeluarkan air kencing sebagai air
pancuran sehingga
menembus tanah sampai sehasta dalamnya, lalu dijamah juga
oleh sang
pendeta, kemudian melahirkan seorang putra laki-laki
diberi nama Ida
Wayahan Tamesi atau Ida Bindu.
Diceritakan setelah dua orang putranya terakhir sama-sama
besar,
sang pendeta pagi-pagi pergi pula ke suatu telaga di taman
untuk memancing
ikan, berdiri di tengah telaga beralas daun tunjung,
tetapi tetapi daun tunjung
itu tenggelan sepergelangan kaki sang pendeta, dan
terlihat oleh beliau ikan
kakul (siput) yang telah disantap dagingnya, sisanya
dilemparkan ke dalam
telaga, lalu hidup kembali. Dalam keadaan seperti itu
menyelinap suatu
perasaan ke dalam hati sanubarinya, bahwa dua orang
putranya yang terakhir
ini akan surut perbawanya. Setelah selesai memancing lalu
beliau bersiram
menyucikan diri, kemudian pulang dan masuk ke tempat
pemujaan, lalu
melakukan pemujaan seperti biasa.
Setelah keluar dari tempat memuja maka dihaturi hidangan
untuk
bersantap. Setelah sang pendeta habis bersantap maka
dipanggil putranya
keenam orang untuk makan bersama-sama dalam satu hidangan.
Putraputranya
berenam telah siap untuk makan bersama (magibug) satu
hidangan,
demi masing-masing telah menggenggam nasi kepelan di
tangannya, maka
tiap-tiap alat makan itu berkontak berkelahi dengan
kawan-kawnnya. Ada
yang bertarung, ada yang jatuh, ada yang berbenturan di
dulang, yang kalah
membalas pula dan lain sebagainya sehingga alat-alat makan
itu berantakan.
Hal itu dilihat oleh sang pendeta, lalu orang disuruh
membawakan lagi
makanan dua hidangan yang berlain-lainan. Setelah siap,
maka Ida Wayahan
Sangsi (Ida Patapan) makan menjadi satu hidangan,
dikumpulkan dengan Ida
Bindu. Sedang putranya empat orang lagi makan menjadi satu
hidangan.
Dengan keadaan yang demikian maka tentramlah keadaan
masing-masing,
asyik menikmati hidangan dengan sepuas-puasnya tidak ada
suatu sengketa
pun yang terjadi.
Sementara sang pendeta memberikan nasihat, “Anakku
sekalian,
dengarkanlah nasihatku baik-baik. Anakku Putu Sangsi
dan Putu Tamesi
dalam kehidupanmu turun-temurun boleh sembah-kasembah
dan boleh ambilmengambil
istri, tetapi dalam turun-turunannya anak-anakku empat
orang
lagi, (yaitu Putu Kulwan, Putu Lor/Manuaba, Putu Wetan,
dan Putu Mas)
tidak boleh. Tetapi engkau Putu Sangsi dan Putu Bindu
seturun-turunanmu
boleh menghaturkan sembah, menghaturkan putri dan
berguru kepada
saudara-saudaramu yang empat orang ini dan
turun-turunannya, sebab
ibumu adalah orang-orang pelayan. Demikianlah harus
diingat benar-benar
amanatku ini. Siapa yang melanggar akan mendapat papa,
surut wibawa dan
wangsanya.” Demikian amanat Dang Hyang Dwijendra.
(13) KI GUSTI PANYARIKAN DAUH BALEAGUNG
Lambat laun tersebar berita Dang Hyang sampai Ke Gelgel,
bahwasanya ada seorang pendeta sakti baru datang disebut
oleh umum
Pedanda Sakti Wawu Rawuh, saktinya hampir sama dengan
pendeta Loh
Gawe. Sebab itu Dalem Watu Renggong (Raya Bali saat itu)
sangat besar
hasratnya untuk memanggil pendeta sakti itu untuk
dijadikan gurunya. Pada
suatu hari diutus Ki Gusti Penyarikan Dauh Baleagung pergi
ke desa Mas
untuk menghaturi Dang Hyang agar datang ke Gelgel dan
diharapkan datang
esok harinya.
Pada hari yang baik berangkatlah Gusti Penyarikan
mengendarai
kuda putih, berpakaian putih, hanya giginya saja yang
hitam. Setibanya di
desa Mas, dilihatnya Ki Bendesa Mas sedang menghadap sang
pendeta di
sebuah pendopo kecil, maka segera beliau turun dari
kendaraan.
KI Gusti Penyarikan segera duduk menghadap sang pendeta
seraya
memperkenalkan diri dan mempermaklumkan kedatangannya itu.
Setelah
banyak kata-katanya menceritakan keadaan di Bali kemudian timbul
pikirannya hendak menyelami pengetahuan sang pendeta
tentang ajaran
pemerintahan negara.
Setelah sang pendeta menjelaskan tentang tata negara,
Kyayi
Panyarikan merasa sangat beruntung dalam hatinya, sebagai
kodrat Tuhan
mempertemukannya dengan seorang pendeta sakti dan ahli
dalam bidang
agama. Lalu mengajukan permohonan agar ia diangkat sebagai
muridnya,
berguru kepada sang pendeta, belajar rahasia ilmu
ketuhanan dan akhirnya
memohon dibersihkan dan dinobatkan sebagai Bagawan, pendeta
ksatria.
Sang pendeta berkekan mengabulkan permohonan Ki Gusti,
pada
malam harinya sang pendeta mengajarkan rahasia ilmu
ketuhanan dengan
yoga samadhinya dengan Weda mantra yang penting-penting.
Ki Gustu memang sudah mempunyai dasar dan bakat yang baik
tentang ilmu ketuhanan, karena usaha dan latihannya
sendiri. Sebab itu ajaran
sang pendeta cepat dapat ditampung dan dipenuhinya. Besok
paginya
kebetulan hari baik, beliau didiksa oleh sang pendeta
menjadi Bhagawan.
Setelah itu Mpu Dang Hyang lanjut memberikan nasihat dan
ajaran penting
kepada muridnya, sehingga kyayi Panyarikan terlambat
sehari kembali ke
Gelgel mengiring Dang Hyang Nirartha.
(14) PURA SILAYUKTI, TELUK PADANG
Pagi-pagi setelah dua malam lewat, maka Kyayi Penyarikan
berangkat mengiring Pedanda Sakti Wawu Rawuh ke Gelgel
sama-sama
mengendarai kuda. Tiada diceritakan lagi di tengah jalan
maka tibalah beliau
di Gelgel. Tetapi sayang Dalem Watorenggong telah
berangkat pagi-pagi ke
teluk Padangbai untuk berburu binatang dan menangkap ikan
diiringi oleh
para mantri punggawa dan rakyat sangat banyaknya. Oleh
karena demikian
halnya maka terpaksa Ki Gusti Penyarikan mengiring Dang
Hyang ke Teluk
Padang.
Setibanya di Padang, sang surya telah lewat tengah hari,
para
punggawa mantri telah sama-sama mulai mencari pondoknya
masing-masing.
Kyayi Penyarikan mengiring Dang Hyang menuju pesanggrahan
Dalem.
Dalem Waturenggong agak murka kepada Ki Penyarikan,
katanya,
“Kenapa sampai lewat janji baru datang?! Sebagai bukan
orang tua.
Penyarikan, antarkan Mpu Dang Hyang ke parahyangan Mpu
Kuturan!”
Setelah Dang Hyanh Nirartha beristirahat, datang Dalem
Waturenggong menghadap bersama beberapa orang pelayan
membawa
santapan seraya berkata, “Selamat datang, Mpu,
maafkanlah keadaan tempat
yang tidak sepertinya ini, dan silakan menikmati
santapan ala kadarnya.”
Sang pendeta mengucapkan banyak terima kasih, lalu
berkata,
“Tuanku, maafkanlah Ki Penyarikan agak terlambat pada
janjinya, sebab
beliau ingin berguru dan mempelajari ilmu ketuhanan dan
minta didiksa
menjadi Bhagawan. Kami sedia melakukannya. Jangan
tuanku kecewa karena
belakangan, sebab soal agama tidak mengenal carikan
atau sisa-sisa, karena
agama adalah soal ketuhanan yang suci,” demikianlah
kata sang pendeta.
“tuanku, apakah hari ini tuan mendapatkan banyak ikan?”
“Wah, kami benar-benar sial, tidak dapat seekorpun!” jawab
Dalem Waturenggong.
“Tuanku, cobalah sekarang perintahkan rakyat tuanku
menangkap
ikan dan berburu binatang, kiranya banyak berhasil,” kata
sang Pendeta.
Dalem menurut sang pendeta, memerintahkan rakyatnya
mengulangi menangkap ikan dan berburu. Sebelum rakyat
masuk ke laut akan
menangkap ikan dan ke hutan akan berburu binatang, sang
pendeta keluar dan
berdiri di halaman memandang ke laut memanggil ikan dan
memandang ke
hutan memanggil binatang. Tidak berselang lama banyaklah
ikan dan binatang
tertangkap oleh rakyat. Dalem dan sang pendeta sangat
gembira melihatnya.
Setelah hari sore semua rakyat penangkap ikan dan pemburu
binatang telah
kembali ke tempatnya dengan membawa hasil yang sangat
banyak, dan Sri Aji
Bali dan sang pendeta
kembali lagi ke pesanggrahan. Pada malam harinya
sampai larut malam Dalem Waturenggong bercakap-cakap
dengan sang
pendeta tentang agama. Tetapi soal mebersih (mediksa)
Dalem masih berfikir.
Besok paginya Dalem kembali ke Gelgel diiringi oleh
seluruh
menteri, punggawa, dan rakyat. Dalem duduk dalam satu
pedati yang ditarik
kuda bersama sang pendeta. Setibanya di kali Unda, jalan
pedati berhenti
karena air sungai sedang naik, banjir karena hujan di
pegunungan.
Kemudian sang pendeta membisikkan ajaran Aswa-Siksa,
setelah
Dalem mengerti dan paham tentang ajaran itu, terutama
mantramnya, lalu
diambil oleh beliau sebuah cambuk dan dilecutkannya dengan
keras, maka
ujungnya keluar api sedang pangkalnya keluar air amrta.
Dalam keadaan
seperti itu kuda mendobrak air sungai, kakinya tenggelam
sepergelangannya
dan akhirnya selamat ke tepi sungai di barat. Semua yang
melihat sangat
heran.
Tiada diceritakan lebih lanjut betapa iring-iringan raja Bali di
tengah jalan, maka tibalah di istana Gelgel. Sang pendeta
ditempatkan di
tempat yang suci dengan menikmati hidangan yang
secukupnya. Dalem pada
kesempatan ini menceritakan sikapnya, katanya, “Mpu
Dang Hyang, sampai
saat ini saya belum ada niat akan mediksa, karena telah
merupakan surudan
dari pangeran Dawuh.”
Sang pendeta menjawa, “Tuanku, maklumilah
seyakin-yakinnya,
bahwa agama itu tidak ada yang merupakan surudan
(sisa-sisa), kalau
diandaikan sama dengan air yang diucurkan,”
Sekalipun demikian penjelasan sang pendeta, namun Dalem
Watorenggong tetap pada pendiriannya tidak mau mediksa.
(15) IDA BURUAN
Diceritakan Ki Gusti Penyarikan Dauh Baleagung yang telah
berkedudukan sebagai pendeta Bhagawan acapkali menghadap
kepada Dang
Hyang untuk mendalami ajaran agama dan kebatinan sampai
juga pada sastra,
tembang-tembang bersanjak, pupuh, kidung, dan guru-lagu
kekawin, sehingga
pengetahuan Ki Gusti Bhagawan sungguh-sungguh padat dan
suci. Lamakelamaan
sebaga pengguru yoga (bakti kepada guru) beliau
menghaturkan
seorang putrinya yang cantik dan menaruh bakat agama serta
kesusastraan
kepada Dang Hyang. Dang Hyang Dwijendra menerima dengan
senang hari
pangguru yoga tersebut, lalu dinikahkan dengan putranya
yang bernama Ida
Putu Lor. Dari perkawinan ini menurunkan dua orang putra,
yaitu Ida Wayan
Buruan dan Ida Ketut Buruan.
Dang Hyang Dwijendra mempunyai dua asrama (gria), yaitu di
dea
Mas dan di desa Gelgel. Tiap-tiap hari purnama atau tilem
Sira Mpu tetap
masuk ke istana menghadap Dalem diiringi oleh cucu-cucu
beliau yang masih
kecil, Ida Wayan Buruan. Pada hari-hari baik sedemikian
itu Dalem dipuja
oleh Mpu Dang Hyang dengan Weda pangjaya-jaya dan
diperciki air tirtha
yang telah diberikan mantram kekuatan batin ketuhanan.
Dengan hal demikian
lambat laun Dalem menjadi seorang raja besar perbawanya, karena
segala
batin kependetaan ada pada beliau, namun sayang beliau
belum mau mediksa
karena belum bersih hatinya didahului oleh Kyayi
Penyarikan Dauh
Baleagung.
(16) DALEM WATURENGGONG BERGURU,
MEDIKSA
Diceritakan Mpu Dang Hyang Angsoka, kakak dari Dang Hyang
Nirartha membuat suatu karangan yang diberi nama Smara
Rencana dikirim
ke Bali kepada adiknya, kemudian dibalas dari Bali oleh Mpu Nirartha dengan
kidung Sarakusuma.
Dengan demikian Dalem tahu bahwa Dang Hyang Angsoka
seorang pendeta yang pandai, maka niatnya timbul akan
berguru kepada
beliau. Lalu Dalem mengirim utusan ke Daha untuk
menghaturi Dang Hyang
Angsoka datang ke Bali
untuk menjadi gurunya sekalian memberi padiksaan.
Tetapi Dang Hyang Angsoka menolak permintaan Dalem Bali.
Beliau berkata
kalau di Bali sudah ada
Dang Hyang Nirartha yang lebih pandai darinya.
Beberapa lama kemudian, tiba-tiba turun Betara Mahadewa
dari
gunung Agung, diiringi oleh sang Boddha datang ke Gelgel
menemui Dalem,
beliau lalu bersabda, “Anakku Dalem Waturenggong, jika tidak
terus engkau
berguru kepada Mpu Dang Hyang Dwijendra, karena tidak
ada pendeta yang
sama dengannya, tidak dapat dielakkan lagi bahwa negara
akan kacau,
anakku. Segala tanah tidak bisa dipetik buahnya,
penyakit akan mengembang,
musuh akan timbul banyak, dan tidak selamat negara
olehmu,” demikian
sabda Beliau lalu musnah dari pandangan. Dalem
Waturenggong menyembah
dan berjanji akan menaati sabda Betara.
Setelah itu Dalem memohon dengan hormat kepada Dang Hyang
Dwijendra untuk berguru dan didiksa. Mpu Dang Hyang dengan
gembira
meluluskan permohonan Dalem, karena telah lama
dinanti-nantikan. Hari
untuk mediksa dipilah hari purnamaning kapat (purnama
bulan keempat dalam
kalender Bali). Setelah
tiba hari yang baik itu, maka dengan upacara kebesaran
Dalem didiksa oleh Mpu Dang Hyang.
Setelah selesai upacara pediksan itu, Mpu Dang Hyang
memberi
nasihat tentang tatacara orang memangku kerajaan dan
supaya jangan lupa
kepada Tuhan dan leluhur. Tetapi tatkala sedang
menguncarkan Weda Puja,
jangan memegang genta, menyamai Bhatara namanya, sangat
berbahaya.
Setelah itu Sri Aji Waturenggong kian mashyur namanya
memegang pemerintahan, negaranya tenteram kerta raharja,
makmur sandang
pangan, tidak ada penyakit merajalela, dan tidak ada musuh
timbul.
(17) SIRA AJI KRAHENGAN DARI SASAK
Pada suatu ketika Sri Aji Waturenggong mempermaklumkan
kepada Dang Gurunya bahwa negara Bali
sering diserang oleh Sri Aji
Krahengan dari Sasak (Lombok)
yang sangat sakti dan pandai mengubah diri
(maya-maya) dan ahli melayang. Acapkali prajurit Dalem
kalah dalam
pertempuran di tepi laut, hanya itu saja yang menggangu
negaranya. Sebab itu
beliau memohon nasihat bagaimana caranya menghadapi musuh
itu.
Dang Hyang Dwijendra menjawab, “nanak Waturenggong,
baiklah, aku akan coba pergi ke Sasak sebagai utusan
nanak, untuk datang
kepada Sira Aji Krahengan mengadakan persahabatan. Oleh
karena untuk
keselamatan bersama, lebih baik bersahabat daripada
bermusuhan.
Bersahabat akan lebih banyak mendapat keuntungan
bersama, sedangkan
kalau bermusuhan banyak mendapat kerugian.
Akhirnya, pada suatu hari baik, Dang Hyang Dwijendra
berlayar
dengan menumpang jukung. Pelayarannya lancar dan tidak
mendapat aral
suatu apa. Setibanya di Sasak, langsung beliau masuk ke
dalam purinya Sri
Aji Krahengan. Ketika Sri Aji melihat pendeta datang,
segera beliau turun dari
tempat duduknya dan menjemput sang pendeta dengan hormat
dan
dipersilakan duduk dekat dengan beliau. Setelah
bersama-sama menikmati
suguhan minuman, maka Sri Aji Krahengan berkata dengan
hormat
menenyakan perihal kedatangan sang pendeta.
Dang Hyang Dwijendra menjelaskan maksud beliau datang, itu
atas
perkenan, bahkan merupakan utusan dari Dalem Waturenggong
untuk
mengadakan suatu ikatan persahabatan kepada Sira Aji
Krahengan. Dan
Hyang juga menyatakan bahwa dengan persahabatan kita akan
dapat
memupuk rasa persaudaraan dan memecahkan masalah bersama,
sebagai
tanda persahabatan, Dang Hyang mengatakan bahwa ada
baiknya kalau Sira
Aju memberikan salah seorang putrinya untuk menjadi istri
Dalem
Waturenggong.
“Sang pendeta, harap dimaafkan saja, karena kami tidak
dapat
memenuhi sebagai anjuran sang pendeta itu. Sebaiknya
sang pendeta pulang
saja!”
Dengan hal yang demikian sang pendeta keluar dari dalam
puri
seraya mengeluarkan kata-kata kutukan, “Semoga si
Krahengan surut
kesaktianmu dan surut kebesaranmu!” Demikian kata
beliau seraya menuju
pesisir, naik ke atas jukung yang ditumpangi tadinya lalu
menuju pulau Bali.
Setelah beliau tiba di Gelgel kembali, sang pendeta
dijemput Dalem
Waturenggong dengan khidmad.
“Wahai Dang Guru, apakah berhasil usaha Dang Guru di sana?”
tanya Dalem Waturenggong ketika mereka duduk bersama.
“Nanak Waturenggong, tidak berhasil usahaku mengadakan
ikatan
persahabatan kepada si Krahengan dan aku telah memberi
kutukan (pastu)
agar ia surut kewibawaannya, tidak lanjut menjadi
ksatria,” jawab sang
pendeta.
(18) PURA RAMBUT SIWI
Setelah Dang Hyang Dwijendra menjabat Pandita Kerajaan di
Gelgel dan sudah memberikan diksa kepada Dalem
Waturenggong, beberapa
tahun kemudian beliau berniat untuk melakukan tirthayatra,
melihat dari dekat
perkembangan ajaran kerohanian di desa-desa. Untuk
melaksanakan niat
Beliau tersebut, beliau minta izin kepada Dalem
Waturenggong agar beliau
berkekan memberikan persetujuannya. Karena tujuannya
sangat baik, Dalem
tidak berkeberatan dan mengizinkan sang Mpu untuk
melaksanakan
perjalanan bertirthayatra itu.
Konon berangkatlah beliau menuju arah barat, mula-mula
sampai di
daerah Jembrana. Kebetulan beliau sampai pada sebuah
parahyangan yang
biasanya pura itu dujaga oleh seorang penjaga pura
sekalian sebagai pemilik
parahyangan itu. Seperti kebiasaan sang penunggu
parahyangan itu, setiap
orang yang lewat di tempat itu diharuskan untuk
bersembahyang terlebih
dahulu sebelum mereka meneruskan perjalanan. Kebetulan
hari itu yang
tengah lewat adalah Dang Hyang Nirartha. Sang penunggu
parahyangan itu
menegur sang Mpu agar beliau mengadakan persembahyangan di
tempat suci
itu. Dia juga menjelaskan bahwa parahyangan itu sangat
angker sekali.
Barangsiapa yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di
sana, dia
tidak mau menjamin keselamatannya. Pasti orang itu akan
menemukan celaka.
Setelah sang Mpu bertanya, kesusahan apa yang akan dialami
orang-orang
yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di parahyangan
itu, sang
penunggu parahyangan itu mengatakan bahwa yang
bersangkutan pasti akan
dimakan macan. Di daerah sekitar itu banyak macan yang
sangat ganas yang
merupakan rencangan parahyangan ini.
Dia meminta berkali-kali kepada Mpu Nirartha agar beliau
mau
bersembahyang terlebih dahulu sebelum beliau melanjutkan
perjalanannya
agar benar-benar selamat di perjalanannya nanti. Mpu
Nirartha menuruti
perkataan sang penjaga pura itu, seraya beliau
mempersiapkan diri akan
bersembahyang. Di situ beliau menyatukan bayu, sabdha, dan
idhepnya seraya
mengarahkan konsentrasinya berngara sika atau mata ketiga.
Tak lama
kemudian tiba-tiba saja parahyangan menjadi pecah dan
rubuh. Sang pemilik
parahyangan itu angat kaget melihat kejadian yang sangat
gaib itu, seraya ia
minta ampun, agar parahyangan itu bisa dibangun lagi,
sehingga ada tempat ia
menghaturkan persembahyangan kehadapan Ida sang Hyang
Widhi Wasa.
Sambil menangis ia mohon ampun kepada sang Mpu agar sudi
memaafkan
kesalahan-kesalahannya dan mohon agar parahyangannya dapat
dibangun
kembali. Sang Mpu Nirartha menasihatinya agar tidak
membohongi penduduk
yang tidak tahu apa itu, dan harus berjajni bakti kepada
Sang Hyang Widhi
selain kepada leluhur. Maka setelah ia berjanji tidak akan
membohongi
penduduk lagi, Maka Dang Hyang Nirartha membangun kembali
tempat
persembahyangan itu. Selanjutnya beliau emutuskan untuk
tinggal lebih lama
di sana.
Lama kelamaan didengar sang Mpu berada di sana,
banyak para
penduduk datang, ada yang ingin berguru agama dan tidak
sedikit yang datang
untuk berobat. Hal itu terjadi karena nama beliau
sebelumnya di Gadingwani
sudah sangat dikenal betul sebagai ahli pengobatan di
samping ahli ilmu
agama. Ramailah orang datang ke parahyangan itu.
Lama-kelamaan karena
beliau memang ingin beranjangsana berkeliling, maka beliau
menyatakan akan
meninggalkan mereka dan meneruskan perjalanan. Para penduduk sangat
sedih karena kepergian beliau, karena mereka sudah merasa
senang beliau
berada di sana.mereka memohondengan sangat agar sang Mpu
bersedia
tinggal lebih lama di sana. Sang Mpu tetap tidak bisa menuruti
permintaan
para menduduk itu. Maka untuk mengikat mereka, sang Mpu
berkenan
memberikan selembar rambut beliau agar ditaruh di tempat
parahyangan itu
untuk dijadkan penyiwian sebagai pertanda peringatan akan
keberadaannya.
Kemudian dari tempat itu disebut Parahyangan Rambut Siwi
atau Pura
Rambut Siwi. Selanjutnya beliau menetapkan hari baik untuk
pujawali
Parahyangan Rambut Siwi tersebut.Piodalannya jatuh pada
RABU UMANIS
PRANGBAKAT. Pada hari itu disuruh menyelenggarakan
pujawali untuk
memohon berkah.
Matahari ketika itu telah pudar cahayanya, kian merendah
hendak
menyembunyikan wajahnya di tepi langit barat, karena itu
sang pendeta
berniat akan bermalam di Pura Rambut Siwi. Orang-orang
makin banyak
menghadap sang pendeta, yang berniat memohon nasihat soal
agama, ada pula
yang mohon obat. Semalam-malaman itu sang pendeta
menasihatkan ajaran
agama kepada penduduk, terutama berbakti kepada Ida Sang
Hyang Widhi
dan Bhatara-Bhatari leluhurnya, agar sejahtera hidupnya di
dunia. Dan
diperingatkan juga pelaksanaan puja wali di Pura Rambut
Siwi agar
masyarakat menjadi selamat dan tentram.
(19) PURA PAKENDUNGAN (PURA TANAH LOT)
Diceritakan besok paginya ketika sang surya mulai
memancarkan
cahayanya ke seluruh permukaan bumi, Mpu Dang Hyang melakukan
sembahyang Surya Sewana disertai oleh orang-orang yang ada
di sana.
Setelah memercikkan air tirtha kepada orang-orang yang
ikut sembahyang,
maka Mpu Dang Hyang berangkat dari dalam pura Rambut Siwi
ke arah timur
menyusuri tepi pantai, diiringi oleh beberapa orang yang
tertaut cinta baktinya
kepada sang pendeta. Mpu Dang Hyang selalu memperhatikan
keindahan
alam yang dilaluinya dan dilihatnya.
Dalam keindahan pemandangan itu selalu terbayang kebesaran
Tuhan yang menjiwai keindahan itu yang menyebabkan mesra
menyerap dan
menyulut batin orang menjadi indah dan bahagia. Sang
pendeta selalu
membawa lembaran lontar dan pengutik pengrupak (pisau raut
alat menulis
daun lontar) untuk menggoreskan keindahn alam yang
dijumpainya. Akhirnya
beliau tiba di daerah Tabanan, di sana terhihat olehnya sebuah pulau kecil di
tepi pantai yang terjadi dari tanah parangan, indah
tampaknya dan suci
suasananya. Lalu beliau berhenti di sana. Kemudian dilihat oleh orang-orang
penangkap ikan yang ada di sana, lalu mereka itu datang menghadap sang
pendeta masing-masing membawa persembahannya.
Pada waktu itu hari sudah sore. Orang-orang nelayan itu
menghaturi sang pendeta supaya beristirahat di pondoknya
saja, tetapi sang
pendeta menolak, beliau lebih suka beristirahat di pulau
kecil itu.
Malam itu sang pendeta mengajarkan agama kepada
orang-orang
yang datang dan dinasihatkan supaya membuat parahyangan di
tempat itu
karena tempat itu dirasa sangat suci, baik untuk tempat
memuja Tuhan demi
kesejahteraan dan kemakmuran daerah lingkungannya.
Orang-orang yang menghadap berjanji akan membuat
parahyangan
di sana,
dan dinamai Pura Pakendungan atau Pura Tanah Lot, karena terletak
di sebuah pulau (karang) di tengah pantai.
(20) PURA ULUWATU DAN PURA BUKIT GONG
Besok paginya setelah melakukan Surya Sewana, maka Mpu
Dang
Hyang Nirartha berangkat dari Pakendungan ke arah tenggara
dengan jalan
darat menyusuri pantai. Dari jauh tampak oleh beliau suatu
tanjung yang
menonjol ke laut bagian wilayah bukit Badung, maka tanjung
itulah yang
beliau tuju. Perjalanan agak dipercepat di pantai, air
laut sedang surut.
Setibanya di sana
maka diperhatikan oleh beliau bahwa tanjung itu terjadi dari
batu karang seluruhnya dan sangat besar. Selanjutnya
diperiksa keadaan batu
karang itu ke utara, ke barat, ke selatan, dan ke timur
serta diperhatikannya
pula pemandangan yang ada di sana. Sungguh-sungguh indah dan bebas lepas
ke seluruh dunia. Kemudian terdengar bisikan jiwa beliau
bahwa tempat itu
baik untuk memuja Sang Hyang Widhi dan terutama tempat
“ngeluhur”
melepas jiwatmanya kelak ke alam surga.
Akhirnya beliau mengambil keputusan membuat kahyangan di
tempat itu. Untuk kepentingan itu terpaksa beliau membuat
asrama di
sebelahnya untuk menetap sementaramengerjakan kahyangan
itu. Pekerjaan
membuat kahyangan itu mendapat bantuan dari orang-orang
yang dekat di
sana.
Setelah beberapa hari lamanya maka kahyangan itu selesai diberi nama
Pura Uluwatu. Di tempat asrama Mpu Dang Hyang
lama-kelamaan didirikan
juga sebuah kahyangan oleh orang-orang di sana dinamai Pura Bukit Gong.
(21) PURA BUKIT PAYUNG
Setelah Pura Uluwatu selesai dan dinasihatkan kepada
orang-orang
di sana
untuk menjaganya, maka Dang Hyang Nirartha melanjutkan
perjalanan lagi ke arah timur dengan melalui tanah
berbukit-bukit. Beliau
kemudian tiba di goa Watu, dari sana menuju Bualu. Di sebelah tenggara
Bualu ada sebuah tanjung, di sana beliau berhenti. Ketika beliau
menancapkan
payungnya ke tanah, maka tiba-tiba memancar air dari dalam
tanah,sangat suci
dan hening.
Air itu dipergunakan menyucikan diri. Oleh orang-orang
yang
dekat di sana
karena gembira hatinya seakan-akan mendapat anugerah air
amrta (air kehidupan), maka di tempat itu dibangun sebuah
kahyangan
dinamai Pura Bukit Payung.
(22) PURA SAKENAN
Setelah menyucikan diri di Pura Bukit Payung, maka Dang Hyang
Nirartha berangkat ke arah utara menyusuri pantai. Tidak
jauh dari sana
dijumpainya dua buah pulau batu yang disebut sebagai Nusa
Dua. Di sana
beliau berhenti dan mengarang kekawin Anyang Nirartha yang
melukiskan
segala obnyek keindahan yang dilihat oleh beliau sepanjang
perjalanan,
digubah dijadikan sajak kekawin yang terikat dengan guru
lagu.
Setelah selesai mencatat kekawinnya, Dang Hyang Dwijendra
melanjutkan perjalanan ke arah utara. Tidak diceritakan
halnya di tengah jalan
maka sampailah beliau di Serangan. Pada bagian tepi barat
laut Serangan sang
pendeta kagum memandang keindahan alam di sana, yaitu keindahan laut
yang tenang berpadu dengan keindahan daratan yang
mengelilinginya. Sang
pendeta tak puas-puasnya memandang keindahan alam yang
dianugerahkan
Tuhan di sana,
dapat mempengaruhi batin menjadi tidak ternoda sedikit pun,
sehingga beliau terpaksa berhenti dan menginap beberapa
malam di sana.
Terasa oleh beliau bahwa di tempat itu ada sumber kekuatan
gaib yang suci,
san baik sebagai tempat sembahyang memuja Tuhan untuk
keselamatan dan
kesejahteraan. Sebab itu beliau membangun pula suatu
kahyangan di sana
diberi nama Cakenan (yang asalnya dari kata cakya yang
berarti menyatukan
pikiran). Puja wali dilakukan pada hari Saniscara (Sabtu)
Kliwon Kuningan,
dan keramaiannya pada hari Umanis-nya (sehari sesudahnya).
(23) PURA AIR JERUK
Setelah Pura Sakenan selesai dibangun, Dang Hyang
Dwijendra
keluar dari dalam pura lalu berangkat ke arah utara
menumpang sebuah
jukung, lalu mendarat di Renon. Selama beliau berdiam di sana ada suatu
kejadian, yaitu ketika tongkat beliau dipancangkan, tidak
berapa lama lalu
keluar tunas dan hidup menjadi pohon sukun. Setelah
beberapa hari ada di
sana,
beliau meneruskan perjalanan ke arah timur, tiba beliau di Udyana
Mimbha (Taman Intaran).
Dari sana sang
pendeta meneruskan perjalanan ke
arah timur laut, menyusuri pantai laut kemudian tiba di
pantai selatan wilayah
Bumi Timbul (Sukawati).
Dari sana
beliau masuk darat arah utara lalu tiba di sawah Subak
Laba. Di sana
sang pendeta berhenti dan menginap, dijamu oleh orang-orang
subak dengan buah jeruk yang sedap rasa airnya. Di asrama
tempat menginap
Mpu Dang Hyang setiap malam penuh orang-orang subak
menghadap mohon
nasihat ajaran agama terutama dari hal bercocok tanam padi
dan palawija
lainnya menurut musim dan hari wewaran. Sejak sang pendeta
ada di sana
segala tanam-tanaman dan binatang ternak berhasil baik.
Sebab itu setelah Mpu Dang Hyang pergi daroi sana, maka oleh
orang-orang subak dibuatkan satu pura di bekas tempat asrama
sang pendeta
(yang dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh)
diberi nama Pura
Air Jeruk, tempat sembahyang mohon keselamatan
tanam-tanaman dan
binatang ternak. Dan di sana ditanam satu pohon lontar sebagai
peringatan
ajaran agama yang diwejangkan oleh sang pendeta.
(24) PURA TUGU
Diceritakan Dang Hyang Dwijendra berangkat dari Subak Laba
ke
timur pula menyusuri pantai laut. Setelah tiba di Rangkung
lalu berbelok ke
utara. Sesudahnya di hulu desa Tegal Tugu, sang pendeta
lalu berhenti di luar
suatu kahyangan.
Kemudian keluar seorang pemangku dari dalam pura setelah
menyapu melakukan pembersihan, datang kepada sang pendeta
yang tengah
berhenti di luar pura. Setelah bertemu, sang pemangku
berkata dan menyuruh
sang pendeta menyembah ke dalam pura. Dang Hyang tidak
membantah, dan
menuruti permintaan sang pemangku itu. Beliau lalu masuk
ke dalam pura.
Sang pendeta duduk bersila di halaman pura berhadapan
dengan
bangunan-bangunan pelinggih, lalu melakukan yoga
mengheningkan cipta
menghubungkan jiwatmanya dengan Tuhan. Tiba-tiba rusak
bangunan
pelinggih itu semua. Sang pemangku bukan main terkejutnya
dan terharu
hatinya melihat keadaan itu, lalu menangis memohon ampun
kepada Mpu
Dang Hyang disertai permohonan agar sang pendeta berkenan
pura itu
kembali seperti sedia kala.
Dang Hyang Dwijendra meluluskan permohonan pemangku itu,
lalu dengan yoga bangunan pura itu kembali seperti semula.
Kemudian sang pendeta berkata, “Sri mangku, ini kancing
gelung
saya, saya berikan kepada mangku. Tempatkanlah di pura
ini, dan
sesudahnya kahyangan ini diberi nama pura Tugu,”
Sangat gembira pemangku itu menerimanya dan berjanji akan
melakukan segala nasihatnya.
(25) GENTA SAMPRANGAN
Setelah selesai persoalan di pura Tugu maka Dang Hyang
Nirartha
meneruskan perjalanan ke arah timur sampai di Samprangan
lalu berhenti.
Ketika beliau duduk-duduk beristirahat, tiba-tiba
terdengar oleh beliau suara
genta yang dibunyikan memenuhi angkasa, sangat merdu dan
indah didengar
oleh sang pendeta, sehingga lama beliau termenung
mengira-ngirakan
darimana asal suara genta tersebut. Tidak lama setelah itu
datanglah dari arah
timur seorang pengalu (pedagang) menuntun seekor kuda yang
berkalung
gentorag (genta) yang suaranya sangat indah didengar oleh
sang pendeta, lalu
dipanggillah pengalu itu.
Etelah ia mendekat, maka berkatalan Dang Hyang, “Bolehkah
saya
meminta gentorag kalung kuda saudara, untuk saya
pergunakan dalam
memuja, karena saya tertarik denga suaranya yang
indah.”
Orang pengalu itu demi mendengar kata sang pendeta
demikian,
dengan cepat membuka kalung kudanya, dan dengan khidmad
serta tulus
ikhlas menghaturkannya kepada sang pendeta. Ketika sang
pendeta menerima
genta itu dari tangan sang pengalu, beliau dengan gembira
berkata, “semoga
engkau selalu dalam perlindungan Sang Hyang Widhi.”
Lalu genta itu bernama Genta Samprangan, karena didapat di
Samprangan.
(26) PURA TENGKULAK
Berangkat pula sang pendeta dari Samprangan ke timur
sampai di
desa Syut Tulikup. Di pinggir kali beliau berhenti
duduk-duduk. Kemudian
datang beberapa orang turut duduk menghadap sang pendeta,
dengan hormat
menyapa sang pendeta dan menanyakan dari mana datang ke
mana tujuannya.
Setelah sang pendeta menerangkan halnya berkelana
menjelajah pulau Bali,
maka mereka menyuruh salah seorang di antaranya memanjat
pohon kelapa
dan memetik buahnya yang muda (kuud) untuk dihaturkan
kepada sang
pendeta.
Yang disuruh segera memanjat pohon kelapa memetik sebuah
kuud, dan sesudah kelungah itu dikasturi (dipotong bagian
tampuknya), lalu
dihaturkan kepada sang pendeta untuk diminum.
Sang pendeta menerima kuud itu dengan ucapan terima kasih.
Sebagai biasa apabila pendeta akan minum atau bersantap
sesuatu apapun,
selalu didahului dengan ucapan-ucapan Weda mantram yang
mengandung
ucapan syukur kepada Tuhan. Setelah selesai sang pendeta
meminum airnya,
maka kuud itu dipecah dua untuk disantap isinya. Sang
pendeta menyantap isi
kuud itu perlahan-lahan sambil bercakap-cakap dengan
orang-orang desa di
sana.
Orang-orang itu menjelaskan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran
mereka kurang memuaskan, karena sering dilanda penyakit
dan tanamtanaman
mereka kurang berhasil.
Sang pendeta menasihatkan apabila terjadi halangan, agar
beliau
dipanggil secara batin, tentu beliau akan datang secara
niskala memberi
pertolongan memohonkan kepada Tuhan agar halangan itu
dapat
dimusnahkan. Lalu san pendeta berangkat ke arah selatan
dan diiringi oleh
orang-orang di sana
sampai tepi pantai.
Setiap malam, pecahan kuud yang isinya disantap oleh Dang
Hyang
dilihat oleh oang-orang menyala seperti bulan, sehingga
seluruh orang desa
dapat melihat pada malamnya kuud itu menyala gemilang
bagai bulan, dan
dapat dirasakan kalau di sana terdapat kekuatan gaib.
Oleh karena itu orang-orang desa sepakat membuat suatu
pura di
sana
untuk memohon kepada Tuhan demi keselamatan dan kemakmuran desa.
Pura itu diberi nama Pura Tengkulak.
(27) PURA GOWA LAWAH
Diceritakan dang Hyang Dwijendra terus berjalan ke timur
menyusuri pantai laut. Akhirnya beliau sampai di Sowan
Cekug. Lalu
melewati pantai Gelgel dan beliau terus ke timur melalui
pantai Kusamba dan
akhirnya sampai pada sebuah gua yang penuh dengan
kelelawar. Sang pendeta
masuk ke dalam gua dan menemukan banyak kelelawar yang
sedang
bergelantungan di dalamnya. Suaranya hiruk-pikuk tiada
putus-putusnya.
Sebab itu gua tersebut disebut Goa Lawah.
Di atas gua ini terdapat aneka macam bunga yang sedang
tumbuh
dengan suburnya, baunya harum disebarkan oleh angin
semilir. Dari sana
tampak pula keindahan pulau Nusa Penida. Segala keindahan
ini menawan
hati sang pendeta sehingga berkenan menetap beberapa lama
di sana.
Lambat laun dibangunlah sebuah parahyangan di sana yang
dinamai Pura Goa Lawah. Setelah beberapa malam sang
pendeta menginap di
sana,
beliau lalu kembali ke Gelgel.
Dalem Waturenggong sangat gembira melihat kedatangan sang
pendeta. Beliau dihadiahkan sebuah rumah dengan 200 orang
pelayan. Tiap
malam Dalem menghadap gurunya untuk mempelajari ilmu
kamoksan
(kelepasan/bersatu dengan Sang Hyang Widhi).
(28) PURA PONJOK BATU
Beberapa bulan kemudian, Dang Hyang berniat melihat-lihat
daerah Bali Denbukit, yaitu daerah Bali
utara. Apabila ada kesempatan akan
terus ke Sasak untuk mengetahui agama yang dipeluk di sana. Dalem
berkenan akan niat gurunya itu, dengan harapan jangan
lama-lama bepergian.
Pada suatu hari Mpu Dang Hyang berangkat ke utara dari
Gelgel, akhirnya
tiba di pantai barat laut dari gunung Agung.
Di sana
ada sebuah tanjung (ponjok) yang terjadi dari batu bulatan/
batu gunung yang ditutupi lumut menghijau. Sang pendeta
berhenti di sana
dan duduk untuk melihat pemandangan laut.
Tiba-tiba beliau melihat sebuah perahu dengan layar sobek
terdampar di pantai pasir. Awak perahu tersebut pingsan di
pantai pasir karena
mabuk laut yang hebat. Kemudian, dengan kekuatan gaib, Mpu
Dang Hyang
menyadarkan mereka lagi. Mereka mengaku berasal dari Lombok. Mpu Dang
Hyang menasihati agar mereka menginap dulu di sana beberapa lama, baru
kemudian kembali ke Lombok, sekalian Mpu Dang Hyang akan
ikut ke sana.
Besok paginya mereka berangkat menyusuri selat Lombok yang
membiru. Diceritakan kembali perihal keadaan di Ponjok
Batu. Setiap malam
tampak oleh orang-orang di sana bahwa batu tempat peristirahatan Dang
Hyang Nirartha menyala terus-menerus. Akhirnya di sana didirikan sebuah
Pura dengan bangunan sanggar agung (tempat memuja
kebesaran Hyang
Widhi) dinamai Pura Ponjok Batu.
(29) TUAN SEMERU PURA SURANADI
Setibanya di Sasak, Dang Hyang Nirartha juga mengajarkan
agama
Islam waktu tiga kepada orang-orang sasak, sehingga beliau
diberi gelar
TUAN SEMERU. Sebab itu beliau berkenan membuat syair
bernama Tuan
Semeru bertembang Dandang. Asrama beliau tempat
mengajarkan agama
disebut SURANADI, yang berarti asrama yang sangat indah
diapit dua buah
telaga yang penuh bunga yang harum.
Karena kebesaran dan kesaktian jiwa beliau, maka di
pinggir
asrama muncul empat buah mata air yang bernama Catur
Tirtha, yaitu tirtha
panglukatan, tirtha pabersihan, tirtha pangentas, dan toya
racun.
Tidak putus-putusnya orang datang ke sana untuk membersihkan
diri. Orang-orang Islam dan non-Islam menjadi rukun dan
tidak ada
percekcokan. Mpu Dang Hyang menjelaskan tujuan agama itu
tiada lain
adalah Sang Hyang Widhi itu sendiri atau Tuhan Allah, yang
berbeda
hanyalah bahasanya dan praktek agamanya saja.
(30) GUNUNG API TAMBORA
Beberapa lama kemudian, sang pendeta berniat untuk pergi ke
Sumbawa untuk menemui
saudara sepupu beliau. Pada suatu hari berangkatlah
beliau ke Sumbawa bersama
tukang perahu yang beliau tolong di Ponjok Batu.
Akhirnya, beliau tiba di Sumbawa.
Beliau diiring ke lereng sebuah gunung berapi bernama
Tambora.
Beliau menginap di rmah seorang petani. Beliau disuguhi
ketela rebus dan
pisang rebus ala kadarnya, karena sawah-ladang petani di sana sedang
terserang hama
ulat dan belalang.
Besok paginya Kepala Desa datang ke tempat Dang Hyang dan
menceritakan perihal desa mereka. Mpu Dang Hyang kasihan
melihat
masyarakat di sana,
lalu menyuruh mereka menyalakan pedupaan dan
membakar kemenyan malam harinya di sawah mereka, sementara
beliau
sendiri akan memohon kepada Betara yang bersthana di unung
Tambora agar
hama-hama itu dipindahkan dari sana.
Setelah matahari terbenam, orang-orang mulai melaksanakan
apa
yang diperintahkan Pendeta Tuan Semeru. Beliau bersama
kepala desa pergi
ke suatu tempat di ladang yang agak tinggi, seraya memohon
kepada Tuhan
agar hama-hama di daerah itu lenyap. Beliau baru kembali
ke pasraman
setelah larut malam.
Besok paginya alangkah terkejutnya masyarakat di sana
menyaksikan hama-hama itu sudah lenyap tak bersisa.
Sawah-ladang kembali
produktif dan semua warga gembira. Mereka bertambah yakin
bahwa Tuan
Semeru adalah seoran pendeta yang benar-benar suci dan
sakti.
Di sana
Mpu Dang Hyang juga menyembuhkan orang sakit. Orangorang
yang berobat langsung menjadi segar, sehingga berita
tentang kehebatan
beliau mulai tersebar, sampai ke seluruh Sumbawa.
(31) DENDEN SARI
Diceritakan di Sumbawa ada seorang penghulu kaya yang
mempunyai seorang putri bernama Denden Sari. Karena
kayanya dia menjadi
orang yang sangat bangga akan kekayaan dan kikir. Tiap
hari kerjanya hanya
menghitung jumlah kekayaannya saja. Dia juga meminjamkan
uang dengan
bunga tinggi, memungut uang dari warga, dan memasukkannya
ke kas
pribadinya. Hanya itu yang dilakukannya setiap hari.
Anak-anaknya tidak
dihiraukannya, sehingga hidup mereka melarat. Ada salah satu putrinya
bernama Denden Sari yang baru berumur 6 tahun, dalam
keadaan sakit. Ia
sejak kecil tidak dihiraukan lantaran orangtuanya sibuk
dengan kekayaan
mereka. Akhirnya, lama-kelamaan sakitnya bertambah parah.
Badannya lemas
dan tidak sadarkan diri selama beberapa hari.
Sang penghulu mendengar ada seorang pendeta sakti yang
bisa
mengobati orang sakit sedang berada di Sumbawa.
Tergerak hatinya untuk
meminta pertolongan kepada sang pendeta. Tidak diceritakan
bagaimana
pertemuan mereka, akhirnya sang pendeta yang diiring sang
penghulu tiba di
rumahnya. Dang Hyang Nirartha melihat dan memperhatikan
anak yang sakit
itu dalam keadaan melarat sekali, nafasnya terengah-engah
dan mukanya
pucat pasi seakan-akan mayat, tetapi rupanya amatlah
cantik.
”Oh, tuan pendeta, hamba mohon sembuhkanlah anak hamba
ini.
Kalau dia bisa hidup lagi, hamba akan
mempersembahkannya padamu,” ujar
sang penghulu berharap.
“Baiklah, aku akan menyembuhkannya. Tapi setelah sehat
aku
akan membawanya ke Bali,” jawab sang pendeta. Lalu
beliau memegang
kening anak itu seraya diberikan bebayon (kekuatan gaib
ketuhanan).
Beberapa detik saja antaranya maka anak itu tersenyum
dengan wajah cerah,
lalu duduk dengan sehatnya.
Demikianlah akhirnya Dang Hyang Nirartha membawa Denden
Sari kembali ke desa Mas. Setelah Denden Sari meningkat gadis,
Dang Hyang
Dwijendra menikahkannya dengan cucu beliau yang bernama
Ida Ketut
Buruan Manuaba.
(32) BUAH TANGAN GURU DAN MAHAPUTRA
Ketika Dang Hyang Dwijendra kembali ke Gelgel bukan main
gembiranya Dalem Waturenggong. Setiap malam mereka
membicarakan ilmu
batin dan ketuhanan. Pangeran Dauh (Ki Dauh Baleagung)
tetap saja datang
pada Dang Hyang Nirartha untuk memohon nasihat-nasihat.
Segala nasihat
gurunya itu citulis dalam sebuah lontar berjudul Wukir
Padelegan.
Untuk mengetahui berapa banyak buah tangan (hasil karya)
Dang
Hyang Nirartha dan Pangeran Dauh, di bawah ini dicantumkan
namanamanya,
yaitu :
Buah tangan Pangeran Dauh :
1. Rareng Canggu
2. Wilang Sebun Bangkung
3. Wukir Padelegan
4. Sagara Gunung
5. Aras Nagara
6. Jagul Tuwa
7. Wilet Manyura Tahun Saka 1414
8. Anting Anting Timah
9. Kakawin Arjuna Pralabda
79
Buah tangan Dang Hyang Dwijendra :
1. Nusa Bali Tahun Saka
1411
2. Kidung Sebun Bangkung
3. Sara Kusuma
4. Ampik
5. Legarang
6. mahisa Langit
7. Hewer
8. Majadanawantaka
9. Wasista Sraya
10. Dharma Pitutur
11. Kawya Dharma Putus
12. Dharma Sunya Keling
13. Mahisa Megat Kung Tahun Saka 1458
14. Kakawin Anyang Nirartha
15. Wilet Demung Sawit
16. Gagutuk Menur
17. Brati Sasana
18. Siwa Sasana
19. Tuan Semeru
20. Putra Sasana
80
21. Kidung Aji Pangukiran
(33) MEDIKSA DAN MEMBAGI WARISAN; PURA
PANGAJENGAN
Pada suatu ketika Dang Hyang Nirartha mempermaklumkan pada
Dalem Waturenggong bahwa beliau ingin kembali ke desa Mas.
“Nanak Waturenggong, ingatlah segala nasihat yang
sudah-sudah.
Kini aku akan pulang ke desa Mas hendak melaksanakan
upacara pediksan
keempat orang anakku yang akan menggantikanku untuk
menjadi pendeta,
yang akan melanjutkan tugasku sebagai Brahmana di
dunia, sebab aku akan
segera pulang ke Siwaloka. Hari pediksan itu akan
dilaksanakan pada tilem
sasih kalima nanti. Jangan anak kecewa sepeninggalku.
Pilih antara empat
anakku untuk menjadi pendeta kerajaan!” demikian
nasihat Mpu Dang
Hyang. Dalem menyembah dengan khidmad.
Setibanya Dang Hyang di desa Mas, dititahkan pangeran Mas
mempersiapkan segala upakara untuk upacara pediksan nanti.
Diceritakan tepat pada hari pediksan itu Sri Aji Dalem
Waturenggong datang diiring oleh para punggawa, turut
mempersaksikan
upacara suci itu. Sesudah upacara itu selesai, maka Mpu
Dang Hyang
memberikan nasihat kepada putra-putranya, antara lain
tentang kewajiban
pendeta.
1. Tidak boleh minum tuak atau segala minuman beralkohol;
2. Menghindari segala hal yang menyebabkan mabuk;
3. Tidak boleh makan daging sapi, karena ia sebagai ibu
yang
memberikan susu kepada kita.
4. Tidak makan daging babi rumahan (peliharaan);
5. Tidak memakan daging ayam peliharaan;
6. Menghindari segala hal kotor, baik sekala maupun
niskala;
7. Tidak boleh iri hati;
8. Tidak boleh mengambil istri orang lain dan berzina.
Demikianlah nasihat Mpu Dang Hyang kepada putra-putranya.
Selanjutnya beliau mengeluarkan seluruh harta kekayaan
beliau, dan akan
dibagikan kepada semua putranya. Dalem Waturenggong turut
mempersaksikan peristiwa itu, diiringi oleh Sira Arya
Kenceng, Pangeran
Dauh Baleagung beserta rakyatnya, dan Ki Pan Geleng
pelayannya Ida Kidul.
Adapun harta yang dibagi yaitu : emas, perak, uang kepeng,
permata mirah, cincin, tegal sawah, lontar-lontar pustaka,
alat pawedan
(pemujaan kependetaan), rakyat (panjak), dan lain sebagainya.
Tempat
membagi harta beliau itu dilakukan di luar gria asramanya
di Mas. Harta
benda itu dibagi lima
(5) untuk enam orang putranya. Di luar gria itu
diletakkan 5 buah balai amanca desa (5 arah).
Kemudian, Dalem mempersilakan keenam putra Dang Hyang untuk
mengambil warisan itu sesuai kehendak mereka.
1. Mpu Kulon mengambil emas, perak, uang kepeng,
permata, surat
tegalan dan rakyat, akibatnya akan
mempunyai keturunan banyak tapi kurang pandai.
2. Mpu Lor mengambil surat
tegal sawah, emas, perak,
uang kepeng, permata perhiasan, dan rakyat, akibatnya
mempunyai keturunan banyak tapi kurang pandai.
3. Mpu Wetan mengambil surat tegal sawah, emas,
perak, uang kepeng, permata perhiasan, dan rakyat,
akibatnya mempunyai keturunan banyak tapi kurang
pandai.
4. Ida Putu Sangsi dan Ida Putu Bindu mengambil satu
bagian untuk mereka berdua berupa sawah dan ladang,
maknanya kepandaian kurang, tapi banyak anak.
Mpu Kidul tetap diam tak mengambil satupun. Akhirnya
setelah
diperingatkan oleh Dalem, barulan beliau mengambil :
lontar pustaka, alat
pawedan, 2 buah genta bernama Ki Brahmana dan Ki
Samprangan, pisau
pengrupak bernama Ki Tamlang, keris bernama Ki Sepak.
Maknanya penuh
kepandaian dan bakat, tapi sayang keturunannya sedikit.
Beliau mengangkat
Bendesa Mas sebagai pelayannya.
Masih ada rakyat, seekor ayam kurungan, dan sebatang pisau
pengrupak. Mpu Kulon mengambil rakyat, Mpu Lor mengambil
ayam
kurungan, dan Mpu Kidul mengambil pisau pengrupak.
Setelah selesai semuanya maka Dang Hyang berpamitan pada
semuanya, sebab beliau akan berangkat mencari tempat yang
suci untuk
kembali ke Siwaloka. Putra-putranya semua menyembah dengan
khusuk,
demikian pula Sri Aji Dalem Waturenggong dan Pangeran Dauh
Baleagung,
para Arya dan rakyat yang hadir.
Demikianlah akhirnya Dang Hyang Dwijendra berjalan ke arah
selatan seorang diri, hanya membawa tempat pacanangan
(tempat sirih). Dang
Hyang Dwijendra mengembara memasuki tempat-tempat suci
tanpa ada
seorang pun yang tahu. Tapi pada suatu hari ada orang yang
memberitahu
Pangeran Mas bahwa Dang Hyang sedang ada di penghulu sawah
antara desa
Sumampan dengan Tengkulak, dilihat sedang menulis lontar.
Beberapa hari kemudian kebetulan hari Penampahan Kuningan.
Bendesa Mas bersama istrinya pergi ke tempat Dang Hyang
dengan membawa
makanan yang enak rasanya yang akan dihaturkan kepada Mpu
Dang Hyang.
Mpu Dang Hyang menerimanya dengan senang hati, lalu
menyuruh pangeran
Mas untuk mencarikan bungkak untuk menyucikan makanan itu.
Setelah Dang Hyang meninggalkan tempat itu, maka tempat
bekas
beliau bersantap setiap malam mengeluarkan sinar dan
berbau harum, karena
itu di sana
didirikanlah sebuah pelinggih bernama Pura Pangajengan
(pangajengan = tempat makan).
(34) PURA MASCETI DAN PURA PETI TENGET
Diceritakan setelah itu Dang Hyang pergi ke pantai selatan
Bali,
berjalan menuju desa Rangkung mendekati pelabuhan Masceti.
Tiba di sana,
beliau merasakan dewa sedang mendekati beliau, maka
timbullah semangat
untuk melakukan pemujaan di dalam pura Masceti. Ketika
beliau
mengucapkan Weda Matram, tangan beliau dipegang oleh
Betara Masceti.
“Tidak patut Dang Hyang menyembah seperti ini, karena
sudah
suci menunggal kepada Sang Hyang Widhi. Apa sebab Dang
Hyang masih di
dunia?” tanya Bhatara Masceti.
“Saya masih menunggu saat turunnya perintah dari
Tuhan,” jawab
Dang Hyang.
“Kalau begitu,” ujar Bhatara Masceti. “Marilah
kita bersamasama
bercengkrama di daerah pinggir laut.”
Kemudian, karena kesaktian Bhatara Masceti, akhirnya
mereka tiba
di pulau Serangan bagian barat laut. Seseorang melihat
mereka serupa cahaya
merah dan kuning, lalu memberanikan diri mendekat.
Dilihatnya Mpu Dang
Hyang sedang bercakap-cakap dengan Bhatara Masceti, lalu
dia berkata.
“Mpu Dang Hyang, tinggallah dulu di sini, sebab hamba
akan
memuja Sesuhunan.”
“Baiklah,” jawab Mpu Dang Hyang. “Buatlah di
sini sebuah candi
yang akan disungsung oleg jagat dan buat pula sebuah
gedong pelinggih
Bhatara Masceti, karena beliau iring Bapak sampai ke
sini!”
Dang Hyang melanjutkan pembicaraannya dengan Bhatara
Masceti,
tiba-tiba telah sampai mereka di tepi laut Krobokan. Dari sana Mpu Dang
Hyang melihat tanjung Uluwatu sebagai perahu hendak
berlayar memuat
orang-orang suci menuju surga.
“Dang Hyang, maafkan saya. Saya mohon diri di sini,” demikian
kata Bhatara Masceti lalu menggaib.
Dang Hyang Dwijendra berjalan menuju Uluwatu,
pecanangannya
diletakkan. Ketika itu beliau melihat ada orang halus
bersembunyi di semaksemak
karena takut melihat perbawa Dang Hyang yang suci itu.
Makhluk
halus itu adalah Buto Ijo.
Buto Ijo kemudian diperintahkan oleh Dang Hyang untuk menjaga
pecanangannya di sana,
dan daerah itu diberi nama Tegal Peti Tenget. Kalau
ada yang hendak merusak daerah itu, Buto Ijo ditugaskan
untuk melawan.
Dang Hyang Nirartha terus menuju Uluwatu. Setelah tiba di sana,
tidak terperikan senang hati beliau, karena tempat itu
sunyi dan hening, di
sana
beliau mengheningkan cipta, menunggu panggilan Tuhan untuk
ngeluhur.
Pada suatu hari datang kepala desa Krobokan bersama
beberapa
orang menghadap Mpu Dang Hyang. Ia bercerita mengenai
orang-orang yang
sakit dan tidak bisa diobati setelah datang ke tegal (Peti
tenget) tersebut. Lalu
Dang Hyang memberitahu bahwa pecanangan beliau ada di sana karena beliau
tidak memerlukannya lagi, dan dijaga ketat oleh Buto Ijo.
Dang Hyang
kemudian memerintahkan agar di sana dibangun sebuah kahyangan pelinggih
Bhatara Masceti. Pecanangan milik beliau juga
diperintahkan untuk
disungsung agar memperoleh kesejahteraan desa. Pada hari
pujawali, Buto Ijo
harus diberi cecaruan, berupa nasi segehan atanding,
ikannya jejeron, babi
mentah, segehan agung, lengkap dengan tetabuh tuak arak.
Kelihan Krobokan berpamitan, kemudian di Tegal Peti Tenget
kemudian dibangun sebuah pura bernama Pura Peti Tenget.
(35) PURA LUHUR ULUWATU
Pada hari Selasa Kliwon Medangsia, Dang Hyang Dwijendra
mendapatkan wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa bahwa
beliau pada hari
itu dipanggil untuk ngeluhur. Merasa bahagia sekali
beliau, karena apa yang
dinanti-nantikan telah tiba. Hanya ada sebuah pustaka yang
belum dapat
diserahkan kepada salah seorang putranya. Tiba-tiba Mpu
Dang Hyang
melihat seorang bendega (nelayan) bersama Ki Pasek
Nambangan sedang
mendayung jukung di lautan di bawah, lalu dipanggil oleh
beliau.
Setelah bendega itu menghadap, lalu Dang Hyang berkata,
“Engkau akan kusuruh menyampaikan kepada anakku Mpu Mas
di
desa Mas, katakan pada beliau bahwa bapak menaruh
sebuah pustaka mereka
di sini yang berisi ajaran ilmu kesaktian.”
“Singgih, pukulun sang sinuhun,” ujar bendega lalu
mohon diri.
Setelah Ki Pasek Nambangan pergi, maka Dang Hyang Nirartha
mulai melakukan yoga samadhinya. Beberapa saat kemudian
beliau moksa
ngeluhur, cepat bagai kilat masuk ke angkasa. Ki Pasek
Nambangan
memperhatikan juga hal itu dari tempat yang agak jauh,
namun ia tidak
melihat Mpu Dang Hyang, hanya cahaya cemerlang dilihat
melesat ke angkasa
bagai petir.
Demikianlah akhir riwayat hidup Dang Hyang Nirartha.
Kahyangan
tempat beliau ngeluhur itu kemudian disebut Pura Luhur,
lengkapnya Pura
Luhur Uluwatu.
S E L E S A I
Demikian disampaiakn dari
berbagai sumber, semoga bermanfaat.
1 komentar:
Terimakasih atas pencerahannya tentang silsilah kehidupan Danghyang Nirartha/Dwijendra. Apakah ada disebutkan di dalam babad nama pustaka yg terakhir yg beliau tulis, yg berisi tentang ajaran ilmu kesaktian? Apakah putra beliau berhasil mengambil pustaka itu dari Luhur Uluwatu?
Mohon pencerahannya nggih.
Terimakasih sekali lagi, dumogi state rahajeng lan rahayu.
Made Sujana
Posting Komentar